Ruteng, Vox NTT – Kesedihan Matilde Emi tentang nasib ketiga orang anaknya yang mengalami disabilitas akhirnya perlahan terobati.
Emi merupakan warga asal Mbongur (Paroki Iteng), Desa Golo Muntas, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai yang memiliki enam orang anak. Namun tiga anaknya mengalami disabilitas.
Mereka yang mengalami disabilitas adalah Elvina Bamul (32), Magdalena Nur (25) dan Eduardus Jehola usianya (21).
Mereka tinggal dengan Ibu Emilia dan satu adik yang masih SMP. Ibu Emilia berjuang menghidupi anaknya sebagai orangtua tunggal karena suaminya sudah meninggal dunia.
Mereka tinggal di rumah berukuran 5 x 6 meter berlantai tanah dan dinding papan. Mereka hidup sebagai petani dan buruh tani.
Keluarga ini juga belum memiliki kamar mandi dan WC sendiri. Parahnya, Emilia mengaku Pemerintah Desa Golo Muntas belum pernah membantu mereka sampai hari ini.
Padahal kondisi rumah dan perekonomian mereka sangat memprihatikan dan ditambah harus mengurus tiga orang anak disablitas di rumahnya.
Sejak lama Ibu Emi menginginkan agar semua anaknya bisa mengikuti Sakramen Komuni Pertama.
Namun karena alasan bahwa ketiga anak ini tidak mengerti dan keadaannya tidak seperti anak normal, sehingga pihak keluarga meniliai mereka tidak pantas mengikutinya.
Selama ini ketiga anak tersebut sepertinya disembunyikan. Keluarga pun enggan untuk membawa mereka ke Gereja untuk menerima Komuni Pertama.
Hal ini juga diperparah dengan cara pandang masyarakat umumnya bahwa anak yang mengalami hambatan seperti mereka tidak layak menerima sakramen karena tidak tahu doa, sikapnya yang agak aneh.
Kini, tiga orang anak Ibu Emilia menerima Komuni Suci Pertama, Rabu (14/11/2019).
Mereka adalah penyandang disablitas yang selama ini belum menerima sakramen Sambut Baru.
Beruntung ada Guru Katekese
Kondisi yang dialami oleh ketiga orang penyandang disabilitas ini sebelumnya tidak diketahui oleh publik dan Gereja Paroki Iteng.
Ketiganya diketahui oleh publik dan Gereja Paroki setempat berkat usaha seorang katekis yang bertugas sebagai tenaga penyuluh agama di Paroki Iteng.
Ia adalah Felimelti Taus dan merupakan alumni STIPAR Ende. Ia mengetahuinya bermula saat melakukan katekese umat. Pada saat itu hadir salah satu dari ketiga penyandang disabilitas yaitu Magdalena Nur.
Karena merasa perihatin dan bangga dengan semangat anak ini dalam kegiatan keagamaan, Felimelti pun menawarkan kepada orangtuanya kebutuhan sakramennya dalam gereja bisa dilayani.
Permintaan itu pun diterima dengan senang hati oleh orangtuanya.
Felimelti kemudian melaporkan keberadaan ketiga anak penyandang disabilitas ini ke Pastor Paroki Iteng, RD. Alexius Popos.
Pastor Alexis pun berterima kasih atas laporan Felimelti. Ia kemudian langsung mengambil sikap untuk melayani mereka dalam pelayanan Sakramen Gereja.
Dalam kotbahnya, Pastor Alexius mengambarkan Gereja sebagai ibu yang melahirkan anak, ibu yang membesarkan anaknya, ibu yang senantiasa mengajarkan kebaikan kepada anaknya.
Gereja dalah seorang ayah yang membesarkan anaknya, ayah yang senantiasa berjuang untuk memberi makan kepada anaknya.
Sebagai ayah dan ibu yang senantiasa menerima semua anaknya tanpa kecuali dan dengan penuh kasih sayang.
Menurut dia, Tuhan menerima semua orang tanpa memandang siapa dia. Tuhan menyelamatkan semua orang. Hal yang sama terjadi pada ketiga anak ini.
“Yesus menerima mereka sebagai anaknya, dan menyerahkan tubuhnya untuk mereka. Hendaknya setiap kita mengambil peran yang sama menerima semua orang tanpa diskriminasi, tanpa melihat dia normal atau disabilitas. Setiap orang sama di hadapan Tuhan,” katanya.
Ia menyatakan, pelaksanaan sakramen Komuni Pertama ini adalah bentuk pelayanan Gereja yang senantiasa melayani semua kebutuhan umat.
“Harapannya bahwa kalau ada anak disabilitas yang belum menerima sakramen Komuni dan sakramen lainnya harus segera dilaporkan untuk bisa dilayani,” katanya.
Hadir dalam misa itu utusan dari Yayasan Karya Murni Ruteng dan umat dalam stasi setempat.
Yayasan Karya Murni Ruteng hadir untuk mendukung pemenuhan hak setiap anak disablitas di desa, termasuk hak keagamaan anak disabilitas.
Mewakili Yayasan Karya Murni, Sebastianus Hanu yang juga sebagai koordinator program untuk 4 paroki dampingan menyatakan, semua umat berkedudukan sama.
Sebas menjelaskan, di bawah moto Venerate Vitem (hormatilah kehidupan), Yayasan Karya Murni kerja sama dengan empat paroki di Keuskupan Ruteng bertekad memperjuangkan hak setiap kaum disabiltas sebagai manusia yang sama di mata Tuhan.
“Harapannya bahwa semua anak disabilitas harus diperlakukan sama dalam pemenuhan hak dan kewajibannya,” ujarnya.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba