Oleh: Karel Pehe
Mahasiswa STFK Ledalero, Muemere
Apakah agama berbahaya? Judul buku karya Keith Ward ini kemudian memantik rasa penasaran penulis atas kecenderungan ekslusivisme agama yang hangat diperbincangkan saat ini.
Keith Ward secara gamblang mengidentifikasi persoalan-persoalan yang mengguncang otonomitas agama sebagai pembawa kebaikan bagi manusia. Dalam suatu studi yang komprehensif, ia menyelidiki praktik-praktik keagamaan dengan segala bentuk dimensinya yang diklaim dapat menimbulkan diversitas dalam kehidupan religius.
Menurutnya, pada level keberagaman eksoterisme, kecenderungan eklusivisme tetap dimiliki oleh kaum religius yang secara psikologis mengafirmasi kebenaran agama yang dianut.
Namun, Keith Ward berkesimpulan bahwa seyogyanya agama memiliki makna autensitas yang mampu melegitimasi persoalan-persolan kekerasan, intoleransi agama dan pelbagai bentuk persoalan krusial yang mengatasnamakan agama.
Di tengah pesatnya pertumbuhan intelektual manusia dan kemajuan teknologi super canggih, sebetulnya tindakan kekerasan beragama mudah saja dilempar keluar dari panggung sejarah manusia.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, kekerasan muncul dengan wajah baru yang lebih sangar, kompleks dan canggih. Daya intelektualitas manusia dan teknologi yang canggih ini ternyata tidak mampu membawa perubahan yang signifikan atas tragedi kekerasan yang ditimbulkan. Kemudian muncul pertanyaan bahwa Apakah pluralitas dan keberagaman agama merupakan suatu historisitas alamiah yang memperkaya manusia atau petaka yang menghancurkan keharmonisan manusia?
Kalau demikian, apakah mungkin manusia dapat menikmati masa depan yang lebih baik tanpa kekerasan beragama? Tulisan sederhana ini hendak mengeksplorasi peran filsafat perenial dalam menanggulangi anarkisme agama yang dilakoni oleh segelintir orang.
Agama Dalam Perspektif Humanisme
Karl Marx mendefinisikan agama sebagai opium masyarakat yang menghantar manusia pada ketidaksadaran. Menurutnya, manusia seharusnya hidup dan bekerja dalam kesadaran akan realitas dunia untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi lebih baik, namun manusia justru teralienasi dan dijeremuskan dalam keterasingan.
Marx beranggapan bahwa agama adalah kepercayaan irasional dan sia-sia belaka. Manusia dapat menjadi pribadi otentik tanpa melibatkan diri dalam realitas agama.
Kritik Marx terhadap agama dilatari oleh perkembangan humanisme yang mengunggulkan superiotas akal budi manusia yang emansipatif, kreatif dan bermartabat luhur. Kaum humanis berdalil bahwa manusia dalam dirinya memiliki keunggulan-keunggulan sehingga kepercayaan akan Tuhan hanya melemahkan manusia. Tuhan dianggap sebagai penghalang bagi manusia dalam merealisasikan segala potensinya. Otoritas agama mengalami penolakan dalam konsep humanisme yang mengandalkan fakta empiris yang bisa dibuktikan.
Realitas komodernan mencabut eksistensi Allah dalam panggung historis. Allah tidak lagi dibutuhkan dalam menjawab pertanyaan tentang arti dan makna autensitas manusia. Akan tetapi, manusia memilki daya rasio dan kehendak bebas yang memampukannya untuk beradaptasi dan mengeksplorasi dunia.
Ketercabutan Allah dalam paradigma modern menyebabkan terjadinya disorientasi dan ambiguitas dalam pengalaman manusia yang menuntut adanya penyeragaman religiositas dalam konteks yang pluralistik.
Menarik sekali bahwa perkembangan pandangan humanisme dalam maksud orisinalnya tidak bersebrangan dengan agama. Menyetir Albert Dilanni, ada tiga idealitas penghayatan iman yang berorientasi humanis. Idealitas pertama adalah kebebasan personal.
Dalam kehidupan religius, implikasi konkretnya ialah usaha untuk menyempurnakan diri menjadi pribadi yang original. Idealitas kedua adalah persaudaraan, persahabatan dan berbagai macam hubungan intim lainnya. Keterbukaan, pengakuan dan pengampunan terintegrasi dalam sikap saling pengertian. Idealitas ketiga bercermin dari gagasan Marx adalah kesamaan antarsesama, solidaritas dengan kaum miskin, promosi keadilan dan kesejahteraan bagi semua (A. Sudiarja, 2006: 11-13).
Ketiga ciri humanis yang disebutkan di atas hampir pasti merepresentasikan keseluruhan orisinalitas manusia yang mempunyai kemampuan-kemampuan kreatif-progresif.
Dengan demikian, humanisme bukan sekadar “tempelan” dalam aksioma agama karena agama mengafirmasi seluruh pengalaman-pengalaman kemanusiaan, baik dalam tatatan kritis-teoretis maupun dalam tataran praktis.
Peran Filsafat Perenial di Tengah Bayang-Bayang Radikalisme Agama
Perwujudan agama yang humanis dapat teratasi jika manusia merasakan secara nyata pancaran dari ‘Kebaikan Tertinggi’. Manusia mengalami kontingensi, keterbatasan, ketidaksempurnaan diri dalam dimensi primordialnya, sehingga manusia mengarahkan diri kepada yang transenden.
Berbeda dengan Marx, Max Schler justru mengatakan sebaliknya. Tindakan religius melibatkan kesadaran manusia yang utuh dalam tindakan, kehendak dan keinginan manusia. Setiap manusia memiliki tujuan transendental dalam dirinya yang mencapai kepenuhannya dalamproses aktualisasi manusia secara sadar. Manusia merealisasikan dirinya melalui komunikasi dengan yang transenden. Gabriel Marcel juga menyadari ciri khas setiap manusia ini. Menurutnya, setiap manusia menyadari keberadaanya dalam dunia ini dan mentransendensi menuju Yang Absolut.
Filsafat perenialisme merekonstruksi kehidupan alam semesta sebagai suatu keseluruhan yang saling berkaitan karena pada dasarnya kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta bersumber dari Realitas Ilahi.
Secara etimologis, penggunaan istilah perenialis berasal dari kata bahasa Latin, perennis, yang berarti kekal, selama-lamanya, abadi. Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai “Imago Dei” (pandangan Kristen), Dharma (dalam tradisi Hindu dan Budha) atau Tao dalam pandangan Konfusianisme.
Filsafat perenial berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua agama yang muncul dari Yang Satu, pada prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini juga menelusuri akar-akar kesadaran religoisitas seseorang atau sekelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman (Komaruddin Hidayat dan Muhamad W. Nafis, 2003: 39-40).
Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat perenial. Namun, secara holistik, perenialisme tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan Realitas Absolut.
Keseluruhan ekspresi yang ditampilkan tidak menjadi sebuah paradigma tertutup tetapi tetap terintegrasi dengan realitas yang menjamin keterkaitan antara pelbagai aspek yang membentuk pluralitas. Dengan demikian, keberadaan setiap bagian pada dirinya sendiri adalah sebuah keseluruhan yang membentuk suatu lingkaran yang tidak akan putus yang diilhami oleh Yang Kudus.
Apakah ratio manusia yang terbatas dapat memahami Realitas Absolut yang tidak terbatas? Dapatkah dalam keterpecahannya manusia memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang perbedaan pandangan yang bisa menimbulkan percecokan? Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apapun tidak pernah mencapai finalitas atau kesempurnaan.
Radikalisasi agama seringkali disebabkan oleh fanatisme agama yang sempit dan terdistorsi oleh legalisme agama yang antagonistik. Ketertindasan yang dialami manusia mendistorsi peran agama yang terperangkap dalam ideologi tertentu yang hendak membahasakan universalitas agama dalam bahasa agamaku, agama saya.
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap pelbagai perubahan sosial yang terjadi.
Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari Realitas Absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan yang imanen sekaligun transenden dengan Wujud Tertinggi sekaligus dengan sesama manusia.
Dalam keterbatasan ratio, manusia hanya mampu memahami hakikat Tuhan tanpa bisa mendefinisikan eksistensiNya. Namun, dikotomi ini mengakibatkan manusia mengalami keterguncangan antara bersatu atau berpisah dari Realitas Absolut. Akan tetapi, menurut kaum perenialis, manusia memiliki dalam dirinya suatu kerinduan yang tetap eksis untuk terus menerus mengarahkan diri pada Tuhan. Makhluk rasional memiliki intelegensi untuk mengerti dan memahami pengetahuan secara unitif tentang hakikat ilahi (emanasi).Pancaran alamiah ini mendorong manusia untuk melakukan kebajikan-kebajikan karena bersumber dari Allah sendiri.
Dalam kaitan dengan pengalaman beragama, kultur unik doktrin metafisis dalam filsafat perenial seringkali direduksi sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menyentuh realitas real yang dihadapi oleh manusia. Banyak para pelaku kejahatan beragama yang mengaku mendapat ilham dari Allah untuk membenarkan tindakan anarkis yang dilakukan.
Selain itu, ada kecurigaan dari para pemikir lainnya bahwa konsepsi perenialis sering bisa secara sengaja dipakai untuk mengembangkan sebuah inklusivisme yang sepihak (Emanuel Wora, 2006: 136). Akan tetapi, penulis mengamini peran filsafat perenialis yang membawa arah baru bagi perkembangan pengalaman keagamaan jika setiap orang meyadari diri sebagai subjek yang imanen sekaligus yang transenden sehingga radikalisme agama dalam bentuk apapun dapat dihindari.
Setiap orang beragama mesti memiliki cara pandang agama secara kontekstual yang bersifat adaptif dan responsif terhadap perkembangan sosial tanpa merelatifkan nilai-nilai luhur agama yang dianut. Psikologi primordialini menuntut tugas dan tanggung jawab dari manusia untuk mengakui manusia lain sebagai tuntutan etis yang mesti ada dalam setiap manusia.