Oleh: Ans Gara
Mahasiswa STFK Ledalero
Rencana larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Menteri Agama (Menag), Fachrul Razil, berhasil menuai banyak tanggapan dan komentar publik akhir-akhir ini.
Wacana larangan penggunaan cadar itu, seperti dilansir bbc.com, disampaikan Menag dalam acara Lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Masjid di Best Western Hotel Jakarta.
Sehari setelahnya, Fachrul Razil juga menyampaikan rencana larangan penggunaan celana cingkrang bagi ASN. Bagi Fachrul, penggunaan dua atribut keagamaan tersebut, selain tidak bersinggungan secara langsung dengan ketakwaan iman seseorang dan merupakan produk kebudayaan Arab, juga dapat mengganggu keamanan dalam lingkup pemerintahan.
Apabila menggunakan kerangka logika formal Aristoteles, alur pemikiran Fachrul dapat dibedah sebagai berikut. Premis mayor dalam kerangka berpikir Fachrul ialah semua radikalis mengganggu keamanan dalam lingkup pemerintahan. Sementara itu premis minornya ialah pengguna(an) cadar dan cingkrang adalah radikalis. Dengan demikian, kesimpulan yang bisa ditarik ialah pengguna(an) cadar dan celana cingkrang dapat mengganggu keamanan dalam lingkup pemerintahan.
Meskipun sang menteri tidak secara eksplisit mencap pengguna(an) cadar atau cingkrang sebagai radikalis, identifikasi seperti itu sebenarnya sudah terkandung secara implisit dalam alur logikanya. Tampak bahwa logika berpikir sang menteri bertendensi mereduksi problem besar radikalisme pada atribut dan keamanan.
Konsekuensi logisnya ialah, demikian dalam alur pemikiran Menag, mencegah penggunaan cadar dan cingkrang bagi ASN merupakan upaya menjaga keamanan pemerintahan dari ekses negatif gerakan radikal.
Lantas, apakah problematika radikalisme berwajah agama hanya bersinggungan dengan atribut dan keamanan sebagaimana tampak dalam alur pemikiran Menteri Agama kita?
Lalu, bagaimana kita memahami wacana sang menteri dalam konteks posisinya sebagai bagian dari sebuah rezim pemerintahan yang longgar terhadap hegemoni oligarki? Tulisan ini berusaha mengelaborasi dua pertanyaan tersebut.
Dalam Moncong Oligarki
Studi demokrasi dari perspektif ekonomi politik menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih dibajak oleh kekuatan-kekuatan oligarkis baik pada jejaring lokal, nasional, maupun transnasional. Monopoli kekuasaan pada sekelompok orang yang memiliki akses mumpuni terhadap sumber daya ekonomi itu memang bukan merupakan kenyataan politik-ekonomi yang baru dalam sejarah Indonesia.
Hal itu sudah dimulai sejak zaman kerajaan, kolonial, dan pasca kemerdekaan. Namun, monopoli sumber daya ekonomi dan politik pada segelintir orang ini semakin mendapatkan momentum pasca naiknya Soeharto pada tampuk kekuasaan selama lebih dari tiga dekade.
Lewat narasi utama pembangunanisme, Soeharto telah membidani lahirnya kapitalisme-neoliberal dalam geliat ekonomi Indonesia dan, sebagai konsekuensi logisnya, melahirkan aliansi bisnis-politik yang bergantung pada kekusaan Soeharto.
Jelas, sebagaimana Robison (2008), kapitalisme dalam praktik demokrasi Indonesia tidak mencuat sebagai buah keringat borjuis domestik yang otonom, tetapi timbul sebagai realisasi imaji politik pembangunan penguasa, dalam konteks ini Soeharto.
Sejurus dengan itu, Airlangga Pribadi (dalam AE Priyono dan Usman Hamid (eds.), 2014: 325) menulis, “formasi kapitalisme yang ditopang oleh rezim otoritarianisme birokratik melahirkan kaum borjuasi domestik yang sepenuhnya bergantung pada negara”. Di bawah kendali Soeharto, aliansi bisnis-politik itu menancapkan taring predatorisnya pada tubuh belia demokrasi Indonesia.
Pasca reformasi, taring para oligark itu tidak serta merta keropos. Kekuatan-keuatan yang terkoordinasi secara sentralistik di bawah patronase kekuasaan represif Soeharto kini tersebar dan membentuk faksi-faksi sebagai suatu aliansi ekonomi politik yang baru di Indonesia.
Sebagaimana dikemukan Vedy Hadiz (2018: xvi) dalam pengantar edisi bahasa Indonesia Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah, mereka beradaptasi dengan konteks baru dengan mengambil alih institusi-institusi demokrasi seperti parlemen dan partai politik sehingga tidak tergantung lagi pada perlindungan dari aparat represif negara yang otoriter.
Kendati terfragmentasi pada sejumlah faksi, oligarki masih menghembuskan spirit predatoris dan perburuan rente yang tidak berbeda pada masa rezim sultanik sebelumnya. Mereka menguasai dan mengendalikan konsentrasi sumber daya mineral yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya (Winters, 2011: 8).
Untuk maksud itu, mereka bisa saja mengambil bagian dalam kekuasaan politik yang dibentuk melalui demokrasi elektoral, tetapi juga dapat menjadi pemain-pemain di belakang layar yang karena kekayaan materialnya memiliki kemampuan untuk mengatur kebijakan-kebijakan berkaitan dengan kehidupan bersama agar selalu terarah pada pengamanan status quo dan kepentingan mereka.
Selain menguasai insitusi-institusi demokrasi, kekuasaan oligarki juga merambah media-media mainstream yang sudah barang tentu mempengaruhi formasi wacana yang beredar di ruang publik. Sebagaimana dikemukakan Ross Tapsell, para elite politik itu menguasai media mainstream seperti TransCorp (dimiliki Chairul Tanjung), Visi Media Asia (Aburizal Bakrie), Media Indonesia Group (Surya Paloh), MNC Group (Hary Tanoesoedibyo), Jawa Pos Group (Dahlan Iskan), SCTV dan Indonesiar (Eddy Kusnadi Sariaatmadja).
Dalam kekuasaan oligarki, akses terhadap politik dan ekonomi menjadi monopoli elite politik dan kaum kapitalis. Pada titik ini, oligarki telah berhasil menciptakan jurang yang lebar antara sebagian kecil kaum kaya dan sebagian besar masyarakat miskin. Oligarki bahkan membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Temuan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse tahun 2017 menunjukkan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49, 3 persen kekayaan nasional.
Sementara itu Oxfam pada tahun 2017, sebagaimana ditulis Wijayanto, mengungkapkan bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin, atau sekitar 100 juta orang.
Dalam satu hari, tambah Wijayanto, pendapatan dari bunga orang terkaya di Indonesia melampaui 1000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun.
Sementara segelintir orang kaya tersebut menikmati buah manis pertumbuhan ekonomi di Indonesia, mayoritas penduduk miskin di Indonesia masih berada pada posisi marginal dan seringkali tidak diuntungkan dalam jagad pertarungan kepentingan ekonomi politik penguasa-pebisnis di negeri ini.
Hingga Maret 2019, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin dengan pendekatan pengeluaran per kapita sebesar Rp425.250 per bulan sebanyak 25, 14 juta penduduk.
Data-data statistik tersebut secara gamblang menunjukkan adanya gap yang besar antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia sebagai ekses negatif dari menguatnya cengkraman oligarki dalam demokrasi Indonesia.
Politik Pengelabuan
Radikalisme bukanlah ideologi titisan dewa yang turun dari langit. Kendati mencuat sebagai sebuah ideologi yang mendasari diri pada tafsiran yang kaku atas doktrin komprehensif agama, radikalisme tidak dapat dilepaspisahkan dari struktur ekonomi politik yang menjadi konteks percaturannya.
Di tengah situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu, kelompok-kelompok radikalis-fundamentalis kerapkali mencari kepastian pada doktrin komprehensif agama. Sebagai bentuk ekstrim dari politik identitas, radikalisme atau ideologi sejenisnya tidak berbeda jauh dengan gerakan-gerakan berbasis identitas.
Ide dasar kemunculan gerakan-gerakan identitas dalam politik kontemporer ialah keadilan. Sebagaimana dikemukakan L. A Kauffman (dalam Maarif, 2012: 4), di Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada pemilik modal yang umumnya dikuasai oleh golongan putih.
Tidak berbeda dengan Indonesia, masifnya perkembangan ideologi radikalisme, secara struktural, dapat dibaca sebagai reaksi atas ketidakadilan yang menimpa kelompok tertentu.
Kebijakan ekonomi politik yang dinilai menguntungkan aliansi bisnis-politik di Indonesia itu telah berhasil membentuk struktur ketidakadilan dan penindasan terselubung.
Pada titik ini tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa pemerintah sebenarnya telah turut terlibat dalam formasi radikalisme di Indonesia melalui kebijakan-kebijakannya yang tidak adil dan menguntungkan kekuasaan oligarki.
Alih-alih mengsimplifikasikan gerakan radikalisme pada atribut dan persoalan keamanan, pembacaan ekonomi politik memproposalkan pentingnya dekontruksi struktur-struktur yang tidak adil sebagai akibat dominasi aliansi politik-bisnis di Indonesia.
Hal itu dapat dilakukan, misalnya, dengan merumuskan kebijakan pembangunan yang tidak mendepolitisasi masyarakat sebagai objek pembangunan, memperkecil angka ketimpangan dan kemiskinan, reforma agraria yang berpihak pada kelompok marginal, jaminan sosial bagi elemen-elemen warga negara yang paling dirugikan, dsb.
Untuk konteks pemerintahan Jokowi, proposal ini seakan menjadi mimpi di siang bolong. Sebab, rezim Jokowi masih dikelilingi oleh kekuatan aliansi oligarki. Kuatnya posisi tawar mereka berpengaruh secara signifikan terhadap paket-paket kebijakan dan wacana-wacana yang dihembuskan oleh kekuasaan rezim ini. Kebijakan dan wacana tersebut sangat boleh jadi kental dengan kepentingan aliansi politik-bisnis penyokong kekuasaan.
Seturut kerangka berpikir di atas, pernyataan Fachrul Razil dapat dibaca sebagai salah satu jurus ampuh untuk menjaga status quo dan politik pengelabuan dari sebuah rezim yang dibajak oleh kekuatan oligarkis.
Sebagai menteri pada Kabinet Kerja Jilid II pemerintahan Jokowi, Fachrul telah turut masuk dalam sistem yang secara implisit dipandu oleh kekuatan-kekuatan oligarkis. Preferensi seperti ini sebenarnya sudah dapat dibaca dari track record sang menteri.
Dilansir dari Tempo.co, sebelum masuk dalam kabinet Jokowi, Fachrul Razi menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT Central Proteina Prima (CP Prima) dan Komisaris Utama di PT Antam Tbk sejak 2015.
Dia juga menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera Group milik Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan. Jelas bahwa posisi di dunia politik dan bisnis itu menentukan disposisinya berhadapan dengan kekuasaan oligarki Indonesia. Seturut pendekatan ekonomi politik di atas, pernyataan sang menteri sebenarnya menjadi salah satu wacana pro kekuasaan oligarki.
Oleh karena itu, dengan membalik logika sang menteri, penulis menegaskan bahwa musuh besar kita bukanlah orang-orang bercadar atau bercingkrang yang oleh Fachrul diidentifikasi sebagai kelompok radikal. Musuh besar kita ialah kekuasaan oligarki yang membonsai gigantisme kapitalisme neoliberal yang telah berhasil mendendangkan litani ketidakadilan di Indonesia.