Kupang, Vox NTT-Hangat wajah, sopan tutur kata, teratur dan rapi dalam pidato, terukur dalam nasehat, konsisten dalam pilihan politik, dan ikhlas menanggung risiko politik. Itulah Cosmas Batubara.
Sosok kelahiran 19 September 1938 di Simalungun, Sumatra Utara ini telah wafat akibat menderita kanker getah bening pada 8 Agustus di RSCM Kencana Jakarta.
“Bapak menderita kanker getah bening dalam dua tahun terakhir dan dirawat beberapa kali di rumah sakit dan sempat dikemo,” kata Artur Batubara, putra sulung beliau seperti dilansir dari ucanews.com.
Artur mengatakan jenazah bapaknya akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 10 Agustus.
Meski telah meninggal, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Perumahan Rakyat di era Soeharto ini telah memberikan inspirasi dan kontribusi bagi Gereja dan bangsa.
Cosmas pernah menjabat ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), dan aktivis Perintis Gerakan Mahasiswa Angkatan 66.
Beliau juga pernah menjabat Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Menteri Tenaga Kerja di era Suharto, DPR RI (1967-1978), dan ketua International Labour Organization (ILO) tahun 1991.
Saat meninggal, ia masih menjabat sebagai rektor Podomoro University di Jakarta dari tahun 2014, dosen di Universitas Indonesia dan Univesitas Katolik St. Thomas di Medan, serta memimpin sejumlah perusahaan.
“Beliau adalah tokoh besar yang memberikan semangat dan inspirasi bagi kami dan mendorong organisasi-organisasi Katolik untuk survive meskipun menghadapi kesulitan,” kata Yohanes Handoyo Budisedjati, direktur Vox Point Indonesia, dilansir dari ucannews.com
Selain meninggalkan kesan dan kerinduan bagi keluarga serta orang-orang dekatnya, Bapak Cosmas juga menitipkan nilai-nilai kehidupan bagi para juniornya di PMKRI. Cosmas dikenal dengan sosok yang realistik dalam berpolitik namun tetap kuat menjaga moralitas politik.
” Ia sangat realistik dalam politik, dan hampir menjadi icon dari realisme politik itu sendiri. Karena itu nasehat politiknya kadang terasa berlebihan ketika kita masih muda, tetapi terasa cukup pas ketika kita beranjak bergumul dalam dunia politik praktis. Dia mengatakan, dalam dunia politik, kita menghabiskan banyak waktu untuk urusan organisasional dan perkawanan yang jauh dari urusan substansi kebijakan. Tapi itu semua adalah prasyarat dan bagian dari perjuangan untuk menyelamatkan satu dua pasal kebijakan publik,” demikian tulis Anton Doni, dalam status Facebooknya, 8 Agustus 2019.
Meski terjun dalam realisme politik. Sosok yang satu ini tidak terhanyut dalam realisme itu sendiri. Ia tetap memegang teguh nilai-nilai keutamaan politik sebagai jalan menuju kebaikan bersama.
” Yang hanya perlu dijaga dalam pergaulan politik tersebut adalah nilai-nilai moral. Ini adalah juga salah satu penekanan nasehat Beliau, yang dibuktikannya juga dengan bebasnya Beliau dalam urusan KKN sampai di ujung hidupnya,” kata Anton.
Gereja katolik juga turut merasa kehilangan atas kepulangan sosok yang satu ini.
Hal itu disampaikan Romo Fransiscus Xaverius Mudji Sutrisno SJ, dosen STF Jakarta.
Mudji mengatakan Gereja telah kehilangan seorang tokoh Katolik yang mengabdi untuk kesejahteraan umum dengan pendekatan yang lembut dan berkeadaban.
“Beliau adalah salah satu pendiri Partai Golkar dan berjuang untuk Indonesia yang bermartabat dengan politik keadaban dan ekonomi moralitas sehingga ia dipilih menjadi menteri,” katanya.
Ketika beliau menjadi menteri, kata imam itu, ia sangat memperhatikan rakyat kelas menengah ke bawah tanpa melihat latar belakang mereka, melakukan pengkaderan bagi orang awam Katolik, membantu finansial dan pemikiran bagi organisasi-organisasi Katolik.
Meskipun beliau sudah tua, kata Romo Mudji, ia masih belajar dan bekerja. Ia menghormati pluralitas dan kemanusiaan.
“Oleh karena itu, mereka juga harus mengikuti teladan beliau dengan mewujudkan politik keadaban di tengah politik yang memainkan kekuasaan,” kata Romo Mudji. (VoN)