Soe, Vox NTT-CERITA tentang keunikan dari kampung adat Boti di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) memang tak ada habis-habisnya.
Kali ini, VoxNtt.com menyuguhkan cerita tentang lalat dan anjing ‘pintar’ yang bisa dikendalikan manusia.
Kalau anjing ‘pintar’ mungkin sudah biasa kita dengar, maka lalat ‘pintar’ yang dikendalikan manusia merupakan keunikan tersendiri dari kampung adat di bawah pimpinan Raja Namah Benu itu.
Dikisahkan warga Boti yang ditemui di arena Pameran Puspenmas, Kota Soe, Sabtu (31/08/2019), di wilayah kerajaan otonom tersebut dilaksanakan upacara ritual lima tahun meninggalnya ibunda Raja Namah.
Acara ritual adat yang dimulai bulan Agustus tersebut baru berakhir pada pertengahan November 2018 lalu.
Selama hampir tiga bulan itu, berbagai kegiatan ritual sesuai kepercayaan setempat dilaksanakan.
Saat itu juga menurut warga Boti, setiap hari, Raja Namah memerintahkan untuk membunuh hewan baik itu, babi, kambing maupun sapi.
Selama tiga bulan itu, ada 300 ekor babi, ratusan kambing dan 20 ekor sapi yang dibantai.
Daging hewan-hewan tersebut dibagikan kepada semua warga Boti maupun undangan dari luar kerajaan..
Uniknya, kisah para warga Boti ini, selama acara pembantaiaan hewan, tak ada satu pun gerombolan lalat yang hinggap pada jejeran daging yang disimpan begitu saja pasca pembantaian.
“Tidak ada kerumunan lalat yang hinggap di kumpulan daging hewan-hewan yang dibunuh,” cerita para warga Boti ini dalam bahasa Dawan.
Bahkan hewan piaraan, seperti anjing yang ada pun, hanya bisa duduk menjaga daging-daging itu.
“Anjing juga hanya duduk lihat begitu saja. Tidak makan,” tambah mereka.
Terkait kisah lalat-lalat dan anjing ‘pintar’ di Kerajaan Boti ini pun dibenarkan dan diakui, Pieter Kefi, salah satu anggota DPRD Kabupaten TTS yang pada Sabtu pagi ikut mengunjungi stan Boti.
“Kalau jumlah daging banyak seperti itu dan sudah mulai masuk awal musim hujan, bulan November, bisa dibayangkan, akan banyak lalat. Namun di Boti, sama sekali tidak ada lalat. Anjing pun tak perlu dijaga, anjing hanya duduk menjaga daging,” ujar Pieter Kefi membenarkan cerita unik tersebut.
Kisah lalat dan anjing ‘pintar’ ini bagi Raja Namah Benu yang diwawancarai terpisah, mengatakan sudah biasa bagi mereka di Boti.
Menurutnya, lalat atau anjing bisa merusak daging hewan bila saja, ada sesuatu kesalahan yang dibuat dalam upacara tersebut.
“Lalat bisa hinggap atau anjing bisa ambil daging kalau kita ada buat salah,” demikian penjelasan Raja Namah dalam bahasa Dawan.
Tentang Kerajaan Boti
Boti merupakan sebuah kerajaan tradisional yang berada di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Kerajaan Boti ini cukup terkenal, karena di sana bermukim sebuah suku asli (Suku Boti) yang hingga kini masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka selama beratus-ratus tahun.
Warga Suku Boti hanya sekitar 415 jiwa itu masih menganut aliran kepercayaan asli yang diturunkan leluhur mereka.
Di sekeliling mereka hidup masyarakat lain yang sudah menganut Agama Kristen (Protestan dan Katolik).
Kendati demikian, warga Suku Boti masih setia dengan aliran yang dianut oleh para leluhur mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari warga di Desa Bob itu menjunjung tinggi sikap toleransi, antara warga Suku Boti dengan masyarakat lain yang sudah menganut agama.
Dalam kehidupan kesehariannya, suku Boti dipimpin oleh seorang Tokoh Supranatural, “Namah Benu”.
Suku ini memiliki kepercayaan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi derajatnya di antara makhluk ciptaan yang lainnya.
Menurut pandangan mereka, di dalam hidup ini, manusia memiliki dua penguasa jagat yang harus ditaati. Penguasa alam dunia yang disebut Uis Pah, dan penguasa alam baka disebut Uis Neno.
Uis Pah dihormati dan disembah karena Dia-lah yang menjaga, mengawasi dan melindungi hidup manusia beserta seluruh isinya. Sedangkan Uis Neno disembah karena peran-Nya yang menentukan apakah manusia dapat masuk Surga atau Neraka.
Oleh karena itu, sesuai ajarannya, warga Suku Boti percaya bahwa apa yang dibuat selama manusia hidup di dunia akan ikut menentukan jalan hidupnya di akhirat nanti. Sikap hidup baik dan benar semasa di dunia akan menuntun manusia kepada kehidupan kekal abadi.
Dalam praktek hidup sehari-hari, warga suku Boti selalu dituntun oleh kepala sukunya agar selalu berbuat balk terhadap sesama, terhadap lingkungannya dengan menjaga, merawat dan melestarikan hutan yang semuanya itu merupakan suatu persembahan yang mulia kepada Uis Pah dan Uis Neno.
Mereka sangat yakin bahwa dengan memberikan persembahan, mereka diberi pahala dari sang Khalik berupa berkat, perlindungan dan keselamatan, atau malah sebaliknya mendapat murka jika mereka berbuat jahat.
Warga Suku Boti senantiasa hidup bergotong royong, saling membantu dalam meringankan beban sesamanya.
Soal adat istiadat, warga suku Boti sangat patuh dan setia mempertahankan keaslian tradisi nenek moyangnya sekalipun ditantang oleh perkembangan zaman yang terus berubah.
Suku Boti tampak bertahan menjaga kemurnian adatnya. Alhasil, dalam alam budaya dan adat istiadatnya, mereka merasa hidupnya tenang dan sejahtera.
Hidup dalam persekutuan adat yang rapat dan ketat, diyakini dapat memiliki kekuatan batin yang menyegarkan jiwa rohaninya.
Penulis: L. Ulan
Editor: Irvan K