Ende, Vox NTT-Samiyati, Guru Agama di SDI Onekore 3, Kabupaten Ende, Flores, NTT menangis saat sejumlah Guru Tidak Tetap (GTT) mengadu ke DPRD, Rabu (20/11/2019) siang.
Tangisan Samiyati pecah setelah ia menceritakan upah yang diterima Rp 250 ribu setiap bulan. Ia sama sekali tak kuasa menahan air mata di hadapan para anggota dewan, Sekda Ende dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tentang kondisi yang ia alami.
“Dari awal masuk saya dapat gaji 250 ribu bapak. Saya terima 250 ribu. Saya ikhlas bapak, saya ingin mengajar anak-anak. Saya guru agama pak mengajar 50 orang siswa semua kelas. Sama dengan guru-guru lain, guru PNS lain,” ucap Samiyati sambil menangis.
Tangisan Samiyati membuat seisi ruang gabungan komisi itu hening. Beberapa anggota dewan pun menjatuhkan air mata. Termasuk sebagian wartawan.
Plt. Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kornelis Wara yang dari awal tegar tampak mengucek-ngucek matanya dan bersedih setelah Samiyati berkisah. Termasuk anggota DPRD Partai NasDem Astuti yang berkali-kali mengusap wajahnya dengan tisu.
Samiyati menjatuhkan air mata akibat dari upah yang diterima tak sebanding dengan pengabdiannya. Sebab, sejak awal dia mengajar hanya digaji Rp 250 Ribu.
Namun, ia mengaku lega setelah mendapatkan perhatian pemerintah masuk dalam daftar nama GTT pada Tahun 2018. Ia mendapatkan insentif tambahan dari pemerintah melalui Biaya Operasional Sekolah Daerah (Bosda) selama empat bulan tahun 2018.
Sementara pada tahun 2019, ia bersama guru GTT lainnya belum menerima insentif dari Bosda. Samiyati mengaku kecewa karena selama 11 bulan tidak digaji.
Kekecewaan dia kembali meluap lantaran namanya tidak dimasuk dalam daftar penerima Bosda pada tahun anggaran 2019.
Padahal, dia bersama beberapa guru lainnya terdaftar sebagai GTT dan berhak mendapatkan insentif tersebut.
“Saya baru diberitahu oleh Kepala Sekolah bahwa nama saya tiba-tiba tidak dimasuk dalam daftar GTT yang akan menerima insentif tahun 2019. Kemanakah kami yang tidak dapat gaji selama 11 bulan ini. Nama kami tidak muncul di daftar penerima bosda 2019, bagaimana sudah nasib kami ini pak,” tutur Samiyati.
Ia mengaku telah mendapatkan informasi dari pihak Dinas P dan K terkait namanya terhapus dalam daftar penerima Bosda setelah sebelumnya mengadu ke DPRD.
Saat ditanya tentang nasibnya, pihak dinas berdalih bahwa dirinya adalah guru mata pelajaran sehingga tidak berwenang mendapatkan insentif pemerintah.
“Bulan Februari 2019 kami masukan data karena diminta oleh dinas untuk Guru GTT. Dan saya lengkapi dan masukan data itu. Kalau dari awal bilang begitu (tidak berhak dapat Bosda) saya tidak mungkin masukan berkas, biar saya dapat gaji 250 ribu dari komite,” katanya.
“Administrasi saya lengkap bapak, tapi kenapa disaat terakhir saya sudah banyak hutang, baru dibilang saya tidak berhak menerima Bosda. Sedih hati saya bapak. Bagaimana nasib saya, kalau terakhir orang tahu saya tidak dibayar,” katanya lagi.
Menanggapi Samiyati, Plt. Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kornelis Wara mengatakan daftar nama yang tertera dalam SK Bupati berdasarkan pengajuan dari Kepala Sekolah masing-masing.
Pihak dinas hanya menerima nama-nama itu dan melakukan verifikasi administrasi lain sebagaimana lazimnya sebagai GTT.
“Yang ada dalam daftar itu atas dasar usulan dari para kepala sekolah. Jadi bapak ibu yang datang hari ini, kami mohon ditulis nama secara baik. Karena kita masih punya waktu untuk verifikasi,” kata Kornelis.
Hal itu pun ditegaskan Sekda Ende dr. Agustinus G. Ngasu setelah ditanya Ketua DPRD Ende Fransiskus Taso.
Sekda Agustinus menerangkan bahwa sesuai Peraturan Bupati tahun 2018, GTT yang berhak mendapatkan Bosda ialah guru kelas pada tingkat SD dan guru mata pelajaran pada sekolah tingkat SMP.
Namun begitu, lanjut Sekda, jika ada sekolah di tingkat SD ada guru mata pelajaran yang mengajar dari kelas satu sampai enam maka juga memiliki hak mendapat insentif Bosda.
“Kalau seperti ibu sebagai guru mata pelajaran dan mengajar dari kelas satu sampai kelas enam, punya hak untuk dapat. Tapi kalau guru mata pelajaran di SD yang hanya mengajar satu kelas saja (Bosda) tidak berhak. Itu sesuai dengan Perbup Tahun 2018,” kata Agustinus.
Atas pengaduan guru GTT tersebut, kata dia, pihaknya akan mempertimbangkan pencairan dana Bosda Tahun 2019. Pemerintah akan kembali memverifikasi kembali nama-nama GTT yang berhak mendapatkan dana Bosda.
Hal itu juga ditegaskan Ketua DPRD Ende Fransiskus Taso yang meminta pemerintah mengakomodir aspirasi pengaduan para guru tersebut.
Fransiskus berpendapat bahwa pemerintah mesti kembali mengecek data guru GTT secara detail untuk mengantisipasi polemik pembayaran insentif yang telah dialokasikan.
Terhadap para guru tersebut, Fransiskus berpesan agar mengirim kembali nama serta tugas mengajar sesuai Perbup 2018.
Untuk diketahui, sejumlah guru mengadu soal nasibnya sebagai GTT ke DPRD Ende. Pengaduan itu terkait hilangnya sejumlah nama GTT dalam daftar penerima dana Bosda serta kejanggalan-kejanggalan lain dalam SK Bupati Ende.
Bantuan stimulan Bosda ini ialah janji politik pemerintah terhadap para guru honorer dengan nominal kategori guru pedalaman Rp 1.500.000, guru terpencil Rp 1.100.000 dan guru honorer dalam kota Rp 700.000.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba