*) Puisi-puisi Gusti Ginta
Natal (3 Bagian 1 Kejadian)
I
dureng tak hentinya merundung
manusia tiada berakhir tanpa murung
malam nampak begitu suram
langit dan bumi terdampak muram
dan saat itu akan tibalah yang terkatakan menurut kalam
langit yang hitam itu dikejutkan dengan dentuman
maka pecahlah kelamnya – sunyinya
seketika itu juga cerah mewarni
lalu kembali redup
gelap kembali katup
demikianlah tidak ada yang membekas langgeng dalam hidup
di tepi jalan berdiri sebuah pondok kecil
beberapa bocah tengil
menembakan meriam bambu sebagai bedil
gelegarnya membuat yang tua menjadi gusar
mengumpat kasar:
“ manusia buta, dasar tak tahu adat dan tak punya akil
kita sedang menyambut kegembiraan,
atau ada kematian yang sedang mereka siar?”
resahnya ditelan zaman dan segala ingar-bingar
lain malam lain juga siangnya
orang-orang berduyun-duyun
turun temurun
keluar- masuk toko perhiasan dan pakaian
berjubel tidak keruan
para pramuniaga basah merengat
oleh pelanggan dipaksa cepat
oleh pemilik toko terus saja diumpat:
“ gerak jangan lambat ya, harus semangat ya,
Tuhan mau lahir bawa berkat ya, pengunjung padat
rezeki meningkat, THR kalian dapat”.
satu persatu pakaian dicomot
dan berulang kali juga dicopot seraya sewot
“yang ini terlalu kecil untuk bodinya saya yang dongok,
yang ini juga terlalu melar untuk bodinya saya yang montok,
yang ini pas tapi eh warnanya terlalu mencolok,
nah ini yang cocok sambil putar melenggok,
tapi aduh tuhan ampun, harganya itu ka seperti mengolok
saya punya isi dompet, pret!”
demikianlah cara mereka menyambut
sedang dosa dan kesalahan tak begitu saja tertutup – terlucut
II
Saya telah melintasi semua benua
menelusuri terang dan gelap kota-kota
memasuki ruang sumpek dan mewah
tetapi sungguh tak ada satupun yang membuat Saya betah
Saya tidak ingin tiba di gedung yang berwarna putih
dengan pekerjanya yang berseragam putih bersih
di situ tidak ada bedanya tangisan kelahiran dan isak kematian yang sedih
Saya juga tidak ingin tiba di gedung tinggi yang megah
yang dijaga oleh banyak pihak keamanan
Saya takut dicurigai sebagai pembawa kecemasan dan ketakutan
di sana juga terlalu semarak, berjuta parfum merebak
pada mereka merindang semua kemewahan
tapi Bapa, lihatlah mereka yang ada di pedalaman
Saya ingin sekali hadir di tengah-tengah mereka
masuk ke dalam hening dan bening kampung mereka
menyalakan kembali lilin-lilin di Kapelanya yang sederhana
tanpa harus di jamu dengan daging berlapis-lapis
disuguhi dengan sopi yang berbaris-baris
III
penghuni kampung semuanya berkumpul
basah hujan telah lama mengering
asap-asap rokok menebal mengepul
tak terkecuali bangsa anjing semuanya bergeming
unggunan api menjulang terang
pelita dan petromaks terang remang
kaum perempuan hiruk dalam gamang
kaum lelaki khusyuk dalam sembahyang
bersabdalah mereka kepada para moyang:
putik bunga pada jagung
hendaklah ia berbuah
dara muda mengandung
lekaslah ia bersimbah
ketika seseorang akhirnya menyembul
pada dinding tombak dan parang dipukul
di luar berteriak: ata peang ko ata one?
Di dalam menjawab serempak: ata one.
lantas kemudian sebuah syair terlantun:
Suburlah saat hujan mengguyur
Menjalarlah saat panas menggugur
Tingginya bintang kau rangkul
Usianya bulan kau pikul.
Waso – Ruteng pekan ke dua bulan Desember 2019
Catatan: ata peang dan ata one adalah istilah yang dipakai oleh orang Manggarai saat ada peristiwa kelahiran. Sebagai bagian dari sistem patrilinieal, ata one ditujukan kepada bayi laki-laki dan ata peang ditujukan kepada bayi perempuan.
*Penulis: akrab dipanggil Gusti Ginta, bergelar Sarjana Hukum namun sastra telah merangkul jiwanya dalam menelusuri seluk-beluk, liku kehidupan. Baginya kepuitisan lahir dari refleksi atas kehidupan.