Jakarta, Vox NTT- Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 2019-2024 terus melakukan pengkajian dan penyerapan aspirasi tentang sistem ketatanegaraan dan penataan wewenang lembaga-lembaga negara.
Itu terutama lembaga negara yang tugas dan wewenangnya diberikan langsung oleh Undang-undang Dasar (UUD).
Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI terus bertemu dengan para pakar, akademisi, para penyelenggara negara, praktisi, mahasiswa, dan tokoh masyarakat.
Mereka menggali informasi dan mendengarkan evaluasi para pihak. Selanjutnya dirumuskan dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Benny K. Harman mengatakan, dalam rangka melanjutkan kajian lebih mendalam tentang penataan kewenangan MPR, Badan Pengkajian MPR sebagai alat kelengkapan MPR memiliki tugas untuk mengkaji dan menyerap aspirasi serta merumuskan pokok-pokok rekomendasi.
“Badan Pengkajian MPR memandang perlu untuk menyelenggarakan seminar nasional sebagai salah satu metode dalam mengkaji penataan wewenang dan tugas MPR RI,” kata Benny dalam seminar nasional mengenai Penataan Wewenang dan Tugas MPR di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Solo, Jawa Tengah, Selasa (10/12/2019).
Seminar itu dihadiri oleh pimpinan Universitas, pimpinan Fakultas, mahasiswa, serta segenap civitas akademika Universitas Muhammadiyah Surakarta – Solo
Dalam kesempatan tersebut, Benny menegaskan perlunya informasi, data, dan hasil penelitian yang komprehensif, sehingga nantinya keputusan yang diambil bisa memuaskan semua pihak.
“Badan Pengkajian memerlukan berbagai informasi, penelitian, data, dan literatur yang komprehensif dan terbaru, sehingga apa yang menjadi fokus dalam isu tentang penataan kewenangan MPR dapat digali secara tuntas dan dapat diterima semua pihak,” jelas Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI itu.
Menurut dia, tugas pengkajian tersebut merupakan rekomendasi MPR masa jabatan 2009-2014 kepada MPR periode 2014-2019 dan dilanjutkan lagi ke MPR periode 2019-2024.
MPR pada periode sebelumnya telah melakukan kajian-kajian entah secara teoritis, praksis, yuridis, maupun secara politis.
Beragamnya pandangan anggota majelis berimplikasi pada keputusan bahwa MPR masa jabatan 2014-2019 belum dapat melakukan penataan sistem ketatanegaraan sesuai dengan amanat dari rekomendasi yang terdapat pada Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2014.
Majelis malah merekomendasikan kepada MPR masa jabatan 2019-2024 untuk melanjutkan kajian lebih mendalam terutama mengenai penataan kewenangan MPR.
Menurut Benny, kegiatan seminar nasional di Universitas Muhammadiah Surakarta-Solo dilakukan untuk membahas secara lebih mendalam tentang topik penataan wewenang dan tugas MPR RI.
Anggota DPR RI asal Dapil NTT 1 itu mengungkapkan, pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2019, kajian MPR terkait dengan penataan kewenangannya sudah dilakukan dengan berbagai metode dan kelompok sasaran.
Secara umum dapat disampaikan, kata dia, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah perlu dilakukan penataan kewenangan MPR atau kewenangan MPR sudah tepat seperti saat ini.
“Ragam pendapat dan gagasan berkembang sangat dinamis, sehingga diperlukan pengayaan pembahasan terkait hal tersebut,” jelas mantan Ketua Komisi III DPR-RI itu.
Ia pun menguraikan, saat ini rekomendasi pemikiran penataan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia meliputi beberapa hal.
Itu antara lain, haluan negara, kedudukan MPR, kewenangan MPR membuat ketetapan MPR, dan ketetapan MPR tentang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian, tafsir konstitusi, sidang tahunan MPR, dan menyelenggarakan sidang MPR dalam rangka melaksanakan wewenang dan tugas.
Selanjutnya, meninjau dan mengevaluasi pelaksanaan ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang peninjauan materi dan status hukum ketetapan MPR dan ketetapan MPR RI dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, khususnya Pasal 4 untuk ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah. (VoN)