Ende, Vox NTT-Mosalaki, begitulah sebutan jabatan pemangku adat dalam masyarakat wilayah kekuasaan Suku Lio di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Mosalaki ialah simbol keberadaan adat dan budaya (kultur) secara turun temurun di Lio dengan tugas bertanggung jawab atas segala ritual adat termasuk menguasai hak ulayat.
Secara harafiah, Mosalaki berasal dari kata “Mosa” yang diartikan laki-laki dan “Laki” diartikan sebagai tuan. Sehingga Mosalaki dapat dimaknai sebagai orang yang memegang kekuasaan adat.
Konon, jabatan sebagai Mosalaki biasa melekat pada diri laki-laki. Terutama laki-laki yang dalam sistem perkawinan Suku Lio mengikuti garis keturunan ayah ataupun kakek (patrilineal).
Seorang lelaki yang diangkat menjadi Mosalaki bukan melalui proses pemilihan melainkan atas dasar petunjuk oleh leluhur melalui mimpi.
Nah, bagaimana jika Mosalaki di wilayah Suku Lio dijabat oleh seorang perempuan? Begini ceritanya.
Adalah Agatha Gale, perempuan kelahiran 1965 yang pertama kali menjadi Mosalaki Pu’u Tana Jendolaki, Desa Sipijena, Kecamatan Detusoko.
Agatha menjabat sebagai Mosalaki pada usianya ke-24 yakni pada tahun 1989. Artinya, dari usia itu ia telah menjabat sebagai Mosalaki selama 30 tahun.
Agatha, saat ditemui VoxNtt.com di sela-sela rapat koordinasi (Rakor) adat di Museum Tenun Ikat mengisahkan dirinya menjadi seorang Mosalaki.
Di usianya yang ke-24, ia tidak mengira bahwa dirinya akan diutus menjadi Mosalaki Pu’u (Kepala Suku) di wilayah tersebut. Meski Agatha merupakan keturunan kepala suku, kata dia, jabatan sebagai Mosalaki mesti harus dijatuhkan kepada keturunan laki-laki.
“Biasanya kepada laki-laki. Tetapi setelah dua Mosalaki di suku kami meninggal dunia, saya didukung keluarga dan nenek moyang mengambil jabatan ini. Saya juga anak tunggal dan nenek saya dulu adalah Mosalaki,” ucap dia saat ditanya VoxNtt.com.
Ia menjelaskan, menjabat sebagai orang nomor satu dalam struktur adat bukan menjadi hal yang keliru jika atas dasar petunjuk dari leluhur melalui mimpi. Hal itu yang ia alami.
Perempuan separuh baya ini menceritakan, dalam mimpi ia didukung oleh nenek moyang untuk menjadi Mosalaki di Sipijena. Para leluhur kemudian memberi petunjuk tatanan acara adat serta peran Mosalaki kepadanya.
“Semua ada petunjuk oleh nenek moyang dalam mimpi. Lalu, saya merasa ada kekuatan untuk memegang jabatan itu,” ucap Agatha.
Ibu sembilan anak meyakini bahwa jabatan itu ia manfaatkan secara baik dan benar sesuai petunjuk dan norma-norma adat. Hal itu ia buktikan selama puluhan tahun memimpin masyarakat adat (ana kalo fai walu) di wilayah itu.
Ia menjelaskan, kewibawaan yang dialami ialah ketika masyarakat adat menghargainya sebagai Mosalaki.
“Saya perempuan tapi saya ini Mosalaki. Kalau saya dihargai, maka saya akan kembali menghargai mereka. Saya tidak menekan dan ini yang saya alami selama ini dengan ana kalo fai walu saya,” kata Agatha yang hanya tamat pendidikan dasar.
Dukung Pemerintah
Dalam acara rakor adat yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Ende, ia menyampaikan kesan bangga karena berbaur bersama ratusan Mosalaki lainnya di wilayah Kabupaten Ende. Menurutnya, hal ini ialah wujud kesetaraan.
Namun, menjadi satu-satunya Mosalaki perempuan di Ende, baginya ialah hal biasa.
“Saya senang bergabung bersama seperti ini. Tapi kalau bilang saya ini adalah (Mosalaki, red) perempuan, saya kira biasa. Saya merasa biasa saja,” ungkap Agatha.
Tehadap program tiga batu tungku oleh pemerintah, kata dia, merupakan hal yang luar biasa. Sebab, pemerintah telah mengangkat dan menghargai para tokoh adat dan tokoh agama.
Oleh karena itu, Agatha mendukung proses pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
“Jadi, saya sangat mendukung program pemerintah. Ini adalah bentuk dukungan pemerintah terhadap kami,” katanya.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba