Oleh: Jean Loustar Jewadut
Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret
Meninjau perjalanan demokrasi kita saat ini, sepertinya status rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam konstelasi politik dilanda bencana yang membahayakan bahkan mematikan.
Pemerintah yang pada galibnya berperan sebagai organum solutis populi (sarana keselamatan rakyat), malah acapkali membuat rakyat memasuki zona kebingungan dan kecemasan.
Rakyat mulai menaruh pesimis terhadap kualitas kinerja pemerintah yang turut membidani lahirnya aneka kasus pelanggaran hukum seperti korupsi.
Banyak kebijakan politik yang dijalankan setengah hati yang pada gilirannya akan mewariskan korupsi yang beranak cucu.
Akibatnya, rakyat menderita sengsara dan hidup melarat sebagai akibat dari ketidakadilan dan kemiskinan struktural, tetapi pada saat yang sama banyak pemimpin kita yang sibuk mengenyangkan perut dan mempertebal dompet milik pribadi.
Bahkan menjadi lebih parah ketika kemiskinan rakyat menjadi objek yang dipolitisir. Politisasi kemiskinan adalah upaya untuk menempatkan kemiskinan sebagai objek politik, objek untuk memperoleh kekuasaan.
Politisasi kemiskinan tidak pernah melihat kemiskinan sebagai persoalan krusial yang mesti segera diatasi, melainkan dipandang sebagai sesuatu yang bernilai politis sehingga terus dibiarkan.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa politik dan demokrasi di Indonesia sedang dikendalikan oleh segelintir kaum elit. Politik dan demokrasi diinstrumentalisasi oleh kaum elit dalam rangka melayani kepentingan parsial mereka.
Alih-alih berkoar-koar mengumandangkan kedaulatan berada di tangan seluruh rakyat, namun dalam kenyataannya justru hanya menjadi konsumsi segelintir elite.
Demokrasi yang dicita-citakan oleh Mohammad Hatta, yang tidak hanya ditegakkan dalam bidang politik, tetapi juga harus ditegakkan dalam bidang ekonomi, hemat saya, mengalami kemandekkan pengaktualisasiannya.
Realitas mengungkapkan bahwa demokrasi di Indonesia bukan hanya tidak dijalankan secara efektif dan efisien dalam bidang politik, melainkan juga dalam bidang ekonomi, demokrasi hampir tidak dipraktikkan sama sekali.
Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin menjadi sebuah realitas yang tidak terbantahkan di Indonesia. Segelintir orang kaya berkat kekuatan modal ekonomi mendominasi peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironisnya, peranan tersebut justru dilakonkan untuk memperkaya diri dan kelompok sehingga mereka yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.
Marx tentang Kesadaran Palsu
Patut diakui bahwa realitas kemiskinan masih membumi di NTT. NTT tergolong propinsi miskin, namun tingkat korupsinya masih sangat tinggi. Penyebab kemiskinan masyarakat NTT bermacam-macam.
Ada rakyat yang miskin karena alasan kemalasan dan tidak mempunyai kompetensi yang bisa diandalkan untuk keluar dari lilitan kemiskinan.
Tetapi, ada juga rakyat yang dimiskinkan oleh struktur dan sistem politik tertentu. Dalam hal ini, sekalipun rakyat memiliki kepribadian yang rajin dalam bekerja dan mempunyai kompetensi yang handal untuk menunjang hidupnya, rakyat tersebut tetap berada dalam kubangan kemiskinan karena struktur dan sistem yang berkehendak untuk memiskinkan rakyat.
Hemat penulis, kemiskinan struktural jauh lebih berbahaya ketimbang kemiskinan yang disebabkan oleh faktor individu.
Menanggapi problem kemiskinan struktural, penulis menggunakan teori kesadaran palsu ala Karl Marx, seorang filsuf keturunan Yahudi yang berkebangsaan Jerman. Kebanyakan masyarakat dewasa ini sedang diselimuti oleh kesadaran palsu.
Kesadaran palsu seolah-olah membenarkan anggapan bahwa kemiskinan amat disebabkan oleh kesalahan individu dan bukan karena struktur yang dikonstruksikan oleh elit-elit politik tertentu yang tidak menunjukkan keberpihakan pada masyarakat.
Kesadaran palsu di satu sisi membawa keuntungan bagi para elit politik dan di sisi lain membawa kerugian bagi masyarakat. Para elit politik diuntungkan karena struktur yang mereka konstruksikan seutuhnya mengabdikan diri untuk memenuhi kepentingan pragmatis mereka, serentak menelantarkan masyarakat.
Struktur yang mereka konstruksikan yang hanya menguntungkan mereka sama sekali tidak disadari oleh masyarakat sebab masyarakat telah dihantui oleh kesadaran palsu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kesadaran palsu membawa kerugian bagi masyarakat.
Jika masyarakat terus hidup dalam kesadaran palsu, mereka tidak akan berkembang dan menikmati hidup yang lebih sejahtera. Kesadaran palsu yang menginternal dalam diri kebanyakan masyarakat membuat mereka cenderung mempersalahkan, mencela dan mengutuk diri sendiri.
Mereka yang diperhamba oleh kesadaran palsu sangat pesimis akan kemampuan dan kreativitas dalam diri dan akan menerima realitas kemiskinan sebagai sesuatu yang terberi.
Jika kesadaran palsu membuat masyarakat menerima kemiskinan sebagai nasib, satu-satunya yang dapat mengubah situasi adalah intervensi dewa penolong, seperti Deus ex machina (dewa mesin) dalam mitologi Yunani, yang dapat menyelesaikan semua persoalan dalam sekejap mata dan membuat aneka perubahan dengan jurus-jurus ajaib yang tak disangka-sangka.
Sang Dewa turun tangan dan masuk begitu saja dalam perjalanan hidup manusia. Ia menawarkan diri sebagai solusi untuk menghadapi segala masalah.
Nalar Marx: Lawan Kemiskinan Struktural dan Pentingnya Peran Pendidikan
Sejarah terbentuknya masyarakat, demikian Marx, disebabkan oleh adanya konflik. Konflik tersebut terjadi antara kaum kapitalis dan kaum proletar, orang yang memiliki kekuasaan dan orang yang tidak memiliki kekuasaan.
Dalam kenyataannya, konflik tersebut selalu dimenangkan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Alasannya jelas karena dengan kekuasaan mereka bisa membuat apa saja termasuk merancang sistem dan struktur yang hanya menguntungkan mereka. Sistem dan struktur tersebut serentak pula menghantar masyarakat untuk masuk ke dalam kubangan kemiskinan struktural.
Kesadaran palsu harus ditinggalkan. Yang terpenting adalah konsientasi (penyadaran) dalam diri masyarakat untuk melawan kemiskinan struktural.
Struktur yang tidak mendatangkan kesejahteraan pada masyarakat luas harus dilawan dalam rangka terwujudnya struktur yang sungguh-sungguh pro-kesejahteraan rakyat.
Perlawanan tersebut menjadi tanda bahwa masyarakat sungguh peduli terhadap nasib yang sebenarnya bisa diubah ke arah yang lebih baik.
Selain itu, perlawanan masyarakat tersebut dapat juga dibaca sebagai upaya untuk menyadarkan para elit politik untuk tidak bersikap individualistik.
Sejarah mencatat bahwa pelbagai bentuk perlawanan untuk melawan kebengisan para pemimipin yang tidak peduli terhadap nasib rakyat tidak dijalankan secara sendiri-sendiri, tetapi dalam semangat kebersamaan. Contoh praktisnya adalah perlawanan dalam meruntuhkan rezim otoriter-represif Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Para mahasiswa pada saat itu menggabungkan diri dalam pelbagai kelompok untuk memberhentikan Soeharto dari jabatannya sebagai presiden. Hemat saya, perlawanan masyarakat terhadap kemiskinan struktural menjadi semakin efektif jika dijalankan dalam semangat kebersamaan.
Untuk itu, salah satu hal terpenting yang bisa ditempuh adalah menggabungkan diri dalam pelbagai organisasi untuk memperjuangkan nasib yang lebih baik. Kekuatan organisasi jauh lebih berdaya transformatif ketimbang kekuatan individu. Seturut nalar Marx, marilah kita melawan kemiskinan struktural!
Dalam melancarkan upaya konsientisasi untuk melawan kemiskinan struktural, pendidikan dapat memainkan peranannya. Pendidikan gaya monolog, di mana guru menjadi pengasal ilmu dan pelajar menjadi “bank” yang menampung ilmu-ilmu tersebut mesti ditinggalkan.
Pelajar mesti dilatih untuk berpikir kritis dalam menanggapi realitas destruktif di sekitarnya. Untuk itulah, gaya pembelajaran ideal adalah gaya pembelajaran dialog. Guru mengangkat realitas hidup masyarakat, memprovokasi pelajar untuk bersikap kritis dalam menanggapi dan menawarkan solusi untuk mengatasi problem-problem dalam hidup bermasyarakat.
Pendidikan yang ideal perlu mengasah intelektualitas sekaligus rasionalitas pelajar. Rasionalitas berkaitan dengan kemampuan setiap orang untuk bertanya dan mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi. Hal ini berbeda dengan intelektualitas yaitu keadaan di mana seseorang mempunyai pengetahuan yang luas tentang topik-topik tertentu.
Seorang petani yang mempunyai informasi yang terbatas tentang ilmu pertanian tetapi mampu bernalar untuk memperganda hasil pertaniannya, tentunya jauh lebih rasional ketimbang seorang mahasiswa atau kaum intelektual yang mempunyai banyak informasi ilmiah, tetapi tidak mampu memanfaatkan atau menggunakan informasinya tersebut.
Pelajar tentu saja memiliki banyak perbendaharaan infomasi dan pengetahuan di otak, namun rasionalitas perlu terus-menerus dikembangkan, dengan mengolah secara kritis segenap kenyataan dan informasi yang berhubungan dengan nasib rakyat.