*) Cerpen Melki Deni
Senja selalu memungut hal-hal yang berbeda tentang orang-orang yang berbeda dengan bahasa yang berbeda-beda. Senja kali ini mengisah sekaligus mencatat kisah tentang umat Tuhan di sebuah kampung. Dia, nama kampung itu. Silvano sedang duduk dengar kisah om Anselmus, Om Lazarus, om Bone, om Matius, dan om Don di sebuah Compang (Mesbah) di tengah kampung Dia.
Om Matius bercerita bahwa sedari diperkenalkan kepada Tuhan dalam agama, umat kampung Dia sangat antusias terhadap kegiatan-kegiatan gereja. Entah bagaimana sampai umat kampung Dia berikan sebidang tanah untuk bangun tempat ibadat. Itu kurang terlalu penting.
Sekitar tahun 1970-an mereka mendirikan kapela kecil, rumah Tuhan di dekat jalan raya dan kali besar, sumber batu dan pasir. Ekskavator dan truk belum tampak. Apalagi gerobak. Umat harus pikul batu dan pasir dari kali menuju tempat dirikan kapela kecil. Umat abaikan kesibukan di kebun masing-masing demi Tuhan dan kemudahan bagi pelayan Tuhan melayani umat Tuhan di satu tempat saja.
Tak terhitung jumlah babi, sapi, kerbau, ayam dan lain-lain mati karena tak terurus baik selama berminggu-minggu. Ibu-ibu dan nenek-nenek hanya mengurusi anak-anak yang terbaring lemah karena gizi buruk, penyakit kulit dan serangan dukun santet di rumah bergubuk bambu reyot.
Malam selalu tuli bisu. Terang pelita bermerah tua dan tidak meluas. Kakus belum terbayang-bayang. Jika mau buang air malam-malam, bawa obor bersumbu besar dan ditemani dua atau lebih orang. Sebab, setan-setan berkeliaran menari-nari di bawah kolong dan di sekeliling rumah. Malam-malam terdengar suara bayi-bayi setan menangis di atas atap rumah, setan tua menghantui lewat jendela, dan seringkali mencekik manusia dalam mimpi. Iya, malam memang telanjur mati rasa.
Subuh pun seringkali gagap kata. Tak jarang subuh memberitakan orang-orang kerasukan setan yang tinggal di hulu air. Sebab waktu itu semua warga di kampung Dia harus timba air, mandi, dan cuci di satu pancuran. Itulah alasan mereka membutuhkan dan mencari Tuhan di dalam agama. “Manusia sekarang memang tidak percaya akan adanya setan dan kekuatan destruktifnya. Sekarang setan hadir berupa rupa-rupa teknologi.” Lanjut om Lazarus.
Memang sebelumnya mereka bertuhan dalam agama Islam. Namun entah mengapa sejak sekitar tahun 1990-an mereka beriman kepada Yesus Kristus dalam agama Katolik.
Om Anselmus bertutur bahwa sebelum nenek moyang mereka beragama Islam, mereka beragama Katolik. “Pokoknya mereka selalu pindah masuk agama.” katanya. “Tapi ‘kan Tuhan tetap satu?” tanya om Bone sambil membuang asap rokok.
Dua tahun kemudian.
Senja membalikkan kisah damai yang menteramkan relasi mesrah antara Tuhan dan umat kampung Dia. Senja itu seorang anak kecil menangis di sudut tempat tidur. Namanya Chirstin. Ia tak mau makan seusai pulang sekolah, tidak belajar dan tidak bantu orangtuanya. Ibu mulai pikir yang tidak-tidak menimpa anak yang manis itu. Sedangkan sang ayah sedang berpikir tentang anggaran dana syukuran atas Penerimaan Komuni Pertama anaknya.
Biasanya bulan Oktober itu masih musim panen jambu mete. Namun kali ini jambu mete tidak berbuah banyak seperti setahun lalu. Malam terus berlarut mereka bertanya mengapa anaknya menangis sejak pulang sekolah.
Dia menangis karena dengar berita pastor paroki sudah keluarkan surat sanksi pastoral terhadap umat kampung Dia bahwa tidak akan ada pelayanan pastoral, tentu termasuk Sakramen sakramentali. Padahal mereka sudah siapkan semuanya, termasuk pengakuan dosa sudah dijalankan sehari sebelumnya. Mereka tentu mau seperti umat yang sudah terima Komuni Suci, bisa masuk seminari setelah tamat SD, jadi frater, pastor, bruder, suster, dan bisa mendapat status beragama.
“Apa masalahnya sampai keluarkan surat sanksi pastoral seperti itu?”
“Kapela dan tanah di sekitarnya!”
“Ada apa dengan tanah itu?”
“Saya dengar samar-samar saja, masalahnya kita umat kampung Dia sudah bongkar kapela dan rebut kembali tanah di sekitar kapela.”
“Memangnya kamu lihat kapela sudah dibongkar?”
“Tidak!”
Christin ketiduran seusai ceritakan masalah itu, sedangkan orangtuanya sibuk memikirkan masalah itu. Mereka juga bingung mengapa diadakan sanksi tanpa ada permasalahan.
“Tuhan kita sedang lumpuh?”
Christin mengigau. Orangtuanya sadarkan dia.
“Kata siapa? Kau jangan omong seperti itu! Cukup kali ini berkata begitu. Itu penistaan agama.”
“Kata seorang kakek di dalam mimpi tadi. Kakek itu tinggal di sebuah gua kumal yang saya tidak pernah kenal sebelumnya di dunia nyata.”
“Mustahil Tuhan lumpuh, nak! Itu takkan pernah terjadi. Jika itu benar, cakrawala dan bumi lenyap serentak. Dan kita pun tentu musnah sebelum cakrawala dan bumi runtuh total.”
“Itu tidak berlebihan, ma pa.”
“Sekali lagi, jangan katakan itu, nak. Awas orang-orang dengar dan viralkan itu melalui media. Lalu engkau akan melanjutkan sekolahmu di dalam penjara.”
“Terserah. Lebih baik tinggal di penjara daripada hidup di luar, pa. Tapi di manakah Tuhan lumpuh ketika masalah ini sedang terjadi ? Saya mau mengobati Tuhan di mana saja. Tuhan tidak adil betul.”
“Tuhan tidak lumpuh. Hanya pikiran, sikap iman dan penghyatan iman kita yang lumpuh, nak!” sahut ibunya.
“Oh iya. Kakek itu bilang Tuhan dilumpuhkan di mimbar-mimbar, ma. Tuhan dilumpuhkan demi kepentingan-kepentingan para pengkhotbah, ma.”
“Tidak nak. Tuhan menghindar saat mau dilumpuhkan.”
“Terus, di mana Tuhan sekarang, ma?”
Ibunya mulai menjelaskan dengan peunuh kesabaran. Mengkin saja Tuhan sedang pesiar di Roma, Israel, Jerman atau Rusia. Tidak mustahil Tuhan sedang mendengar pengakuan dosa para perampok, koruptor, penculik, pemerkosa, investor kapitalis, cendikiawan idealis dan para pengobral murah gadis-gadis di pasar-pasar.
Dapat terjadi Tuhan sedang mendengar baca mazmur para nabi sekuler materialis. Boleh saja jadi Tuhan sedang menangisi para imam feodalis yang sedang meraup tanah-tanah para petani miskin lagi melarat di kampung. Atau Tuhan sedang hitung jumlah oknum-oknum mati karena bunuh diri, obesitas, keracunan, stunting, kelaparan, perubahan iklim, dan penyakitan di dunia yang bisu.
Barangkali Tuhan sedang jalan-jalan ke rumah-rumah para wakil rakyat, mencatat jumlah perut yang terlampau buncit akibat menelan mentah-mentah uang pajak tanah rakyat yang tak mampu dikelola. Tidak menutup kemungkinan Tuhan sedang melawati umat yang menderita sakit, miskin papa, tersingkirkan, terbuang, pengemis, gelandangan, tawanan, dan kaum buruh kasar.
“Tapi, kok selalu mungkin, ma. Tuhan tinggal dalam kemungkinan begitu, ma?”
“Sudahlah. Itu kurang penting. Yang terpenting, nanti kita kerja sama dengan semua umat, tanyakan ke pihak keuskupan tentang masalah apa saja yang dapat diberikan sanksi pastoral terhadap umat. Lalu kita coba laporkan masalah ini ke pihak pemerintah, karena ini termasuk pencemaran nama baik umat.”
Sudah satu tahun masalah pelik nan sedih ini tidak kunjung usai. Pihak paroki (baca: pihak keuskupan) tidak bertanggung jawab terhadap sensus fidelium umatnya. Pemerintah setempat juga memalingkan diri dari antusias religiositas masyarakat. Setahun umat Tuhan tak bertemu Tuhan dalam Misa Kudus, Ibabat, Pengakuan Dosa, anak-anak tidak menerima Permandian Suci, tidak diberi kesempatan menerima Komuni Pertama, dan pernikahan umat tidak direstui secara gereja.
Dosa-dosa umat menumpuk dan mau tumpah di atas tanah yang gersang. Tuhan, Engkau di mana? Semoga Tuhan tidak dipasungkan di dalam gulungan uang merah. Semoga Tuhan tidak dilumpuhkan di dalam khotbah- khotbah panjang para nabi modern yang kapitalis-materlis. Tuhan.***
Catatan: Mohon maaf bila ada persamaan nama dan kisah.
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere, berasal dari Reo-Manggarai. Ia bergabung dalam kelompok sastra ALTHEIA, KMK-L, dan penyair lepas pada beberapa media.