Oleh: Irvan K
2019 menjadi tahun yang berseliweran kata-kata. Hiruk pikuk Pemilu presiden dan DPR/DPRD menjadi penyulut utama pertarungan kata-kata yang menghiasi ruang publik.
Kata-kata, melansir adagium klasik, seperti pisau bermata dua. Bisa menghidupkan sekaligus mematikan, membangkitkan sekaligus menjatuhkan, menyatukan sekaligus membawa perpecahan.
Kuasa kata selama tahun 2019 semakin mengakar ketika didukung kepentingan dan sumber daya politik. Bagi politisi, hasrat mendapat kekuasaan tidak mempedulikan dampak kata-kata. Mereka akan terus ‘menembak’ jika kata-kata tersebut terbukti jitu mendulang suara.
Maka tak heran jika api kata-kata nyaris membakar Indonesia oleh kabar bohong dan ujaran kebencian yang bermuatan SARA. Indonesia babak-belur oleh perkelahian kata-kata yang tanpa makna, kata-kata sensasional yang mengandung kebencian dan ketakutan.
Tentu masih hangat dalam ingatan kita bagaimana perseteruan keras kubu cebong vs kampret yang merusak keharmonisan sosial. Masih hangat pula bagaimana kerasnya segmentasi sosial itu menjadi berangsur cair lewat kata-kata “rekonsilisasi” kedua kubu.
Dalam era digital ini, kata-kata makin tajam dalam mengubah persepsi dan perilaku karena didukung oleh revolusi digital di mana semua orang bisa menyampaikan ide dan gagasannya di ruang publik dan dapat disebarkan secara masif.
Media sosial pun menjadi ruang kesetaraan dalam berkomunikasi. Semua orang dengan berbagai latar belakang dapat menuangkan ide dan gagasanya secara terbuka dan bebas serta dapat berdiskusi maupun berdebat tanpa memandang level pendidikan.
Sayangnya, dalam era kesetaraan ini, komunikasi masih dominan berlaku linear atau satu arah. Pasokan informasi, ide maupun sudut pandang kebanyakan dipasok oleh dapur kekuasaan. Baik itu kekuasaan politik, maupun kekuasaan ekonomi.
Singkatnya, produk informasi dan pengetahuan dikendalikan oleh kepentingan elit. Sementara kebanyakan massa rakyat hanya menjadi peneriman pesan (receiver).
Alhasil, komunikasi yang terjadi bukan lagi membawa perubahaan sosial, melainkan kesenjangan sosial yang terus menganga. Elit makin sejahtera, rakyat miskin tetap miskin bahkan mungkin terus miskin.
Di NTT, arus kata-kata juga ikut meninabobokan khayalak ramai. Salah satu aktor yang belakangan selalu viral dengan pernyataannya yakni Gubernur NTT, Viktor Laiskodat.
Gubernur Viktor awalnya dinilai banyak kalangan sebagai sosok yang visioner, tegas, berani dan revolusioner. Bagaimana tidak, lewat kata-katanya ia tak segan mengancam mematahkan kaki penjual manusia, mencabut izin tambang, mengirim 10.000 anak NTT ke luar negeri dalam waktu lima tahun, menutup hotel dan area perbelanjaan yang dinilai merusak lingkungan.
Ia juga kerap mengutarakan ucapan dan kebijakan yang kontroversial seperti pelegalan miras, penutupan pulau Komodo, kerja sama dengan pemerintah Cina hingga pinjaman uang ke Bank NTT.
Namun belakangan, ucapan maupun kebijakan yang ia janjikan semasa kampanye sepertinya belum tampak terlihat bahkan makin tak terarah. Gubernur terkesan masih keasyikan bermain kata-kata ketimbang berbuat nyata. Sabda yang yang keluar dari setiap pidato dan ucapannya belum menjadi “daging kebijakan”.
Untuk itulah Pengamat Pertanian dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Ir Zet Malelak menilai Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor B Laiskodat gagal menjadi pemimpin di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini.
“Sudah setahun lebih Viktor Laiskodat pimpin NTT sebagai gubernur, namun semua program kerjanya, saya nilai tidak berjalan. Di sini, saya menilai Viktor Laiskodat gagal memimpin NTT,” kata Zet seperti dilansir dari Antara, Selasa (3/12/2019).
“Dan baru kali ini, Nusa Tenggara Timur dipimpin oleh pemimpin yang hanya bisa berwacana saja,” tambah Zet.
Masih dilansir dari Antara, hal senada juga diungkapkan Pengamat Politik dari Universitas Nusa Cendana, Lasarus Jehamat.
Jehamat menilai Gubernur Viktor belum fokus melaksanakan program kerja pembangunan setelah satu tahun kepemimpinan.
“Belum terlihat ada perubahan yang signifikan terhadap pembangunan NTT dalam satu tahun kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur NTT. Rencana pinjaman dana dari China untuk pembangunan jalan provinsi juga masih sebatas narasi,” kata Jehamat.
Pandangan kedua pengamat di atas mestinya harus direfleksikan secara dalam oleh gubernur dan wakil gubernur NTT. Baik Zet maupun Jehamat sebenarnya ingin mengingatkan Gubernur dan wakilnya agar tidak larut dalam kata-kata tanpa makna.
Jangan sampai waktu lima tahun ke depan hanya dihabiskan dengan bersenandung di atas tumpukan masalah yang menjerat NTT.
Tantangan Pariwisata NTT
Pariwisata sebagai leading sektor merupakan salah satu mimpi utama Gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Pembangunan Pariwisata diyakini dapat menggerakan sektor krusial lain yang dapat menambah income bagi rakyat.
Namun, siap atau tidak, tantangan yang sedang menanti di depan mata ialah revolusi industri pariwisata 4.0 yang mulai masuk ke NTT.
Pernahkah pemerintah NTT membayangkan touring guide digantikan guide berbasis aplikasi, penjual sovenir pariwisata digantikan toko online, pasukan kuning kebersihan digantikan tempat sampah pintar, layanan resepsionis perhotelan digantikan robot, robot pembersih lantai yang disediakan di tempat-tempat umum, layanan parkir valet menggunakan robot otonom yang menerbangkan mobil ke tempat parkir, dan lain-lain?
Ketika revolusi 4.0 mendarat secara sempurna di NTT, otomatisasi dari hulu ke hilir bisnis pariwisata yang dikenal padat karya pasti akan habis dirambahnya. Fungsi guide akan diganti aplikasi di mana peta penuntun, narasi, sampai sovenir khas sebuah destinasi dapat diakses dan dibelanjakan dari ponsel pintar.
Kita tidak perlu terkejut dengan fenomena ini karena di beberapa kota di Indonesia sudah mulai diterapkan. Aplikasi Siji AR misalnya, hadir sebagai pengganti tour guide untuk semua museum di Indonesia. Begitu pula Aplikasi Mobile Tourism Guide di Kota Malang dan Kota Batu.
Di Bali, Aplikasi Bali Tour Guide sudah dikembangkan untuk perangkat android yang memberikan informasi mengenai objek-objek wisata di pulau Bali. Itu semua merupakan bentuk sentuhan revolusi industri 4.0 di bidang tour guide yang telah nyata hadir di depan mata kita. Hanya bermodal internet, big data dan kecerdasan artifisial semua urusan dapat dibereskan tanpa menggunakan tenaga manusia.
Itu artinya, tantangan besar kita ialah bagaimana memberdayakan manusia NTT untuk dapat menghadapi serta memanfaatkan peluang revolusi industri 4.0 di bidang pariwisata.
Sudah saatnya kita harus bangun dari tidur panjang. Sudah saatnya kata-kata bombastis dan janji-janji manis berhenti diucapkan. NTT tidak butuh kata-kata lagi. Kita butuh tindakan yang sistematis dan strategis.
Untuk itu, mau tidak mau Gubernur Viktor sebagai nahkoda NTT pertama-tama harus mampu menaklukkan kata-katanya sendiri. Ia harus menjadi pemenang atas perkataannya dengan bukti nyata yang terasa.
Menaklukkan kata-kata juga berarti menaklukkan diri dari godaan kekuasaan. Salah satunya adalah ketenaran.
Persiapkan Generasi Muda
Pembangunan NTT khususnya di bidang pariwisata mesti dikuasai generasi milenial. Mengapa? Sebab mereka sangat dekat bahkan lekat dengan perkembangan teknologi.
Generasi milenial NTT harus segera diinvestasikan lewat berbagai pelatihan, pendidikan dan pendampingan yang mampu menjawabi kebutuhan pariwisata pada masa yang akan datang khususnya dalam menciptakan startup, unicorn bahkan decacorn di bidang pariwisata.
Selain memanfaatkan Balai Latihan Kerja (BLK), Pemprop NTT sebagaimana dijanjikan Gubernur Viktor Laiskodat, harus segera mengirim anak muda NTT yang berbakat dalam bidang komputer, technopreneurship, industrial robotic design, mobile application and technology, bioinformatika, agroekoteknologi, manajemen pariwisata, desain komunikasi visual dan bidang-bidang pendukung revolusi industri pariwisata 4.0 lainnya.
Jika semua soft skill dan pengetahuan ini tidak dipersiapakan sejak dini, niscaya orang NTT akan selamanya menjadi tamu di negerinya sendiri. Menjadi penonton dari gemerlapan bisnis pariwisata pada masa yang akan datang.***