JAKARTA, Vox NTT-Anggota DPR RI Terpilih 2019-2024 asal NTT, Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema mengadakan kunjungan ke China pada 28 Agustus-4 September 2019 guna memenuhi undangan Pemerintah China.
Tergabung dalam delegasi multi-partai Indonesia, Ansy mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan).
“Kami diundang untuk melihat langsung berbagai kemajuan pembangunan China serta secara khusus mengenal dan mendalami kebijakan multilateralnya tentang Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi Presiden Xi Jinping sejak tahun 2013,” ujar Ansy di Jakarta, Selasa, (10/9/2019).
Lompatan Kemajuan China
Ansy mengaku sangat kagum terhadap lompatan kemajuan spektakuler yang ditorehkan China. Tahun 2010 ia pernah ke China untuk menghadiri World Expo di Shanghai. Kini ia menyaksikan pembangunan China berkembang pesat. China 10 tahun silam berbeda jauh dengan China kini.
Untuk ukuran waktu, 10 tahun adalah waktu yang cukup lama, namun tergolong singkat jika dilihat dari segi kemajuan spektakuler yang dicapai China.
Negara Tirai Bambu itu kini telah bangkit menjadi negara modern yang mengalami transformasi besar dalam pembangunan. China maju pesat dalam berbagai aspek.
Capaiannya dalam ekonomi hebat, dalam pertahanan ia kuat hingga disegani rivalnya dalam kancah ekonomi-politik global.
Ansy menjelaskan geliat Sang Naga di era globalisasi memunculkan decak-kagum masyarakat dunia. Sang Naga telah menggeliat bangkit, bangun dari lelapnya, siap menjadi kekuatan adidaya baru dunia.
“70 tahun lalu angka harapan hidup di China hanya berkisar 40 tahun, kini angka harapan hidupnya meningkat di atas 70 tahun. 70 tahun lalu China tidak diperhitungkan dalam ekonomi global, kini China adalah kekuatan ekonomi dunia. China contoh sukses negara yang berhasil mengintegrasikan pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan budaya. Ia bisa sampai di titik kemajuan yang mencengangkan ini karena pemerintah dan rakyatnya serius bernegara,” ungkap Ansy.
Perihal China sebagai kekuatan ekonomi dunia, kata Ansy, tidak terlepas dari peran Deng Xiaoping. Ia arsitek utama reformasi ekonomi China melalui “Kebijakan Pintu Terbuka” (Open Door Policy).
Deng menghapus kebijakan luar negeri tertutup Mao Zedong, sembari membuka tirai bambu Tiongkok untuk investasi asing, perdagangan global dan kepemilikan modal. China juga melakukan pembangunan dengan tetap memperhatikan karakter kebudayaan masyarakatnya.
“Implikasinya, China menjadi negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi dan dengan cadangan devisa terbanyak,” tambah Ansy.
Kemajuan China ditopang oleh pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sejak Deng Xiaoping, China menggenjot pendidikan dengan mengirim anak-anak muda ke luar negeri.
Hingga kini, pendidikan China terus mentransformasi diri dengan menyuplai calon tenaga kerja yang berintegritas, handal, berdaya saing, dan melek teknologi.
“Dahulu banyak anak-anak muda China dikirim belajar ke negara-negara lain. Sekarang banyak negara lain mengirim pelajar dan mahasiswa untuk belajar ke China. Bahkan, saat ini ada 15.000 mahasiswa Indonesia yang mengenyam pendidikan di China,” kata Ansy.
Ansy mengaku sangat tertarik dengan kemampuan China memanfaatkan penelitian ilmiah untuk membangun negara.
Pemerintah sangat mendukung lembaga penelitian dan pengembangan untuk mendapatkan hasil penelitian berkualitas, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai rujukan bagi pembangunan.
Ia menceritakan kunjungannya ke Fuzhou Polytechnic, Fujian, sebuah universitas vokasional di bidang transportasi. Di sana delegasi mulyi-partai asal Indonesia diperkenalkan tentang pendidikan kejuruan dan teknis, mulai dari Jurusan Penerbangan dan Energi Terbarukan, Jurusan Rekayasa Lalulintas Perkotaan hingga Kecerdasan Buatan dan Robotika.
“Tidak hanya responsif terhadap perubahan zaman, desain kurikulum di China telah merancang pendidikan yang berorientasi pada kemampuan teknis-profesional-terspesialisasi. Penelitian ilmiah disokong untuk menghasilkan temuan berbasis teknologi digital atau transportasi modern. Kami saksikan langsung sistem dan manajemen transportasi yang terintegrasi-terkoneksi,” terang Ansy.
Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia-China
Pada kesempatan itu, Ansy mengenal dan mendalami “One Belt One Road Innitiative” (BRI) yang diinisiasi Presiden Tiongkok Xi Jinping. BRI terdiri dari dua komponen utama, yakni the Silk Road Economic Belt dan the 21st Century Maritime Silk Road. The Silk Road Economic Belt sebagai jalur darat bertujuan menghubungkan provinsi tertinggal bagian barat China dengan Eropa melalui Asia Tengah.
Sedangkan the 21st Century Maritime Silk Road sebagai rute laut bertujuan menghubungkan provinsi pesisir Tiongkok yang kaya dengan kawasan Afrika dan Asia Tenggara melalui pelabuhan dan jalur kereta api.
Ansy meyakini bahwa BRI sejalan dengan ide “Poros Maritim Dunia” Presiden Joko Widodo. Melalui “Poros Maritim Dunia”, Presiden Joko Widodo memutar paradigma pembangunan dan berkomitmen menjadikan laut sebagai sumber hidup dan ruang hidup bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Bagi Presiden, masa depan Indonesia ada di laut. “Poros Maritim Dunia” adalah caranya membangun-memajukan Indonesia. Pembangunan “Tol Laut”, seperti jalan, pelabuhan, kapal sangat penting agar insfratruktur kelautan dapat mendukung industrialisasi kelautan.
“BRI sejalan dengan visi “Poros Maritim Dunia” karena berkaitan dengan tiga dari lima pilar yang terdapat pada visi Poros Maritim Dunia Jokowi, yaitu konektivitas maritim, ekonomi maritim dan budaya maritim. Indonesia dapat meggunakan momentum BRI untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur maritim,” tambahnya.
Pembangunan infrastruktur maritim diharapkan dapat meningkatkan konektivitas jalur-jalur maritim di seluruh pelosok nusantara, yang kemudian berdampak terhadap kegiatan ekonomi maritim Indonesia untuk pemerataan dan keadilan pembangunan.
Kerja sama maritim Indonesia-China diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia, mendorong pemanfaatan ekonomi berbasis maritim melalui sektor pariwisata bahari, sehingga dapat mewujudkan budaya maritim bagi masyarakat Indonesia.
“Dalam konteks kepentingan maritim Indonesia, 21st Century Maritime Silk Road menciptakan potensi bagi Indonesia di bidang ekonomi maritim, khususnya investasi untuk pembangunan infrastruktur maritim. Indonesia berpotensi mendapatkan sumber investasi untuk pendanaan dan pembangunan infrastruktur maritim yang berasal dari AIIB,” ujar Ansy.
Ansy meyakini kerja sama ekonomi Indonesia-China dalam BRI menghasilkan sikap saling ketergantungan antar-kedua negara, yang dapat menjadi dasar untuk memperjuangkan perdamaian.
Kerja sama ekonomi Indonesia-China tidak hanya akan menghasilkan kesejahteraan, tetapi juga bisa mempromosikan rasa saling pengertian yang berkontribusi bagi penciptaan tatanan dunia yang damai.
“Kami meyakini bahwa kemitraan Komprehensif Strategis (Strategic Comprehensive Partnership) Indonesia-Tiongkok sangat penting bagi kepentingan nasional kedua negara. Indonesia butuh Tiongkok, Tiongkok butuh Indonesia. Sinergi keduanya dalam Strategic Comprehensive Partnership harus terus ditingkatkan kualitas dan cakupannya,” kata Ansy.
Persepsi Positif
Menurut Juru Bicara Basuki Tjahaja Purnama (BTP pada Pilkada DKI Jakarta 2017 itu, kemitraan Indonesia-China dalam BRI dapat berjalan baik apabila tercipta persepsi positif dan sikap saling percaya antara kedua negara. Apalagi kedua negaramemiliki kedekatan dan ikatan historis yang tetap terjalin hingga kini.
“Indonesia dan China telah terjalin sejak Dinasti Ming (1368-1644). Saat itu, Laksamana Cheng Ho melakukan perjalanan ke Indonesia, melakukan perdagangan dan pertukaran budaya antara China-Indonesia. Cheng Ho berdagang dengan melibatkan masyarakat lokal Indonesia, menghormati kedaulatan daerah yang dikunjungi dan melakukan akulturasi kebudayaan,” ujar Ansy.
Yang Khas dari Cheng Ho adalah peran signifikannya menyebarkan Islam ke seluruh penjuru nusantara. Ia diterima karena mengutamakan moderasi keagamaan dan toleransi. Semangat Cheng Ho menginspirasikan kebijakan China yang moderat dan bersahabat dengan semua agama, termasuk Islam.
“Kami sempat diajak untuk mengunjungi jejak-jejak sejarah Islam di China, seperti makam dua sahabat Nabi di Bukit Lingshan. Keduanya dikirim Nabi untuk menyebarkan Islam di China pada zaman Dinasting Tang. Kami juga mengunjungi Masjid Qinjing yang didirikan tahun 1009 Masehi. Umat Islam diizinkan untuk beribadah sesuai keyakinan. Kebijakan China yang moderat dan toleran karena Konstitusi Republik Rakyat China secara tegas menyatakan Republik Rakyat China menjamin warga negara memiliki kebebasan beragama,” papar Ansy.
Namun, Ansy mengingatkan bahwa kesuksesan Indonesia menjalin hubungan internasional sangat tergantung pada bagaimana dinamika dan situasi politik domestik. Diplomasi internasional butuh kesatuan serta soliditas para pengambil kebijakan dan pelaku politik domestik dalam visi dan implementasi.
“Jika jagat politik domestik lebih sering berseberangan jalan, peluang-peluang internasional akan lepas dari genggaman kita. Kita kerap terlampau asyik bertikai secara internal, hingga lupa peluang di depan mata kita,” imbuhnya.
Performa Indonesia dalam hubungan internasional, termasuk kemitraan komprehensif strategis Indonesia-China, sangat ditentukan oleh politik domestik. Jika “rumah tangga” bangsa Indonesia bersatu-solid, diplomasi internasional akan efektif-konstruktif memainkan perannya dalam percaturan ekonomi-politik-pertahanan global.
“Hubungan internasional hanyalah alat untuk memerjuangkan kepentingan nasional negara. Foreig policy begins when domestic poliyics ends. Semua kembali pada kesiapan domestik kita untuk menangkap peluang dalam hubungan internasional”, pungkasnya.
Selain Ansy, delegasi multi-partai yang berkunjung ke China adalah Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). (VoN).