Oleh: Virginia Rosa da Silva
Aktivis GMNI Kupang
Sejak sekolah, kita mengenal pahlawan sebagai sosok yang memperjuangkan kemerdekaan dengan segenap jiwa dan raga. Mereka kebanyakan para pemuda era 1945 yang gigih merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun dalam konteks saat ini makna kepahlawanan mengalami perluasan makna. Pahlawan masa kini adalah mereka yang rela mengorbankan semua kenyamanan, mereka yang menolak segala bentuk kemapanan untuk kepentingan banyak orang. Pahlawan masa kini adalah mereka yang mampu menjadi inisiator dan innovator dalam mendorong perubahan sosial, budaya, politik, pendidikan dan ekonomi.
Bagi generasi milenial, pahlawan masa kini adalah mereka yang kreatif dan inovatif di bidang teknologi informasi, seperti start up. Tidak hanya itu, para influencer, seperti youtuber, selebgram, dan blogger, juga dipandang sebagai pahlawan selain entrepreneur yang menciptakan lapangan kerja.
Pahlawan masa kini lainnya adalah ilmuwan, orang yang mengharumkan nama bangsa di bidang seni dan budaya, tokoh agama atau spiritual, dan atlet yang membawa harum nama bangsa di kancah internasional.
Setidaknya begitulah sosok pahlawan masa kini seperti yang tercermin dari hasil jajak pendapat melalui telepon yang dilaksanakan Litbang Kompas pada 19-20 Oktober 2019.
Perbedaan persepsi dalam melihat arti kepahlawanan itu menggambarkan dinamika perubahaan yang terus bergulir hingga usia Indonesia yang ke-74, tepat di tengah revolusi industri tahap 4.
Perubahan yang begitu cepat di era revolusi industri 4.0 ini, memunculkan beberapa pertanyaan yang menarik untuk di simak. Apakah para pemuda masa kini telah siap menggunakan berbagai sarana dan prasarana revolusi industri 4.0 untuk pembangunan bangsa? Perubahan seperti apakah yang mau ditawarkan pemuda/mahasiswa zaman ini?
Jika sekilas merefleksikan gerakan pemuda/mahasiswa saat ini, sesungguhnya heroisme perubahaan tidak cukup dengan memprotes kenaikan harga BBM atau iuran BPJS, demonstrasi melawan pelemahan KPK, penolakan RUU kontroversial dan penegakan demokrasi.
Lebih dari pada itu, para pemuda masa kini memikul beban berat untuk memastikan perjalanan bangsa ini tetap survive menghadapi era Revolusi Industri 4.0 beserta peluang dan tantangannya.
Tantangan Pemuda
Lantas bagaimana seharusnya heroisme perjuangan pemuda dan mahasiswa milenial saat ini?
Untuk membaca gerakan mahasiswa hari ini, kita dapat mengambil dua contoh gerakan yang cukup kontroversial dalam dua tahun terakhir ini.
Pertama, gerakan Kartu Kuning untuk Jokowi di tahun 2018 dari Presma UI. Kedua, Gerakan Tuntaskan Reformasi yang belum lama ini terjadi secara serentak di hampir semua kota.
Dari dua gerakan ini dapat dilihat bahwa sesungguhnya generasi milenial tidak terjebak dalam generasi apatis dan apolitis. Telah tumbuh generasi muda di tengah bonus demografi yang kritis dan berkomitmen teguh terhadap keberlanjutan demokrasi yang akhir-akhir ini mulai hilang seiring terseretnya opini publik dalam miskomunikasi tahun politik. Sebagai intermediary actor, jika perjuangan ini dirawat terus niscaya kita akan menggapai Indonesia Emas di tahun 2025.
Namun semangat berjuang dan mengeritisi berbagai kebijakan tidak cukup menjawabi tantangan zaman ini. Masalahnya, hingga hari ini negara kita belum matang menetapkan perencanaan menghadapi Revolusi Industri 4.0 lantaran berbagai masalah dalam negeri yang tidak pernah selesai diurus.
Sejujurnya, kita belum mempersiapkan sumber daya manusia yang berkompeten dan profesional untuk memastikan Indonesia tetap survive pada masa yang akan datang.
Jika kita tetap lengah dan banyak mengeluarkan energi untuk urusan-urusan pragmatis jangka pendek, maka jangan shock jikalau pada puncak bonus demografi tahun 2030, Indonesia banyak memetik bencana dari pada anugerah.
Perjuangan Mahasiswa di Era Disrupsi
Teknologi dan tren dalam era Revolusi Industri 4.0 seperti Internet of Things (IoT), big data, robotika, virtual reality (VR) dan kecerdasan artifisial akan mengubah cara kita hidup, cara bekerja dan cara pemuda/mahasiswa berjuang.
Teknologi dan perubahan gaya hidup besar-besaran inilah yang menjadi disrupsi dan sedang kita hadapi hari ini. Revolusi Industri 4.0 yang dibangun di atas revolusi digital, mendorong terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang yang memberikan tantangan sekaligus peluang bagi generasi milenial.
Bayangkan saja jika dulu tuntutan-tuntutan disebarkan melalui surat kabar, serta ditempel di kendaraan-kendaraan umum dan kereta api yang melintasi semua kota untuk merebut opini publik, maka di era big data yang tanpa batas ini, segala jenis tuntutan dapat diketahui hanya dalam sekali klik.
Meski demikian, berbagai kemudahan yang ditawarkan justru menciptakan fenomena dan gaya hidup baru yang kadang kontraproduktif.
Pertama, ada kecendrungan gerakan mahasiswa menjadi massif karena masalah itu sedang viral di media sosial. Dengan kata lain, eksistensi pemuda/mahasiswa muncul karena adanya “perlombaan” mengejar popularitas dengan mempublikasikan segala aktivitasnya di status, sorotan ataupun tweet.
Dengan demikian saat sebuah masalah menjadi trending di media massa atau media sosial, kebanyakan pemuda akan berusaha menjadi bagian dari gerakan tersebut untuk menunjukkan patriotisme ataupun sekadar numpang isu biar ikut viral.
Sayangnya, dalam banyak kasus, hasrat eksistensial ini lebih dominan dari pada hasrat untuk mencari tahu dan mengerti persoalan. Alhasil, jari lebih dahulu bertindak dari para berpikir kritis.
Kedua, dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, tidak menutup kemungkinan seseorang hanya akan menjadi aktivis di dunia maya atau aktivis maya. Bagi kelompok ini, heroisme perjuangan hanya sekadar share tautan, komentar dengan dalam framing emosional, dan menyampaikan opini. Mirisnya saat turun ke lapangan, justru tidak banyak yang ikut terlibat. Kurang lebih tujuannya mungkin sama dengan yang pertama yakni untuk mencari popularitas biar tidak terkesan jadul.
Ketiga, dengan berbagai kenyamanan yang ditawarkan teknologi hari ini, malah menurunkan minat baca tulis dan diskusi di kalangan pemuda. Kebanyakan pemuda malah menjadi introvert atau individualis. Pasalnya, semua kenyamanan mampu didapatkan dimanapun dan kapanpun. Ruang untuk bertemu dan bertukar gagasan menjadi berkurang, diikuti kurangnya literasi terhadap masalah sosial.
Harus Dimulai
Pergerakan pemuda dan mahasiswa pada akhirnya harus memaksimalkan segala potensi untuk melakukan lompatan raksasa ke depan. Selagi belum terlambat, kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0.
Kata kuncinya adalah perubahan. Satu-satunya hal yang konstan dan mutlak zaman sekarang adalah perubahan.
Namun hal ini hanya akan menjadi mimpi belaka apabila kita tidak berbenah dan memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia yang kita miliki.
Pertama, harus selektif dalam memilah informasi. Agar bisa selektif mengkosumsi tentu perangkat lunak otak kita harus diupgrade. Menjadi kritis dan analitis sangat mendesak saat ini dengan menanamkan budaya literasi lewat membaca dan berdiskusi.
Tujuannya agar lebih mudah beradaptasi dengan perubahan serta lebih pasti dalam menentukan arah pergerakan. Selain itu dengan meningkatkan pikiran kritis dan analitis, seorang pemuda/mahasiswa tidak terseret oleh opini publik yang dibangun buzzer politik.
Kedua, berkolaborasi. Dalam sebuah pergerakan, pemuda dan mahasiswa tentu tidak memiliki passion dan profesionalitas yang sama. Ada yang handal di IT, mampu membuat startup yang inovatif dan kreatif seperti Nadiem Makarim yang menjadi founder Go-Jek, ada yang berkompeten di bidang seni, ada yang di bidang sosial politik, pendidikan dan sebagainya.
Dengan memaksimalkan segala potensi tersebut, pemuda bisa saling berbagi dan bermitra menuju lompatan kemajuan. Dengan begitu pula, pergerakan kaum muda lebih tersistematis, sinergis dan masif untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama, kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Barangkali (jika memang mendesak), kita perlu mengadakan lagi Kongres Pemuda Indonesia, agar masalah dan strategi pemecahan masalah pemuda saat ini dapat segera diatasi bersama. Selanjutnya, lewat Kongres Pemuda, kita memikirkan lagi, ke manakah tujuan hidup dan arah perjuangan kita?
Kita tentu tidak rela darah, keringan bahkan nyawa para pahlawan yang telah gugur demi merebut dan mempertahankan kemerdekaan, menjadi pengorbanan sia-sisa. Kita pun perlu keluar dari zona nyaman peradaban sembari bersama-sama menyongsong masa depan. Peluk erat pemuda Indonesia. Merdeka!