*Cerpen Gusti Ginta
Saya wujud dari titisan dewa asmara.
Saya berasal dari tetesan sperma.
Saya terbentuk oleh gairah yang tergesa.
Saya terbentur oleh dosa dan aib keluarga.
Saya lahir dari seorang ibu tanpa ayah.
Saya diberi nama yoker merah.
Kehidupanku adalah soal pertarungan hidup dan mati, hanya itu. Sejak dalam kandungan tak terperikan, saya telah melalui hal-hal yang mengerikan. Saya telah merasakan bagaimana bertahan dengan asupan seadanya dan membiasakan diri menerima banyak ocehan, cemohaan bahkan ancaman digugurkan. Jika bukan karena keajaiban, entah oleh siapa yang memberikan maka barangkali saya tak sempat mendapat tempat di dunia.
Ketika berhasil lolos dari jeratan menggelikan nan sumpek. Saya mengawali perjuangan hidup di kantong kresek. Ibu benar-benar berengsek. Ia biarkan saya merengek tanpa diberi tetek. Lalu melenggang pergi dengan cuek. Benar sekali dulu orang-orang mengejeknya, itu adalah buah dari sembarang menggesek.
Pantaskah saudara menilai kehidupan adalah keindahan bagi orang seperti saya? Sebuah kehidupan yang tidak datang dari kesungguhan melainkan oleh karena kecerobohan dua insan. Jika bukan karena cinta-cintaan mereka mana mungkin saya terlahirkan. Dan sungguh mereka memperkenalkan saya sisi buas dari manusia.
Orang-orang selalu mengatakan bahwa saya hidup bukan dari kehidupan melainkan dari kematian. Saya ditemukan di sebuah tempat yang jauh dari kehidupan. Tempat yang dibuat untuk membuang sisa penghidupan. Saya pun mafhum merasakan sendiri sejak dalam kandungan bahwa saya telah mengalami kematian psikologis.
Saya tumbuh besar bersama kawanan yang terbuang. Orang-orang yang dianggap selalu membutuhkan belas kasihan. Kami selalu didatangi oleh orang-orang pemerintahan, para dermawan, cendikiawan, rohaniwan, pihak kesehatan dan tak lupa sepasang suami-isteri yang tak kunjung dapat momongan.
Bertahun-tahun teman-teman datang lalu dibawa pergi. Saya masih jalani kehidupan dengan sendiri. Para pengurus tempat saya tinggal belum pernah terlihat didatangi atau menanda-tangani berkas dari calon wali untuk saya. Mereka bilang psikis saya belum stabil masih dalam keadaan traumatik. Dokter bilang itu disebabkan karena saya melewati fase yang buruk sejak di dalam kandungan. Jadi karena hal itu alangkah baiknya saya terus diperiksa secara periodik. Ya, tanpa meminta persetujuan mereka tetap saja bagi saya kehidupan dan kematian adalah pertarungan, pergulatan, perjudian sesekali bersandar pada keberuntungan.
Sebenarnya saya pun juga menghendaki untuk menjalankan kehidupan dengan baik. Tetapi saban malam saya diliputi perasaan cemas, takut, benci, bosan dan hal-hal yang mengandung isak tangis, maupun jeritan. Segalanya mengundang perasaan balas dendam terhadap masa lalu. Demikianlah saya memilih kabur, berlari melebur bersama sunyi. Mencari kehidupan yang teratur.
Seperti kehidupanku yang tak disengaja maka pertemuan bersama orang itu merupakan kebetulan. Ia dikenal sebagai seorang dari keturunan bangasawan. Yang belakangan saya tahu dari orang kebanyakan bahwa dulunya ia pernah terlibat skandal. Ia ditentang oleh keluarganya karena menghamili perempuan yang jauh derajat secara status sosial. Dan secara kebetulan pula perempuan itu adalah orang yang melahirkan saya. Mereka adalah cikal bakal yang membuat kehidupan saya penuh sial.
Perasaan benci selalu menyulut balas dendam. Api amarah merambat begitu cepat membinasakan sesuatu yang disentuh. Seorang yang sebenarnya dipanggil ayah, ibu dan keluarga lainnya mendapat ganjaran yang sama. Suatu sebab selalu mempunyai nilai yang sama ; conditio sine qua non.
Sudah dipastikan seorang yang mengganggu ketertiban dan keamanan umum sepantasnya dilabeli penjahat. Ia harus dipisahkan dari kelangsungan hidup masyarakat karena buruknya tabiat. Tempat terbaik mengubahnya yaitu penjara.
Setelah melewati berbagai tingkatan pemeriksaan, saya akhirnya dibawa ke muka hakim. Mengetahui banyaknya korban yang mati dengan tedeng aling-aling, tanpa mengindahkan dalil-dalil meringankan dari saya, Yang mulia hakim langsung menjatuhkan putusan memberatkan.
Pertama-tama dalam kurun waktu selama sepertiga masa pidana. Saya berada di dalam ruangan pengawasan yang ketat. Terkadang saya dikunci di ruangan isolasi diceburkan ke dalam sunyi, sedih dan pedih. Menjalankan bentuk penderitaan seperti itu sudah sangat terbiasa. Bukankah penderitaan telah melekat pada diri saya semenjak di dalam kandungan?. Alih-alih hukuman itu membuat saya jera malah menambah dera. Kebencian terus menyeruak dan terlampiaskan dengan perkelahian serius dengan beberapa narapidana. Sungguh saya sudah terbiasa menikmati pertarungan untuk merebut kehidupan dan menjauhkan kematian.
Sebagaimana di tempat saya tinggal dulu, di sini pun orang-orang banyak berdatangan. Selain para pengunjung bagi yang mempunyai kerabat, lainnya lagi adalah orang-orang dari instansi kesehatan, rohaniwan, cendekiawan, dan kadang-kadang dari pemerintahan.
Saya sendiri lebih banyak dikunjungi oleh seorang rohaniwan. Dia mengajarkan saya menguburkan dengki, mengaburkan dendam masa lalu dan meleburkan diri ke dalam kehidupan yang damai dengan penuh cinta kasih. Sejujurnya ketika dia mengatakan itu saya memilih diam, menyembunyikan rapat-rapat perasaan tidak suka.
Seandainya saja kehidupan mempunyai cinta-kasih lantas mengapa saya tidak pernah memperoleh itu?. Di luar sana atas nama kehidupan bernegara masih ada penindasan, kekerasan, pembantaian, peperangan dengan dalil mempertahankan kekuasaan, menjaga keamanan, ketertiban dan kestabilan negara.
Negara saja membunuh dengan punya dasar pembenaran, apalagi seorang manusia seperti saya pasti memiliki alasan tetapi bukan berarti membenarkan diri. Beberapa orang di sini terpaksa menjadi napi gara-gara mempertahankan tanahnya dan negara menganggap itu sebagai onrechtmatige daad – merugikan kepentingan negara. Sekalipun kita telah memasuki era modern masih saja kehidupan tak bisa lepas dari keadaan ; bellum omnium contra omnes.
Selain itu pula saya didatangi cendekiawan yang ingin melakukan penelitian berkenan dengan penjahat dan kejahatan. Ia sering datang ke sini, mengumpulkan orang-orang seperti kami. Biasanya kami ditelanjangi, mulai dari ujung rambut sampai kaki semua diteliti. Tak ada yang terkecuali. Dia dipanggil orang sebagai pakar kriminologi, profesor Lambrosso.
Betapa kebencian itu tambah menyala ketika ia mengatakan bahwa dari penelitiannya yang mendalam, kami adalah sekumpulan manusia yang terlahir sebagai orang kriminal. Dari segi fisik, kami mempunyai bentuk-bentuk berbeda dengan manusia normal lainnya lebih dekat kepada kera. Hal itu diturunkan dari nenek moyang, ia beri nama atavistic stigmata. Tetapi professor uzur ini hanya menjadikan pelaku kejahatan seperti kami sebagai objek penelitian. Ia sendiri jarang masuk ke ruang mewah yang di huni oleh napi-napi koruptor. Barangkali ia takut bahwa penelitiannya akan terpatahkan oleh fisik rupawan dari napi-napi tersebut.
Lama kelamaan setelah melewati masa-masa yang menyulitkan. Saya sudah akrab dengan orang lain. Saya telah bertemu dengan orang-orang yang kalah dalam pergulatan. Orang-orang yang jauh dari keberuntungan. Dan mereka adalah “orang kebanyakan” yang diputuskan dengan tidak berdasar pada keadilan.
Saya telah belajar banyak hal di sini. Satu yang tidak diketahui oleh para rohaniwan yang lugu dan cendekiawan sok tahu itu, bahwasannya saya ingin menjalani hidup yang baik dari dulu. Maka untuk mendapat jalan itu, mau tak mau saya harus membunuh untuk membinasakan masa lalu.
Tertulis di Waso Ruteng, 20 – 21 Oktober 2019
*Gusti Ginta, alumnus Fakultas Hukum Undana NTT tetapi sastra telah merangkul jiwanya dalam menelusuri seluk beluk, liku kehidupan. Baginya kepuitisan lahir dari refleksi atas kehidupan.