Labuan Bajo, Vox NTT- Puluhan masyarakat Desa Wae Sano bersama JPIC OFM Indonesia, bidang Advokasi dan Riset menyambangi Kantor DPRD Manggarai Barat (Mabar), Selasa (29/10/2019).
Mereka datang untuk memaparkan hasil penelitian JPIC OFM tentang dampak negatif pembangunan panas bumi Geothermal di Wae Sano.
Audiensi dipimpin langsung oleh Wakil Ketua II DPRD Mabar Marselinus Jeramun bersama sejumlah anggota dewan.
Di hadapan anggota DPRD, Pastor Yohanes Sevi Dohut koordinator JPIC OFM Flores dan Valen Dulmin koordinator bidang advokasi JPIC OFM Indonesia menjelaskan alasan masyarakat menolak pembangunan panas bumi Geothermal di Wae Sano.
Pastor Jhoni menjelaskan sebagian besar warga masyarakat di Desa Nunang, secara khusus Kampung Nunang, Lempe dan Dasak yang wilayahnya menjadi titik pengeboran,menolak terhadap kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano.
Selain itu, ia menyebut PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) belum memberikan solusi terkait keberatan dan permintaan warga untuk memindahkan titik pengeboran sejauh mungkin dari pemukiman.
Informasi yang disampaikan dalam sosialisasi yang dilakukan oleh PT SMI, kata Pastor Jhoni, menimbulkan kesimpangsiuran informasi di tengah masyarakat, secara khusus berkaitan dengan pemahaman akan makna “evakuasi” ketika kegiatan eksplorasi panas bumi dilaksanakan.
Menurut dia, masyarakat merasa takut dan cemas apabila karena kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano, mereka dipindahkan ke tempat lain yang sangat asing bagi mereka.
“Warga memiliki harapan agar semua informasi berkaitan dengan eksplorasi panas bumi Wae Sano dikomunikasikan dan dibuka seluas-luasnya untuk warga. Namun ini tidak optimal dilakukan sehingga menimbulkan banyak spekulasi dan bahkan miskomunikasi,” ujar Pastor Jhoni.
Sebagian lokasi kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano masuk di dalam kawasan hutan lindung Sesok. Itu berarti akan menghancurkan ekosistem hutan lindung tersebut.
“Rencana proyek eksplorasi panas bumi Wae Sano telah menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat di Desa Wae Sano. Kesatuan dan kedamaian warga yang sudah dirajut bertahun-tahun retak karena rencana eksplorasi tersebut,” jelasnya.
Pastor Jhoni menyebut sebagai wakil rakyat, DPRD Mabar telah menjanjikan kepada masyarakat untuk melakukan mediasi. Mempertemuan Pemda, masyarakat, dan DPRD untuk mendengar aspirasi warga Wae Sano. Namun hingga saat ini janji tersebut belum terpenuhi.
“Mekanisme ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan melalui mekanisme ganti rugi berdasarkan adat sebagaimana penggunaan istilah “Siri Pinang” sebagai ganti kerugian,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur JPIC OFM Indonesia Pater Alsis Goa, menyebut pihaknya telah mempunyai rekomendasi atas polemik yang terjadi di Wae Sano.
“Berdasarkan kajian terhadap berbagai aspek dan menguatnya penolakan masyarakat adat yang terkena dampak langsung dari proyek panas bumi Wae Sano, maka kami JPIC OFM merekomendasikan supaya para pengambil kebijakan: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, BUMN, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat, DPRD Kabupaten Manggarai Barat untuk menghentikan rencana kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano,” tegas Pastor Alsis.
Penulis: Sello Jome
Editor: Ardy Abba