Kupang, Vox NTT-Semua kekerasan berbasis agama dan etnik di Indonesia memantulkan satu pesan sangat kuat bahwa negara ini lalai atau gagal melindungi warga negara.
Pernyataan itu dikemukakan advokat senior NTT, Frans Tulung, S.H, Sabtu, pekan lalu di aula Hotel Sasando, Kupang.
Ia menanggapi opini publik yang menyebutkan kekerasan berbasis agama dan etnik di Indonesia karena penghayatan nilai-nilai Pancasila sangat rapuh.
Menurut Frans Tulung, narasi bahwa rakyat bodoh dan kurang kuat menghayati nilai-nilai Pancasila tidak boleh diteruskan. Narasi sedemikian itu condong menuding warga negara sebagai pelaku tunggal disharmoni dan antirukun. Seolah-olah rakyat itu tidak memiliki penghayatan dan pengamalan Pancasila. Terkesan warga negara itu naif, dungu dan tolol. Mereka gemar sengketa politik atau sejenisnya.
Padahal, Frans Tulung menilai, secara ideologis, tugas pokok dan wajib negara itu ialah melindungi setiap warga negara dari aneka jenis kekerasan yang ditimbulkan baik karena relasi sosial politik yang buruk atau karena krisis lain berbasis ideologi global.
Sedangkan, warga negara mengerjakan apa yang menjadi hak-haknya sebagai warga negara yang baik dan menuntaskan seluruh kewajibannya seturut hukum yang berlaku. Hukum tertulis maupun tidak tertulis.
Manakala warga negara tidak mengerjakan kewajibannya dengan baik, maka negara berhak untuk memaksa warga negara. Hanya negara satu-satunya institusi yang diberi tugas oleh Undang-undang untuk memaksa setiap warga negara bila ada di antaranya yang melakukan perbuatan melawan hukum.
Salah satu perbuatan melawan hukum yang nyata-nyata jelas di depan mata semua orang ialah ujaran kebencian, hoaks, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sempalan kelompok garis keras, dan tindakan berulang menghalangi pembangunan rumah ibadah di negeri ini.
“Aparat hukum bukan bertindak tegas, malah ikut-ikutan membuat analisa di televisi atau media sosial lain, seperti kelakuan para pengamat sosial politik,” ujarnya.
Dia mencontohkan perihal wujud negara gagal. Negara gagal mengurus penegakan hukum, misalnya. Akibatnya sempalan politik kelompok garis keras secara bebas mengujar kebencian dan kebohongan di mana-mana.
Bahkan negara pun sepertinya sama sekali tidak peduli pada aneka kasus kekerasan yang nyata-nyata dilakukan organisasi kaum hardliners di Indonesia yang kejadiannya persis terjadi di depan mata petugas hukum.
Rakyat menyaksikan semua peristiwa buruk itu. Rakyat pun melihat petugas hukum tidak melakukan tindakan hukum apa pun yang bermakna sama sekali.
Akibatnya, rakyat merasa, hukum di negeri ini tidak berdaya berhadapan dengan kelompok dan organisasi beraliran garis keras, radikal dan kaum fundamentalis. Aparat hukum pun dikesankan sangat toleran dengan kekerasan.
“Mencermati gejala itu, terbuka imajinasi dan pikiran bahwa jangan-jangan aparat hukum pun menjadi bagian dari jaringan kelompok garis keras itu sendiri,” ujarnya.
Menurut mantan Ketua AMPI NTT ini, jika kondisi ini dibiarkan tanpa kendali penegakan hukum yang jelas dan presisif, maka gerakan disobedience atau distrust dapat terjadi yaitu meluasnya ketidakpatuhan warga negara kepada negara.
Maka, kekerasan ikutan lain yang kini terjadi di Indonesia merupakan ekses lanjutan lantaran negara gagal atau lalai melindungi warga negaranya sendiri.
Tatkala negara gagal atau lalai melindungi warga negaranya sendiri, cepat atau lambat negeri ini jatuh terjerembab dalam situasi dan kondisi yang memenuhi kriteria sebagai negara kolaps.
Jika hal ini benar terjadi, maka aparat negara hadir tetapi tidak berfungsi, atau berfungsi untuk melayani kepentingannya sendiri tetapi tidak melayani kepentingan rakyat.
Demi mengatasi situasi ini, maka Frans Tulung, yang adalah juga pengurus inti Partai Golkar NTT, menyebutkan, tak ada jalan pintas niscaya kecuali semua aparat penegak hukum wajib bertindak dan bersikap profesional, proporsional dan jangan pernah ragu-ragu melakukan penegakan hukum entah kepada siapapun itu.
“Jika ada kekerasan berbasis agama di depan mata, ada ujaran kebencian dan penghinaan terhadap agama lain, mestinya petugas hukum tangkap dan proses secara hukum. Jika rakyat melihat ada tindakan tegas aparat hukum terhdap pelaku kekerasan, maka kepercayaan warga negara pulih dan respek terhadap negara. Selanjutnya timbul trust publik. Obendience pun merupakan harga pasti dari logika peran negara itu,” ujar Frans.
Sementara apa yang terjadi di NTT, menurut Frans, sebagai pantulan realitas relasi sosial kultural sangat baik karena hubungan masyarakat di NTT berbasis penghayatan nilai-nilai kultural yang diturunkan secara turun temurun.
Anggota warga masyarakat silakan beragama beda, atau beda ideologi politik, tetapi sebagai anggota warga masyarakat mereka mesti bersatu dan ikut terikat serta terlibat dalam urusan kultural di masing-masing kelompok mereka.
Jadi, relasi sosial masyarakat NTT lebih diwarnai dan ditentukan serat-serat relasi kultural dibanding kerekatan berbasis relasi politik yang syarat kepentingan rebut kuasa dan mencari untung pribadi.
Itulah sebabnya NTT selalu disebut propinsi paling toleran di Indonesia. Padahal toleransi itu bukan hasil rancangan politis, tetapi sikap toleran sebagai akibat relasi dan serat-serat kultural yang dipercayai pasti memelihara harmoni dalam hidup bersama.
Banyak istilah khas daerah masing-masing yang memantulkan konten harmoni itu sendiri. Karena itu, Frans Tulung, menyerukan, jika ingin hidup toleran, belajarlah di NTT, atau hiduplah menurut serat-serta kebudayaan masing-masing, bukan mengikuti kultur import yang dinodai ideologi radikal atau reaksionis.
Penulis: eka
Editor: Irvan K