Maumere, Vox NTT- Nama lengkapnya Wihelmina Weti. Saat masih kuat, Nenek Weti adalah seorang dukun kampung, jagoan urut yang tersohor di Kampung Habi. Sekarang, usianya sudah senja. Sudah 70-an tahun.
“Tidak obat orang lagi. Saya pelihara ayam dan kerja kebun,” ujarnya dalam Bahasa Krowe kepada VoxNtt.com di kediamannya, pada Kamis, 5 November 2019 lalu.
Dia hidup bersama anak perempuannya, Tuti di sebuah gubuk reyot di Lokaria, RT 12/RW 04, Dusun Wairhabi, Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dua anak lainnya sudah cukup lama merantau ke Kalimantan. Masih ada 1 anak lelaki yang saat ini di Maumere. Tetapi ia tinggal di kampung istrinya, 40-an km dari Lokaria.
Suaminya, sudah meninggal 20-an tahun lalu. Sang suami yang berasal dari Natarguru tersebut tidak meninggalkan warisan tanah. Gubuk reyot yang dihuninya sekarang dibangun di atas tanah warisan kedua orangtuanya.
Meski tinggal di gubuk reyot tak ada kesedihan di wajahnya. Ia tetap ceriah. Sesekali tertawa terbahak-bahak.
Tiga Puluh Delapan Lembar Seng
Di samping gubuk reyot berukuran 3X4 tersebut berdiri sebuah rumah. Belum selesai dibangun. Sudah ada fondasi dan kerangka balok yang dikasih atap. Ada setumpuk kecil bata merah pada salah satu sudut.
Rupanya bangunan rumah yang belum selesai dikerjakan tersebut adalah milik Nenek Weti.
Menurut pengakuannya, bebeberapa tahun lalu Nenek Weti mendapatkan bantuan dari pemerintah. Subsidi pembangunan rumah layak huni tersebut diberikan dalam bentuk 38 lembar seng.
Nenek Weti tak ingat pasti waktu penyerahan bantuan seng. Demikian pula instansi yang menyerahkan bantuan.
“Saya sudah lupa. Hanya mereka pernah datang cek kapan apa saya jual seng bantuan atau tidak, tetapi saya tunjukkan seng saya tetap simpan di langit-langit rumah,” ujarnya.
Setelah bertahun-tahun menyimpan seng, Nenek Weti baru mulai membangun ‘rumah negara’ tersebut. Penyebutan ‘rumah negara’ adalah ide seorang tetangga dan tokoh masyarakat setempat bernama Bapa Seri.
Berbekal uang tabungan hasil menjual ayam peliharaan di pasar, tahun 2015 lalu rumah tersebut dibangun.
“Saya jual ayam baru beli balok, semen, dan batu,” tambahnya.
Rumah tersebut dikerjakan secara sukarela oleh kerabat yang tinggal dekat rumah Nenek Weti. Tidak ada bayaran sepeser pun dari sang tukang.
“Bahan yang lain belum ada jadi saya minta dia berhenti dulu. Kerja dulu di tempat lain yang ada bayarannya,” ujarnya sambil tertawa.
Sayang, Nenek Weti belum bisa menempati rumah barunya. Butuh bertahun-tahun lagi rupanya agar 38 lembar seng bantuan bisa menjelma menjadi rumah layak huni.
Malu Minta Bantuan
Memang selama ini Nenek Weti dan anaknya hidup dari menjual ternak peliharaan. Tampak di belakang gubuk tersebut ada beberapa ekor babi. Sementara itu, kambing dan ayam ditempatkan di bawah pohon asam di sisi timur rumah.
Tak ada bantuan beras atau bantuan pangan lain dari pemerintah. Keduanya terbantu dengan cadangan pangan dari kebun.
“Kami kerja orang punya kebun baru hasil bagi,” terangnya.
Kebutuhan bahan bakar dapur menggunakan kayu bakar. Sementara air bersih diambil dari sumur tetangga.
Soal rumah Nenek Weti tidak ingin meminta bantuan dari pemerintah.
“Saya malu. Saya tidak tahu mau minta apa. Biar saya jual lagi binatang baru kerja kasi selesai,” ujar Nenek Weti.
Asa membangun rumah di hari tuanya masih dipelihara entah kapan akan terwujud. Bisa jadi rumah ini akan jadi warisan berharganya untuk sang anak yang masih setia merawatnya.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba