Vox NTT- Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudoyono (SBY) fokus menyoroti isu persoalan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia dalam pidato Refleksi Pergantian Tahun 2019 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
“Meskipun isu-isu lain juga penting, dalam kesempatan ini kami tidak bermaksud menyampaikannya. Misalnya isu tentang politik dan demokrasi, tentang hukum dan keadilan, dan tentang persatuan dan kerukunan bangsa,” ujar SBY.
Menurut dia, permasalahan dan tantangan yang mengemuka saat ini adalah ekonomi. Sebab itu, ia mengajak harus memberikan perhatian dan berupaya sekuat tenaga untuk mengatasinya.
Baca Juga: Pidato Akhir Tahun, SBY Ajak Hentikan Permusuhan
Ia beralasan, jika ekonomi menurun, apalagi memburuk, rakyatlah yang paling terkena dampaknya. Terutama rakyat golongan miskin dan kurang mampu, yang jumlahnya puluhan juta di negara Indonesia.
“Sebaliknya, jika ekonomi kita meningkat, taraf hidup rakyat akan meningkat pula,” ucap Presiden ke-6 RI itu.
SBY mengatakan, pihaknya sudah mengetahui bahwa pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk mengatasi permasalahan ekonomi. Termasuk menjaga pertumbuhan, fundamental dan aspek-aspek ekonomi makro yang lain.
Partai Demokrat, kata dia, mengamati sebagian upaya itu berhasil dengan baik, namun sebagian belum. Paling tidak masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Dikatakan, tahun 2020 dan tahun-tahun ke depannya, ekonomi global dan kawasan diperkirakan dalam keadaan yang tidak baik.
SBY mengaku banyak yang mengatakan bahwa dunia akan mengalami resesi ekonomi.
Artinya, pertumbuhan akan melambat atau tumbuh rendah. Keadaan ini akan berdampak negatif dan makin membebani ekonomi Indonesia.
Karenanya, menurut SBY Indonesia tidak cukup hanya berjaga-jaga. Atau hanya siap untuk melakukan antisipasi dan adaptasi semata.
“Kita harus sangat serius dalam upaya mengurangi dampak buruk resesi dunia itu terhadap ekonomi kita. Sangat berbahaya kalau kita lalai dan bersikap ‘business as usual’,” katanya.
SBY juga mengetahui, pemerintah telah melakukan sejumlah langkah untuk “mengamankan” ekonomi Indonesia di tahun 2020 mendatang.
Pihaknya juga mengikuti postur APBN tahun 2020 dan berbagai kebijakan yang dijalankan.
“Demokrat senang, dan memberikan apresiasi yang tinggi untuk itu. Demokrat tidak ingin, dan tentu juga rakyat kita, perkiraan Bank Dunia tentang ekonomi kita menjadi kenyataan. Kita ingin pertumbuhan ekonomi kita tidak serendah yang diperkirakan oleh Bank Dunia, yang menaruhnya di angka 4,9%,” ungkap Presiden pertama RI yang dipilih melalui jalur Pemilu itu.
“Jika dalam forum ini kami menyampaikan hal-hal untuk diwaspadai oleh pemerintah, tujuan kami sama dengan tujuan pemerintah,” sambung dia.
SBY menegaskan, ekonomi Indonesia selamat, di kala ekonomi dunia sedang tidak cerah. Bahkan tetap tumbuh dengan baik.
Ia yakin pemerintah memerlukan mitra yang berkata jujur dan apa adanya. Serta mitra yang siap membangun sinergi dan kerja sama yang baik. Kerja sama untuk kepentingan rakyat.
Dari semua permasalahan dan tantangan ekonomi saat ini, lanjut SBY, Demokrat hanya ingin berfokus pada 5 isu.
Pertama, menyangkut pertumbuhan ekonomi. Kedua, pengangguran dan lapangan kerja. Ketiga, daya beli dan perlindungan sosial untuk rakyat. Keempat, kebijakan fiskal termasuk utang negara. Dan yang kelima, rencana pemindahan dan pembangunan ibukota baru.
Terkait pertumbuhan ekonomi, SBY menyatakan, Demokrat sepakat dengan Presiden Joko Widodo bahwa angka pertumbuhan pada tingkat 5% bukanlah sesuatu yang buruk. Terutama jika dikaitkan dengan situasi perekonomian global saat ini. Yang penting, sasaran pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan untuk tahun 2020 sebesar 5,3% dapat dicapai.
Menurut dia, jika ekonomi Indonesia tumbuh rendah, misalnya di bawah 6%, lapangan pekerjaan baru sulit didapatkan. Penghasilan dan daya beli rakyat pun sulit ditingkatkan. Angka kemiskinan juga tak mudah untuk diturunkan.
Ia menawarkan, dalam jangka pendek dan menengah ada dua langkah besar yang perlu dilakukan.
Pertama, investasi dunia usaha harus ditingkatkan. Usaha swasta, dan bukan hanya BUMN, harus mendapat peluang bisnis yang lebih besar. Karenanya, ia mendukung penuh upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi.
Kedua, pembelanjaan konsumen (consumers spending) harus dijaga dan kalau bisa ditingkatkan. Baik belanja pemerintah maupun konsumsi rumah tangga.
SBY menambahkan, di tengah lesunya daya beli golongan menengah ke bawah, ada dua proritas yang penting.
Pertama, penciptaan lapangan kerja baru harus sukses. Kalau sukses, konsumsi rumah tangga secara agregat akan terus meningkat.
Kedua, perlu dipastikan agar anggaran perlindungan sosial, termasuk subsidi bagi kaum tidak mampu, jumlahnya memadai.
“Kita tahu bahwa belanja pemerintah (government expenditure) adalah komponen penting dalam pertumbuhan,” katanya.
Kemudian, ruang fiskal Indonesia dinilai SBY tidak terlalu sempit. Yang penting, kata dia, pemerintah cerdas dan tepat dalam mengalokasikan pembelanjaannya.
Ia berharap belanja pemerintah sungguh dapat menyumbang pertumbuhan ekonomi yang nyata.
Dalam jangka panjang, kata dia, pemerintah perlu melakukan segala upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ia mengatakan, peluang peningkatan sumbangan sektor industri pada pertumbuhan. Utamanya melalui industri manufaktur yang berbasiskan pertanian dan sumber daya mineral. Juga sektor perdagangan, konstruksi dan kepariwisataan.
“Sebenarnya, banyak jalan menuju ke Roma,” sambung SBY.
Dikatakan SBY, Demokrat menyambut baik tekad Presiden Jokowi, agar Indonesia bisa keluar dari jebakan penghasilan menengah (middle income trap) di tahun 2045 mendatang.
Di sini, menurut dia perlu memiliki pertumbuhan yang tinggi. Pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi 6% setahun, akan membuat pendapatan perkapita naik dua kali lipat dalam 10 tahun.
“Insya Allah Indonesia bisa. Kita punya “success story”. Dalam waktu 10 tahun (2004-2014) income per kapita kita naik 3 kali lipat lebih, dari $ 1100AS menjadi $ 3500 AS,” beber SBY.
Ia menambahkan, isu ekonomi yang kedua adalah menyangkut pengangguran dan lapangan pekerjaan.
“Kami, Demokrat, sungguh memberikan perhatian pada isu ini,” ujar pria kelahiran 9 September 1949 itu.
SBY menyatakan, jika melihat data statistik, memang ada penurunan angka pengangguran sekitar 1% dalam waktu 5 tahun. Bagi dia, tentu ini belum cukup.
Di samping itu, juga harus melihat struktur dan migrasi pekerjaan yang terjadi di masyarakat.
Meskipun tercatat sebagai bekerja alias tidak menganggur, namun sekitar 28,4 juta orang adalah pekerja paruh waktu.
Sementara, yang berkategori setengah menganggur sekitar 8,14 juta orang. Jumlahnya, 36,5 juta orang. Bagi SBY, tentu ini angka yang besar.
Selain itu, banyak terjadi peralihan pekerjaan, dari sektor formal ke sektor informal. Keadaan seperti ini kerap diikuti menurunnya penghasilan, dan tentunya berpengaruh terhadap daya beli mereka.
Itulah sebabnya, Demokrat mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam meningkatkan biaya yang ditanggung oleh rakyat. Itu seperti BPJS, tarif dasar listrik dan lain-lain.
SBY kemudian meminta agar memperhatikan “timing” (kapan dinaikkan) dan seberapa besar angka kenaikan yang tepat. Secara moral dan sosial, tegas dia, tidaklah bijak membebani rakyat secara berlebihan ketika ekonomi mereka sedang susah.
“Satu hal yang patut menjadi perhatian kita adalah “siapa saja yang menganggur” dewasa ini,” tandasnya.
SBY menegaskan, data menunjukkan bahwa prosentase dan angka lulusan SMK, SMA dan Perguruan Tinggi yang menganggur relatif tinggi.
Keadaan seperti ini tentu rawan secara sosial, politik dan keamanan.
SBY mengajak harus belajar dari pengalaman Arab Spring di tahun 2011 lalu. Juga belajar dari terjadinya gerakan protes sosial di 30 negara tahun 2019 ini. Penyebab utamanya adalah kesulitan ekonomi dan banyaknya pengangguran.
Untuk itu, menurut SBY Demokrat mendukung penuh upaya pemerintah untuk mengatasi pengangguran ini.
Caranya tentu banyak. SBY berharap, pembangunan infrastruktur dengan anggaran yang sangat besar saat ini, dapat menciptakan lapangan kerja yang jauh lebih banyak.
Demokrat juga menyambut baik program Kartu Pra Kerja yang ada dalam APBN 2020.
Ia menilai hal ini sebuah inisiatif yang baik. Yang penting, program dengan anggaran 10 triliun rupiah untuk 2 juta peserta tersebut dapat dikelola dengan baik. Agar tidak memunculkan isu sosial di antara sesama pencari kerja, pelaksanaannya harus benar-benar transparan dan akuntabel.
Diharapkan pula tidak salah sasaran, dan bebas dari kepentingan politik pihak manapun.
Demokrat, lanjut SBY, juga berharap pemerintah memiliki kebijakan yang efektif dan lebih agresif bagi pencari kerja milenial.
Meskipun sektor pertanian, industri dan jasa tetap menjadi tulang punggung ekonomi nasional, Indonesia juga memasuki era baru. “Ekonomi Baru” atau “Ekonomi Digital” telah menjadi bagian dari ekonomi.
Karenanya, pendidikan dan pelatihan bagi kaum milenial ke depan harus dilakukan secara serius. Mereka harus dipersiapkan agar cakap dan terampil untuk bekerja di era ekonomi digital.
Isu ketiga adalah berkaitan dengan daya beli dan perlindungan sosial untuk masyarakat.
SBY mengatakan, kesulitan ekonomi termasuk lemahnya daya beli masyarakat, memang nyata. Terutama pada masyarakat yang berpenghasilan rendah dan kaum tidak mampu. Bagi masyarakat papan menengah dan atas, barangkali tidak merasakannya.
Penurunan daya beli ini juga ditandai oleh perlambatan penjualan retail, penurunan penjualan mobil dan motor, serta perlambatan konsumsi makanan. Juga ditandai oleh tekanan terhadap upah riil petani dan pekerja konstruksi.
SBY mengungkapkan, ada dua cara untuk meningkatkan penghasilan dan daya beli rakyat.
Pertama, melalui mekanisme ekonomi, yaitu dengan meningkatkan pertumbuhan dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.
Kedua, bagi masyarakat yang benar-benar mengalami kesulitan dalam kehidupan rumah tangganya, pemerintah perlu memberikan bantuan. Inilah yang disebut dengan perlindungan sosial atau social safety net.
Demokrat, sambung dia, mengetahui bahwa dalam APBN 2020, disediakan anggaran perlindungan sosial berjumlah Rp 372,5 triliun.
Anggaran ini tentu saja cukup besar, meskipun tidak sebesar anggaran untuk pembangunan infrastruktur.
Program ini meliputi bantuan pangan, pendidikan, kesehatan, subsidi tepat sasaran, dan juga dana desa.
“Demokrat mendukung penuh program dan anggaran ini,” tandas SBY.
Demoktrat tentu tidak setuju kalau ada yang berpendapat anggaran ini disebut pemborosan. Bahkan ada yang berpendapat lebih baik digunakan saja untuk menambah biaya infrastruktur.
Justru pembelanjaan yang terlalu tinggi (too much spending) dalam pembangunan infrastruktur, dan menomorduakan pembangunan manusia.
Menurut SBY tidak tepat dan tidak adil, jika mengabaikan bantuan kepada rakyat miskin dan rakyat yang sedang susah.
“Kita tidak boleh berpikir terlalu kapitalistik dan neo-liberalistik dalam pembangunan ekonomi. Paham-paham itu tidak peka terhadap kemiskinan, kesenjangan dan keadilan sosial. Paham demikian juga bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila, yang ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata SBY.
Ia mengaku, Indonesia punya pengalaman yang baik, dengan program perlindungan sosial, yang waktu itu disebut “program-program pro-rakyat”.
Dalam waktu sepuluh tahun (2004 – 2014), Indonesia bisa menurunkan angka kemiskinan sebesar 6%.
“Sekali lagi Demokrat mendukung setiap kebijakan dan program yang berpihak kepada rakyat kecil,” tegasnya.
Isu ekonomi yang keempat adalah berkaitan dengan kebijakan fiskal, termasuk utang negara.
Ia menjelaskan kebijakan fiskal, termasuk APBN, adalah sebuah pilihan. Juga bagian dari politik ekonomi, yang penuh dengan “judgement”.
“Karenanya, kita tidak boleh latah dan mudah menyalahkan pemerintah,” ujar SBY.
Ia mengaku, Demokrat juga mengerti kompleksitas dan dilema dalam mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran negara. Baik pusat maupun daerah. Terlebih jika ekonomi tengah mengalami tekanan seperti sekarang ini.
Namun, harus disadari dan diakui bahwa memang ada permasalahan dalam fiskal dan APBN. Pasar, baik domestik maupun internasional, juga mengetahui permasalahan ini.
Menurut SBY, permasalahan utama yang dihadapi adalah tidak tercapainya pendapatan negara dari sasaran yang ditetapkan. Penerimaan pajak jauh dari target.
Sampai bulan Oktober 2019, penerimaan pajak masih kurang Rp 559 triliun. Penerimaan pajak dan non pajak yang tidak mencapai sasaran ini pasti akan menambah angka defisit APBN.
“Terus terang, Demokrat mengamati sasaran belanja negara kita memang tergolong tinggi. Barangkali juga terlalu ekspansif, untuk ukuran ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi tekanan,” jelasnya.
“Persoalannya kemudian, dari mana kita menutup defisit APBN ini? Yang terlintas dan mudah tentulah, dengan cara menambah utang baru. Menambah utang baru memang dibenarkan dan bukan sebuah kesalahan. Namun, seberapa besar utang baru itu? Andai kata rasio utang terhadap PDB dianggap aman di angka 30%, meningkat sekitar 5% dari lima tahun yang lalu, untuk apa utang itu digunakan? Dapatkah dipastikan bahwa utang baru itu bermanfaat, produktif dan mampu menjaga pertumbuhan kita? Apalagi pasar tahu bahwa utang sejumlah BUMN untuk pembangunan infrastruktur juga meningkat sangat banyak,” tambah SBY.
Dalam kaitan ini, dengan niat yang baik, SBY mengingatkan agar pengelolaan fiskal dan penambahan utang baru ini benar-benar cermat dan tepat.
Ia juga menngngatkan, Indonesia juga menghadapi risiko ekonomi di tahun depan. Jika tekanan terhadap ekonomi cukup berat, maka risiko pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) sangat mungkin terjadi.
Persoalan menjadi serius jika stimulus fiskal dan moneter Indonesia juga terbatas dan tidak cukup menjaga agar ekonomi tetap aman.
Indonesia juga masih mengalami defisit transaksi berjalan, yang justru memerlukan “capital inflow” untuk menutupinya. Pemerintah tentu harus mencegah terjadinya pelemahan rupiah, jika risiko seperti ini betul-betul dihadapi.
“Mudah-mudahan tekanan eksternal tidak terlalu besar,” harap SBY.
Menurut dia, menambah utang baru tentu bukan satu-satunya pilihan. Memberikan beban kepada rakyat, utamanya golongan kurang mampu, untuk menambah penerimaan negara juga tidak bijaksana.
Sebaliknya, mengurangi atau menunda pembelanjaan pemerintah tidak tabu untuk dilakukan. Yang penting yang dikurangi, janganlah anggaran yang menyangkut hajat hidup rakyat, yang pokok. Kebijakan fiskal juga menyediakan ruang bagi kearifan dan kompromi, di samping pertimbangan yang rasional.
Isu kelima, lanjut SBY, adalah berkenaan dengan rencana pembangunan ibukota baru.
Ia menghargai inisiatif dan pemikiran Presiden Jokowi untuk membangun ibukota negara yang baru.
“Ketika Demokrat berada di pemerintahan, selaku Presiden saya juga pernah memikirkan untuk membangun pusat pemerintahan yang baru,” katanya.
Konsep SBY memang sedikit berbeda. Pusat pemerintahan baru yang dipikirkan dulu terletak di kawasan Jawa Barat, dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam menuju ke arah timur.
Konsep ini seperti yang dilakukan Malaysia, yang membangun Putra Jaya sebagai pusat pemerintahan baru, di luar Kuala Lumpur.
Setelah dipikirkan dan olah selama 2 tahun, rencana ini kemudian dibatalkan. Pertimbangannya waktu itu adalah anggaran yang sangat besar belum tersedia, sementara banyak sasaran pembangunan yang lebih mendesak.
Di samping itu, ada faktor lingkungan (amdal) yang tidak mendukung, yang tentu tidak boleh diabaikan.
Karenanya, Demokrat sangat mengerti jika Presiden Jokowi juga memiliki pemikiran yang sama. Beban Jakarta memang sudah terlalu berat, melebihi daya dukung yang dimilikinya.
“Yang ingin kami sampaikan hanya berkaitan dengan sumber daya, termasuk anggaran, yang diperlukan untuk membangun ibukota baru tersebut. Kami pelajari, dalam APBN 2020 belumsecaragamblangdan signifikan dicantumkan anggaran awal untuk pembangunannya,” terang SBY.
Ia yakin, pemerintah sangat tahu bahwa membangun sebuah ibukota hakikatnya adalah membangun kehidupan. Membangun sistem. Bukan sekadar membangun infrastruktur fisik.
Pembangunannya juga memerlukan biaya yang sangat besar dan jangka waktu yang tidak singkat.
Karenanya, ia mengingatkan agar perencanaan strategis pemerintah benar-benar disiapkan dengan seksama.
“Konsepnya seperti apa? Timeline-nya (jadwal pembangunannya) seperti apa? Berapa besar biaya yang digunakan? Darimana anggaran itu diperoleh? Apakah betul ada pemikiran untuk menjual aset-aset negara dan bahkan utang ke luar negeri untuk membiayainya?” tukas SBY.
Hal-hal inilah yang ingin didengar Demokrat. SBY pun yakin rakyat Indonesia juga ingin mendengar dan mengetahuinya.
“Banyak contoh di dunia, saudara- saudara, negara yang berhasil dan juga yang gagal dalam membangun ibukota yang baru. Tentu kita ingin menjadi negara yang berhasil dalam membangun ibukota baru ini,” tandasnya.
Dikatakan, di tengah perkembangan ekonomi global yang tidak menggembirakan, dan juga ekonomi Indonesia sendiri yang menghadapi tekanan, perencanaan dan kesiapan pemerintah harus paripurna. Memindahkan dan membangun ibukota baru adalah sebuah mega proyek. Tidak boleh meleset, harus sukses.
Meskipun tantangan di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat ke depan tidak ringan, SBY mengajak tidak boleh pesimistik, tetapi tetap optimistik.
SBY percaya pemerintahan Presiden Jokowi, dengan dukungan semua pihak, akan mampu mengatasi segala persoalan itu.
“Mari kita berikan kesempatan kepada pemerintah untuk menjalankan misinya,” ajak dia.
“Mengingat persoalan di bidang ekonomi cukup berat, janganlah dibebani dengan masalah-masalah lain yang tidak perlu. Pemerintah memerlukan stabilitas sosial dan stabilitas politik, agar pembangunan ekonomi berhasil dengan baik,” sambung SBY.
Kendati demikian, kata dia, untuk mengejar sasaran ekonomi, tidak berarti demokrasi, kebebasan dan kedaulatan rakyat dianggap tidak penting. Bangsa Indonesia, telah mematahkan mitos lama bahwa seolah harus memilih salah satu. Demokrasi atau ekonomi. Kebebasan atau keamanan.
Indonesia telah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan baik, tanpa meminggirkan demokrasi, kebebasan dan kedaulatan rakyat.
“Akhirnya, Demokrat mengucapkan selamat bertugas kepada Bapak Jokowi dan segenap jajaran pemerintah. Rakyat sangat berharap masa depan mereka lebih cerah. Keluarga besar Partai Demokrat juga mengucapkan selamat tahun baru kepada saudara-saudara kami rakyat Indonesia. Semoga Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi kita semua. Majulah dan jayalah Indonesia tercinta,” tutup SBY.
Penulis: Ardy Abba