Ende, Vox NTT- Sejak 7 Mei 2008, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah disahkan. UU tersebut mengatur tentang sistem pengolahan sampah yang ramah lingkungan baik oleh masyarakat, pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah.
Salah satu poin larangan dalam peraturan pengolahan sampah menurut UU tersebut ialah sistem pembuangan sampah terbuka atau open dumping.
Dalam Pasal 44 UU Nomor 18 Tahun 2008 mengatur Pemerintah Daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama lima (5) tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut.
Artinya, pada tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Ende seharusnya menutup sistem pembuangan sampah terbuka seperti yang terjadi saat ini di TPA Rate, Kelurahan Tanjung, Kecamatan Ende Selatan.
Pemerintah daerah mestinya mengalihkan TPA sampah sistem terbuka dengan skema 3R yakni reduce, reuse dan recycle. Alternatif lain yakni dengan pola sanitary landfill dan control landfill.
Lalu, apakah pemerintah Kabupaten Ende melanggar atas perintah UU tersebut?
“Lampu Kuning”
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende, Abdul Haris Madjid mengatakan Pemda Ende saat ini sudah mendapatkan lampu kuning terhadap sistem pengolahan sampah open dumping.
Sebab, dispensasi waktu yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 hanya diberi lima tahun sejak UU tersebut disahkan. Durasi waktu itu juga terhitung dengan proses perencanaan Pemda untuk menutup TPA sampah sistem terbuka.
“Kita memang sudah diwanti-wanti atas UU itu. Seharusnya, sistem TPA terbuka tidak diberlakukan lagi untuk menghidari pencemaran lingkungan. Tapi, kondisi anggaran kita terbatas sehingga bisa molor seperti ini,” ujar Haris dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPRD Ende, Rabu (13/11/2019).
Ia menuturkan UU telah memberi waktu untuk menutup TPA sampah dengan sistem terbuka. Artinya, pada tahun 2013, pemerintah sudah seharusnya melakukan pengadaan lahan baru minimal seluas 5 hektare untuk TPA sampah sistem tertutup. Namun tidak terealisasi.
“Undang-undang sudah melarang kita untuk tidak membuang sampah secara terbuka. Tapi kita masih membangkang atas perintah UU ini,” tutur dia setelah ditanya wartawan.
Inventarisir Lahan
Haris menjelaskan, saat ini pemerintah tengah mengevaluasi dan menginventarisasi lahan di Desa Wajakea Jaya, Kecamatan Ende. Sudah dua kali dilakukan pertemuan warga.
Inventarisir lahan untuk kepentingan membangun TPA sanitary landfill. Namun jika sistem ini tidak mampu maka controlled landfill bisa menjadi pilihan. Hanya sistem ini hanya bersifat sementara hingga sanitary landfill diwujudkan.
Haris menyatakan sistem terbuka dinilai membahayakan karena sampah dibuang begitu saja tanpa proses apapun, ataupun penutupan tanah.
Sistem controlled landfill merupakan cara untuk peningkatan dari open dumping. Secara teknis, polanya dilakukan dengan penimbunan sampah dengan lapisan tanah setiap tujuh hari.
Sedangkan sistem sanitary landfill, jelas dia, merupakan sarana penimbunan sampah ke lingkungan yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis. Adapun proses penyebaran, pemadatan sampah dan penutup sel sampah dengan tanah setiap hari.
“Jadi kalau sudah ada lahan baru maka sistem pengolahan dilakukan secara tertutup dan sistematis. Setiap kali sampah datang maka akan ditutup dengan tanah. Nah, itu yang diperintah Undang-undang,” kata Haris.
Maka dari itu, pihaknya mengajukan alokasi anggaran pengadaan lahan secara bertahap hingga minimal seluas 5 hektar.
Pada tahun 2020, direncanakan pengadaan lahan seluas 700 meter persegi dengan besar anggaran yang diajukan sebesar Rp 2 Miliar lebih.
Dari total alokasi tersebut, jelas dia, akan dibagi dalam beberapa item kegiatan yakni pengadaan lahan sebesar 1,4 Miliar dan sisanya biaya operasional serta menghadirkan konsultan tim kajian dari appraisal.
“Seharusnya, pada aturan seharusnya minimal 5 hektar. Kalau dianggarkan berarti sekitar 11 Miliar lebih untuk pengadaan lahan baru. Tapi karena keterbatasan maka diajukan secara bertahap,” katanya.
Haris menuturkan, meski sudah melewati dari tempo yang ditentukan UU, Pemda Ende akan terus berupaya merealisasi sistem TPA tertutup untuk menjaga pencemaran terhadap lingkungan masyarakat.
Sehingga, diharapkan agar anggota dewan bisa mempertimbangkan pengajuan alokasi anggaran untuk pengadaan lahan. Hal ini penting karena sesuai perintah UU.
“Kalau pemda sudah memiliki lahan 5 hektar maka semua peralatan seperti alat berat atau mobil pengangkut disiapkan oleh pemerintah pusat. Itu syarat dan ketentuan untuk TPA sampah tertutup,” terang dia.
Pemerintah Boros Anggaran
DRPD Ende menilai pemerintah terkesan boros dalam pengelolaan anggaran. Penilaian dewan berdasarkan RKA yang disodorkan pemerintah tentang pengajuan alokasi penganggaran.
“Setelah kita cermati, bahwa belanjanya untuk pengadaan lahan 2 Miliar lebih. Tapi didalamnya hampir 700 Juta untuk belanja perkantoran dan perjalanan dinas. Ini terkesan hanya untuk penghamburan uang rakyat,” tutur Ketua Komisi III DPRD Ende, Vinsen Sangu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas Lingkungan Hidup pada Rabu (13/11/2019).
Pada prinsipnya, kata Vinsen, DPRD menyetujui usulan pemerintah untuk pengadaan lahan TPA baru sesuai dengan amanah UU. Sebab, hal itu sangat penting terhadap dampak lingkungan serta menjadi prasyarat sebagai kota ramah lingkungan.
Tetapi yang ditekan Vinsen ialah terjadi pemborosan anggaran terhadap perjalanan dinas pemerintah atau belanja tak langsung.
“Bahwa persyaratan TPA 5 hektar sesuai dengan Undang-Undang sebagai stimulan atas dukungan pemerintah pusat sebesar 20 Miliar. Tapi jika alokasi anggaran pengadaan tanah setiap tahun tidak mencapai satu hektar maka disimpulkan hanya menghabiskan anggaran,” tutur dia.
Maka dari itu, DPRD akan mempertimbangkan setiap usulan pemerintah jika adanya pemborosan anggaran yang sama sekali tidak bermanfaat. Namun, diharapkan agar pengajuan alokasi anggaran oleh pemerintah mesti lebih menekan pada belanja langsung terhadap masyarakat.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba