*) CERPEN Gusti Ginta
Naas benar nasib si Tus. Cintanya gagal, ia masuk sel pula. Seminggu sudah pria yang menyandang gelar sarjana ini ditahan di bui milik kepolisian setempat.
Sungguh kalau bukan karena cinta yang mendalam, mana mungkin di tempat itu ia mendekam. Toh, apa yang dilakukannya bukan merugikan negara atau meresahkan masyarakat sekitar. Hanya saja negara yang didiaminya terlampau nafsu masuk kamar dan mencampuri urusan selangkangan. Entah sebagai apa di sana, hanya para pembuat undang-undang yang tahu.
Ia di adukan karena melakukan delik asusila oleh ayah dari kekasih hatinya, Sebina. Bukan apa-apa juga jikalau mereka sudah dikawinkan oleh agama, direstui adat dan dilegalisir oleh negara. Tetapi yang namanya cinta-cintaan di negaranya tak selalu berjalan mulus. Ada-ada saja aturan mainnya dari keluarga hingga ke negara. Cintanya telah runtuh bahkan sejak di dalam kepala.
Kalau merunut ke belakang, perjalanan hidup si Tus memang sungguh menyedihkan. Terlampau ironi. Ia meninggalkan kampungnya beberapa tahun silam dengan harapan akan kembali membawa perubahan. Satu diantaranya mampu meminang si Sebina, gadis cantik turunan dari pejabat daerah.
Tus telah lama tahu bahwa Ayah beserta keluarga kekasih hatinya telah menetapkan beberapa syarat bagi calon suami Sebina.
Ultimatumnya adalah tak mau tahu. Pokoknya sudah inkracht calon suami anaknya harus bersarjana. Nilai belis ratusan juta rupiah dan ternak pun tak kalah banyaknya. Syarat-syarat pokoknya ini, syarat tambahan diikut dari belakang.
Betapa berat tantangan buat si Tus, syarat satu memang sudah dia punya tetapi yang lainnya masih ragu. Apalagi di zaman sekarang ini susah dapat kerja. Mau ke situ selalu ditanya apa ada orang dalam, tidak? Belum lagi kepribadian si Tus yang kata orang-orang di sana : ” nana Tus terlalu idealis”.
Maka tak heran orang-orang seperti dia tak cocok masuk gelanggang politik praksis. Jangan bilang lagi masuk parlemen, kalau dia ke sana tentunya akan ada perdebatan yang masuk akal berkerkaitan dengan kebijakan politik hukum pidana. Dan seandainya itu terjadi barangkali ia tak jadi bakal calon narapidana sekarang.
Memang ada benarnya dikatakan orang bijak, bahwa yang menang dalam perdebatan di dalam kampus belum tentu berlaku sama dalam pergulatan di masyarakat. Benar-benar apes mampus nasibmu Tus!
Tus sebenarnya tidak langsung jadi orang tahanan. Sebab delik asusila yang dituduhkan hanya gara-gara main cinta-cintaan sebelum disahkan oleh lembaga-lembaga perkawinan. Bukanlah pula menjadi delik yang dipersyaratkan oleh pasal dalam kitab hukum acaranya berkenan dengan penahanan.
Tetapi bukan ayah Sebina jikalau tidak bisa memelintir aturan a quo. Mereka memang sudah menghendaki agar Tus yang di mata mereka punya harta ala kadarnya, tak punya kesempatan bertemu Sebina lagi.
Memang begini sudah jika negara menginvasi ruang pribadi, jadinya tak karuanlah kehidupan masyarakat. Tak ada medium damai-damaian yang ditempuh. Bersama negara yang berseliweran aturan deliknya, maka main lapor kepada para penegak hukum dinilai yang paling ampuh.
***
Sidang pembaca yang budiman sampai di sini, barangkali masih rada-rada bingung dengan asal mula cerita ini sesungguhnya. Mari kita ikuti percakapan Tus dan Sebina, saat keduanya bertemu di sel tahanan sebelum Tus di bawa ke muka hakim yang terhormat.
“Berat sekali percobaan ini bagi saya sendiri nana Tus. Ingin nian saya pun merasakan penderitaanmu di tempat ini. Menjadi dosalah saya, tak tanggung renteng berdua terhadap permasalahan ini” ucap lirih dari Sebina (seperti biasa air mata pun berderai).
Lalu buru-buru Tus menyergah pelan : “Aih enu tidak perlu kau menangis enu, ini bukanlah penderitaan selamanya. Justru dengan inilah aku tersadarkan, betapa ilmu harus diberdayakan secara sungguh-sungguh. Demi kemanusiaan dan kebebasan. Dari tempat ini saya akan melakukan gugatan lewat pledoi di persidangan nanti. Sekarang yang kamu lakukan adalah berhenti menangis. Bukankah saya selalu bilang dengan mengutip puisi -puisi Chairil Anwar : nasib adalah kesunyian masing-masing – dan cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar?“.
Tetapi Sebina tak surut juga perkataanya, sebagai lanjutan ia memulai : ” Perihalnya nana, bahwa sebenarnya saya juga harus di penjara bersama. Itu hukumnya, tidak bisa tindak pidana ini displit hanya kamu saja. Apabila dua orang melakukan persetubuhan di luar perkawinan maka dua-duanya harus dipidana bersama. Apalagi faktanya kita hanya berduaan di kamar, tak sempat buat apa-apa. Itu juga jika tak diperhitungkan yang dulu-dulu, tetapi itu juga kita insaf bersama. Tidak bisalah hukum pidana berlaku surut “.
Hilang seketika ketegangan yang melanda Tus sedari tadi, maka katanya sambil senyum semringah: “Iya, iya paham saya akan hal itu enu, tetapi kau harus tahu Ayahmu itu kan orang punya jabatan ternama. Kita sama-sama dijudulkan dengan undang-undang yang sama, bedanya saya dipenjara karena pasal yang di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sedang kamu karena KUHP juga (Kasih Uang Habis Perkara) jadinya bebas,, hahahaha “.
Kedua kekasih tersebut jadi tertawa bersama kini. Tetapi perjuangan keduanya tidak berhenti di situ.
Maka sidang pembaca yang budiman, sampailah kita pada bagian pembelaan dari Tus di pengadilan.
Tus tentu tahu akan konsekuensi terhadap setiap yang dilakukannya. Apa yang menimpanya sekarang baginya hanya bagian dari absurditas para pembuat undang-undang.
Tibalah kita di ruang persidangan. Sebagai terdakwa, selepas tuan jaksa penuntut umum membacakan tuntutan maka di mulailah pledoi dari Tus.
Tak luput juga disaksikan sanak famili dan kekasih hatinya sendiri. Semua hadirin bergeming menanti.
Sebuah pledoi ia bacakan :
” Yang mulia hakim, telah kita dengar surat tuntutan dari tuan jaksa penuntut umum. Tiba saatnya juga saya akan mengajukan pembelaan terhadap diri saya. Bahwa benar adanya pada malam itu saya sendiri berada di kamar dengan saudari… (Ia benar-benar mengerti demi nama baik dalam kasus asusila tak di sebutkan namanya – kita ketahui yang dimaksud adalah kekasih hatinya). Tetapi perbuatan apa yang menjadi dasar dari saya duduk di kursi pesakitan ini tentunya tidak saya terima. Sebab perkara itu bagi saya tidak termasuk dalam hitung-hitungan negara. Itu murni tumbuh dari manusia sendiri.
Pembicaraan mengenai seks selalu dilekatkan pada wilayah privat. Dia bergelora di dalamnya, merupakan hasil dari tarian dua jiwa. Apabila negara menghendaki perbuatan ini sebagai immoral dan patut dipenjara maka segera runtuhlah esensi dari seks. Oleh Michel Foucault pernah mengatakan hubungan intim daripada seks akan kehilangan rumahnya, ketika ia dipaksa masuk ke ranah publik.
Mesti diketahui pula bagi saya pribadi konsep bercinta paling hebat nan romantis itu tanpa tata krama, tata cara dan norma. Sama seperti sentilnya Chairil Anwar, liang jiwa nyawa saling berganti. Dia rapatkan diri pada chairil, hilang secepuh segan hilang secepuh cemas. Tapi terkadang negara selalu saja ingin seranjang sebagai orang ketiga.
Negara dalam hal ini telah menunjukan sikap otoritas represifnya dengan membuat segala hal yang berkenan dengan tubuh merupakan dosa, jahat dan tabu. Lewat hukum pidana akan lekas jera orang yang berbuat. Terang sekali paradigma demikian akan membuat kita ” tertidur ” dalam kehidupan.
Yang mulia hakim, tidaklah bermaksud hati ingin mengingkari pentingnya supremasi hukum dalam kehidupan bernegara. Hukum menjadikan kehidupan yang tertib dan aman kepada masyarakat. Kesejahtraan pun terjanjikan juga. Hanya jika ia terlampau mengekang kebebasan jiwa manusia, bergeraklah sikap berontak dari pada masyarakat. Tidak ada masyarakat yang ingin aktivitas pribadinya diketahui oleh khalayak umum. Dan perlu diingat manusia tak tunduk pada hukum, hukumlah yang bekerja untuk masyarakat.
Yang mulia hakim, tuan jaksa penuntut umum, tuan pengacara prodeo dan segenap hadirin, barangkali tak diperoleh dari perkataan saya secara tersurat suatu pembantahan atas segala tuduhan. Terutama berkenan dengan pembelaan bukti-bukti hukum untuk memperkuat fakta persidangan.
Namun sudah saya ikthiarkan kepada seseorang bahwa lewat pledoi ini saya akan menggugat bersuara menentang undang-undang yang menjerat saya. Sungguh juga termasuk suara dari orang-orang yang menyatakan keberatan akan hal serupa.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa pasal-pasal perluasan perkawinan ini akan melahirkan kecemasan terhadap masyarakat. Kehidupan kita tidak akan bebas sebab terus dihantui oleh perasaan bersalah. Negara telah menjadikan kita sebagai warga yang biadab. Negara telah berubah menjadi penjagal.
Yang mulia hakim dan segenap seperti yang disebutkan sebelumnya, sebagai penutup izinkan saya mengutip pemikiran Mikhail Bakunin yang berkenan dengan undang-undang.
Katanya : Undang-undang akan menjadi suatu keburukan dikarenakan ; undang-undang yang berasal dari ilmu pengetahuan yang pada dasarnya tidak akan selesai, akan memaksakan kehidupan manusia baik kolektif maupun individual untuk hidup ketat dan eksklusif tunduk pada nilai yang berasal dari luar dirinya, yang tak paham oleh akalnya, ataupun berkesesuaian dengan gaya hidupnya – niscaya kehidupan mereka akan menderita, lumpuh dan lekas jeblok ke tingkat kebodohan yang paling rendah.
Dari seorang pemikir anarkis itu, patutlah kita mendapatkan kesimpulan bahwa hukum akan dinilai sewenang-wenang apabila tak sesuai dengan nilai-nilai seperti kemanusiaan, kebudayaannya, dan juga kesesuaian hidupnya meski demi keagungan moralitas sekalipun.
Yang mulia hakim, demikian nota pledoi dari saya. Bila berkenan meski terlampau berat yang mulia tidak menjatuhkan hukuman terhadap saya. Seorang yang sedang jatuh cinta, yang tak disetujui oleh keluarganya dan negara telah turut serta menjadikan itu sebuah kesalahan.
Maka sebagai seorang yang bukan corong daripada undang-undang, dengan rasional dan keyakinan dari yang mulia hakim sendiri, terbit pun tebersit suatu keputusan yang adil dan luhur manfaat bagi saya.”
Segera selepas itu, tepuk tangan dan terdengar isak mewarnai akhir dari persidangan.***
Cancar 23-24 September 2019
*Gusti Ginta, alumnus Fakultas Hukum Undana, tetapi sastra telah merangkul jiwanya dalam menelusuri seluk beluk, liku kehidupan. Baginya kepuitisan lahir dari refleksi atas kehidupan.
Daftar Kata
Enu: Panggilan untuk perempuan Manggarai
Nana: Panggilan untuk lelaki Manggarai