Ruteng, Vox NTT – Salah satu dari rangkaian kegiatan dalam rangka merayakan HUT ke-50 PMKRI Ruteng yakni seminar nasional tentang pengelolaan Dana Desa, Jumat (13/09/2019) pagi.
Dalam seminar tersebut, PMKRI Ruteng menghadir pemateri Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Sama antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (Dit. PJKAKI KPK) Budi Santoso dan Kasubid KKMD Kemendes Suhandani.
Keduanya hadir dalam seminar nasional yang berlangsung di Aula Manggarai Convention Center (MCC) Ruteng itu.
Panitia pesta emas mengusung tema ‘Pengelolaan Dana Desa yang Efektif dan Efisien Menuju Desa Sejahtera’.
Budi Santoso mengupas sub tema ‘Langkah Preventif Pencegahan Korupsi’. Sedangkan Suhandani membahas sub tema ‘Dana Desa dan Pengentasan Kemiskinan’.
Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng Santu Agustinus Ignasius Padur menjelaskan, Dana Desa merupakan salah satu program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan.
Selain ditunjang dengan beberapa program unggulan, program ini juga didukung oleh anggaran yang besar.
Untuk wilayah NTT, kata dia, Dana Desa menjadi salah satu harapan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini tak terlepas dari status NTT sebagai provinsi termiskin ketiga dengan tingkat kemiskinan mencapai 21,35 persen. Persentase ini berdasarkan data BPS per Juli 2018.
“BPS juga mencatat, lokus rawan kemiskinan di NTT ada di wilayah pedesaan yakni 24,65%. Sedangkan di wilayah perkotaan sebesar 9,09%. Artinya, ada disparitas yang jauh antara desa dan kota,” ungkapnya.
Ia menambahkan, seminar nasional yang mengangkat tema pengelolaan Dana Desa merupakan bentuk upaya PMKRI dalam membangun desa di NTT, khususnya di tiga wilayah Manggarai (Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan Manggrai).
Bagi PMKRI, pengawasan terhadap pengelolaan Dana Desa adalah tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap warga Negara, khususnya di tiga wilayah Kabupaten Manggarai.
Menurut Padur, publik berharap penuh pada Dana Desa agar peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa benar-benar dimulai dari desa.
“Gap kesejahteraan desa dan kota di NTT, khususnya di Manggarai masih lebar. Jika Dana Desa tak dimanfaatkan secara tepat, gap itu akan terus melebar. Kita perlu kawal itu bersama-sama,” terangnya.
Padur berharap, Dana Desa dapat dikelola untuk kebutuhan pembangunan di desa, khususnya infrastruktur dasar.
Namun, alokasi anggaran yang besar saja tentu tidak cukup. Perlu ada pendampingan terhadap aparatur desa oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan Dana Desa.
“Sia-sia jika pembangunan hanya mengandalkan anggaran yang besar, tanpa diikuti peningkatan kapasitas aparatur di desa. Ini perlu jadi konsen pemerintah daerah di tiga Kabupaten Manggarai,” ucapnya.
Kasubdit Kerja Sama dan Kemitraan Masyarakat Desa, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes) Suhandani mengakui, pengelolaan Dana Desa masih diwarnai dengan penyimpangan dalam pengelolaannya.
Hal tersebut kerap terjadi tidak hanya pada tataran pelaksanaan program, tetapi juga mulai dari perencanaan.
Kekeliruan dalam perencanaan mengakibatkan kesalahan dalam penganggaran.
Salah satu sebabnya, menurut Suhandani, adalah masih minimnya informasi perangkat desa terkait model dan manajemen pengelolaan Dana Desa yang diharapkan.
“Banyak sekali penyimpangan itu terjadi karena ketidaktahuan. Banyak yang salah dalam program. Salah dalam RAB, estimasi, dan lain sebagainya,” kata Suhandani dihadapan peserta seminar.
Padahal, lanjut dia, filosofi pemanfaatan Dana Desa sebetulnya dimaksudkan untuk membangun infrastruktur dasar.
Misalnya, infrastruktur dasar, Posyandu, Puskesmas Pembantu (Pustu) dan perbaikan sanitasi di desa. Kekeliruan itu terjadi di banyak daerah.
“Misalnya, yang dilakukan oleh pemerintah desa di Kalimantan Barat, banyak sekali kepala desa menggunakan Dana Desa untuk membeli ambulans,” ujarnya.
Saat bersamaan Direktorat Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar-Komisi dan Instansi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Budi Santoso menegaskan, kesalahan pengelolaan anggaran Dana Desa berdampak pada upaya penanggulangan kemiskinan.
Praktik korupsi dengan cara mark up anggaran juga masih membelenggu pengelolaan dana desa di banyak daerah.
“Kemudian mark-up juga. Harganya dinaikkan dengan kualitas standar atau diturunkan. Laporan fiktif juga terjadi. Terjadi pembengkakan anggaran,” ungkapnya.
Modus praktik korupsi Dana Desa, kata Budi, kerap dimulai dari tahapan perencanaan. Hal ini mengingat, perencanaan menentukan laporan pertanggungjawaban Dana Desa.
“Titik awal korupsi dimulai dari proses perencanaan. Perencanaaan sangat menentukan. Pertanggungjawaban keuangan,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, setiap tahun, jumlah Dana Desa yang dialokasikan terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2015, Dana Desa yang dikucurkan sebesar Rp 20,7 triliun. Jumlah itu meningkat pada tahun 2016 menjadi Rp 40,9 triliun.
Kemudian, pada 2017 kembali ditingkatkan menjadi Rp 60 triliun dan pada 2018 sebesar Rp 60 triliun. Pada tahun 2019, pemerintah kembali meningkatkan besaran alokasi Dana Desa mencapai Rp 73 triliun.
Dana Desa dapat dipakai untuk membiayai pembangunan di desa melalui produk unggulan desa (Prukades), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Sarana Olahraga Desa (Raga Desa).
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba