*) Cerpen Rio Berchmans
Apakah kau pernah memiliki seorang kekasih? Apakah kau juga pernah disakiti oleh orang yang kau cintai itu? Bagaimana rasanya? Tentu saja sakit. Aku juga pernah memiliki sepotong hati yang memberikan makna bagi hidupku, sama seperti kalian. Pernah juga mengalami rasa sakit luar biasa oleh karena janji palsu kekasih yang sekarang menjadi mantanku.
Karena itu, kali ini aku tidak bermaksud menceritakan cinta apalagi tentang sepotong mesra bersama dia. Tidak bermaksud mengulangi kembali serpihan kenangan yang sudah berhamburan bersama waktu. Kali ini aku akan mengisahkan kepada kalian bagaimana mengobati hati yang terluka.
Seperti biasa, sehabis pulang kerja, aku selalu disuguhkan dengan indahnya semburat emas yang ditumpahkan secara sengaja oleh Tuhan di langit sebelah barat, ditambah lagi dengan angin riuh rendah yang menghembus mesra sehingga dedaunan pohon di pinggir jalan jatuh bertaburan. Aku selalu menyukai keadaan ini. Menikmatinya setiap hari. Dan keindahan ini seolah-olah membawa aku pada masa-masa mesra bersama kekasih kala itu.
Aku selalu melewati jalanan ini bukan tanpa alasan. Tempat kerjaku letaknya di sebelah barat sedangkan rumahku berada sekitar satu kiloan di sebelah timur.
Nah, di tengah-tengah antara rumah dan kantorku kalian akan menjumpai beberapa tempat umum, seperti; taman mini, perpustakan kota, dan tak kala penting adalah bagunan gereja peninggalan kaum penjajah yang sudah uzur dimakan usia. Meskipun sudah menua, gedung ini masih kami pakai sebagai tempat yang khusyuk untuk berdoa.
Sore itu, seperti biasa, sehabis kerja, aku pulang dengan penat yang kumiliki. Seperti biasa pula, aku menelusuri jalan yang sama sembari menikmati suasana yang sama.
Sesampainya di depan gereja tua, aku berhenti lantas masuk ke gereja untuk berdoa. Kutarik napasku dalam-dalam, sedalam lelah yang kupikul seharian.
Aku menutup mata, ingin melepaskan bebanku. Di tengah-tengah khusyuk berdoa, aku dikejutkan dengan kedatangan seorang lelaki tua, berjenggot putih, berambut panjang dengan uban seluruhnya. Alis matanya juga demikian, beruban. Di sudut matanya terlihat lipatan keriput yang cukup banyak, mungkin usianya sudah delapan puluhan. Setahuku, aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Kutebak dia pelancong yang ingin berdoa di sini.
Dia pun duduk di sampingku.
“Hey…” sapa lelaki tua itu dan segeraku balas dengan jawaban seperti yang ia sapa kepadaku.
“Apakah engkau sedang berdoa untuk seorang yang kau cintai? Biar kutebak, baru saja kau daraskan untuknya.” Kata lelaki itu.
Aku terkejut, bagaimana dia tahu? Lelaki yang tidak diketahui asal-muasalnya tiba-tiba menebak isi doaku. Aku pun menoleh kepadanya lantas melemparkan senyum.
“Anak muda, setiap orang yang kau cintai, tidaklah abadi” Katanya lagi.
“Maksudmu?” Tanyaku penasaran.
“Kau terlalu mencintainya sepenuh jiwa dan hati. Kau tahu, cintamu tidaklah abadi. Dia akan gugur seperti dedaunan yang kau lihat setiap hari.”
“Ah, aku tidak percaya dengan omonganmu. Lagi pula, aku bukan berdoa untuk seseorang yang kucintai.”
“Jangan menipu, kau selalu menyebut nama yang sama dalam bulir-bulir doamu. Inikah yang kau sebut tidak mencintai?”
Demi mendengar kata-kata lelaki tua itu, aku terkesima. “Benar kata lelaki tua ini, mengapa aku harus mendoakannya jika aku tidak mencintainya lagi.” Gumamku. Sebetulnya rasa cinta terhadapnya belum minggat dari lubuk hati ini. Aku mesti jujur bahwa aku masih mencintai dia, mantanku. Akan tetapi, ketika aku teringat kembali dengan perbuatannya saban hari, rasa sakit itu kembali muncul. Sepertinya ingin kutusuk saja dia dengan belati agar dia lenyap sekalian dari muka bumi. Aku memang sangat tersakiti oleh janji dan perbuatan palsunya. Aku memang membenci perbuatan dan janji palsunya itu, tapi rasa cinta terhadap orangnya tak pernah berkurang. Setiap hari dan setiap saat, memoar akan masa lalu seolah-olah berputar kembali, sama seperti ketika kita sedang menonton sebuah film yang di putar setiap saat. Kapanpun kita mau.
“Anak muda, Apakah kau menyimpan dendam? Bila itu terjadi, cepat atau lambat lukamu akan kembali menganga.”
“Aku tidak menyimpan dendam. Tidak sama sekali.”
“Baguslah…itulah cinta. Dia tidak pernah meninggalkan dendam.” Kata lelaki tua yang bermata teduh itu. “Doamu adalah cara mengobati luka yang paling baik. Kau tahu, aku selalu mendengar cerita dan kabar yang sama. banyak pasangan yang berakhir mati tragis. Kau baca di surat kabar kemarin? Seorang wanita muda dihantam dengan balok oleh kekasihnya sendiri. Alasanya sederhana, cemburu. Kau mesti tahu satu hal ini, bahwa orang yang menanam cemburu akan menuai cemburu pula.”
Aku mengangguk.
“Sampean, aku masih penasaran. Dari mana kau tahu, bahwa aku sedang berdoa untuk mantan. Dari mana pula kau tahu segala sesuatu tentang aku. Aku benar-benar bingung.”
lelaki tua itu tersenyum.
“Bagaimana aku tidak tahu, aku selalu memperhatikanmu setiap saat ketika kau datang ke sini.”
“Apakah kau juga datang ke sini untuk melakukan ritual yang sama. Kau juga memiliki pengalaman yang sama sepertiku?”
“Tidak.” Jawab pendek lelaki tua itu.
“Lalu?”
“Aku datang untuk mendengar doamu. Rasa sakitnya hatimu membuat aku datang ke sini. aku selalu mendengar doa-doamu. Bukankah kau pernah berdoa agar mantanmu diserempet mobil, di lain hari kau juga berdoa agar mantanmu jatuh ke dalam sumur di belakang rumahnya. Aku mendengar semua itu. Pernah juga kau berdoa, agar suatu hari mantanmu datang meminta maaf dan kalian kembali menjalin hubungan. Membangun kembali rasa percaya dan cinta yang telah runtuh. Namun, hari demi hari dia tak kunjung-kunjung datang hingga kau pun mengubah doamu agar dia baik-baik saja bahkan kau berdoa agar dia bisa mendapatkan yang lebih baik daripadamu. anak muda, ketulusanmu akan terjawab.”
“Siapakah kau sebenarnya. Kau kah Tuhan?”
Lelaki itu tidak menjawab, ia hanya melemparkan senyum simpul kepadaku. Tiba-tiba di tengah pembicaraan aku dan lelaki tua itu, tingkap-tingkap angin berhembus, terdengar derit pintu bergerak. Angin sepoi itu menyentuh lembut kulitku. Sepoi itu pun segera menjelma dingin dan dengan cepat menyusup dan menguasai tubuhku.
Seketika itu pula, lelaki tua itu hilang lenyap dari pandangan. Aku mencarinya. aku getar-getir terhadap lelaki tua yang hilang secara misterius dari pandanganku. Di dalam gedung tua itu, aku tidak menjumpai siapa-siapa lagi selain aku dan burung gereja yang bercicit menimang anaknya.
***
Setelah beberapa hari peristiwa di gereja tua, aku seperti biasa menjalankan rutinitasku. Rumah, kantor, gereja. Aku tidak memikirkan lagi tentang lelaki tua. Sebab kupikir dia akan kujumpai di waktu lain pada tempat yang sama atau mungkin pada tempat lain pula.
Berarak dari situ, pada hari minggu. Ketika pagi merekah. Seperti biasa, sayup-sayup pujian terdengar dari dalam gereja. Orang-orang datang berbondong-bondong untuk sembayang. Dan tanpa sengaja, aku berpapasan dengan wanita yang pernah menggelamkan aku dalam lautan cintanya, setelah bertahun-tahun lamanya hilang lenyap tanpa kabar, akhirnya di halaman gereja tua itu aku menjumpainya kembali.
Mata itu, ya matanya indah sekali apalagi dengan merah merona bibirnya. Parasnya masih seperti dulu, seperti porselin cina. Tak kurang sedikitpun. Ia tetap cantik.
Tapi, ia datang bukan seorang diri. Tiba-tiba ada anak kecil memanggil namanya “mama…” Mungkin inilah jawaban dari doaku, bahwa ia sekarang bahagia bersama dengan anak dan suami yang adalah karibku.
*Penulis Tinggal di Ritapiret