Borong, Vox NTT-Sejumlah warga yang tergabung dalam Front Rakyat Matim Bergerak melakukan aksi di Lehong, Kantor Bupati Manggarai Timur (Matim), Provinsi NTT, Kamis (21/11/2019).
Front ini terdiri dari, Liga Mahasiswa Nasional Demokarasi (LMND) eksekutif Kota Ruteng, Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Manggarai dan sejumlah warga pasar Borong.
Dalam aksi itu massa aksi membawa peti mati bertuliskan “RIP Pemkab Matim hidup rakyat”.
Mirisnya peti mati itu diberikan di saat kepemimpinan Agas dan Jaghur belum berusia satu tahun, sejak keduanya dilantik 14 Februari 2019 lalu.
Sorot Kerusakan Mangrove dan Tembok Pembatas
Dari pernyataan sikap yang terima VoxNtt.com, massa aksi menyoroti dua isu penting yang sedang terjadi di Manggarai Timur.
Pertama, pembuatan pagar pembatas di tanah sebelah timur pasar Borong, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong.
Menurut massa aksi, dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, telah mengamanatkan tentang makna reforma agraria sejati.
Namun praktiknya Pemerintah Matim telah mengabaikan makna dari amanah tersebut, dan ingin menang sendiri dengan cara merampas hak rakyat.
Pemda Matim juga dinilai telah mencederai dan gagal paham terkait hak dan kewajiban warga Negara Indonesia yang sudah diatur dalam UUD 1945 dan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selain itu, langkah yang diambil oleh pemerintah sudah mencederai amanat UUD 1945 yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tak hanya menyasar ke Pemkab Matim. Aksi tersebut juga menyoroti kinerja DPRD Matim.
Massa aksi menilai DPRD Matim telah melanggar fungsinya sebagai legislator dan pengawasan.
Massa aksi menyebut, DPRD tidak mempunyai kepekaan sosial, dengan apa yang dirasakan masyarakat Manggarai Timur.
Bagi massa aksi, masalah yang terjadi di Manggarai Timur saat ini bukan hanya satu. Tetapi masih begitu banyak persoalan yang menjadi pertanyaan dan polemik di masyarakat.
Kedua, pembabatan mangrove yang terjadi di Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong.
Massa aksi menilai, pembabatan mangrove dengan berbagai alasan jelas melanggar UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Di sana diatur larangan penebangan pohon di wilayah 130 kali jarak pasang laut terendah dan laut tertinggi.
Kemudian, ada juga UU Republik Indonesia No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pilau kecil.
Massa aksi juga menilai, fungsi UKL dan UPL adalah untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan. Tetapi kemudian dalam pelaksanaan justru membenarkan adanya penebangan mangrove.
UKL dan UPL itu dijadikan oleh DLHD (Dinas Lingkungan Hidup) sebagai salah satu perisai pembelaan terhadap penebangan mangrove.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba