Oleh: Ferdy Hasiman*
Presiden Joko Widodo membangun Labuan Bajo seperti pemilik waralawaba cepat saji, Dick dan Mac Donald membangun kerajaan bisnis di awal karier mereka. Ada sebuah cerita, Dick dan Mac Donald pernah melihat seekor lalat hinggap dan terbang dalam ruang makan waralaba McDonald’s. Dick dan Mac Donald kemudian memerintahkan semua pekerja mengejar lalat itu sampai dapat dan membuangnya di tempat sampah.
Lalat bagi dua pemilik itu merusak citra dan brand McDonalds yang hendak dibangun sebagai waralaba yang bersih dan bebas kotoran. Mereka ingin konsumen datang karena waralaba ini dikenal bersih dan bebas kotoran.
Meskipun belakangan menjadi kotor, setelah beralih kepemilikan ke Ray Krock. Namun, konsumen sudah terlanjur mencintai McDonald’s sebagai waralaba cepat saji terlaris. McDonald’s kemudian menjadi raksasa waralaba dunia dengan kapitalisasi pasar sebesar US$150,6 miliar atau Rp2.121 triliun.
Jokowi hampir mirip mind-setnya seperti Dick dan Mac Donald membangun Mabar. Dalam kunjungannya pekan ini, Jokowi mengatakan, menjadikan Labuan Bajo sebagai wisata Super Premium. Entahlah apa pengertian dan untuk siapa wisata Super Premium. Jika untuk rakyat, Jokowi seharusnya mulai periksa tingkat konsumsi atau pendapatan per kapita Manggarai Barat. Jokowi juga perlu memeriksa berapa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata.
Selain itu, Jokowi bisa memeriksa apakah sayur-sayuran atau konsumsi hotel berasal dari pertanian Mabar dan bagaimana pertanian di Mabar itu berkembang, sehingga menjadi penyangga pariwisata. Jangan sampai ada mata rantai yang terputus antara gemerlapan bisnis pariwisata dengan masyarakat Mabar. Pertanian seharusnya menjadi titik temu antara kepentingan elit pariwisata dan kepentingan rakyat Mabar dan NTT umumnya yang sebagian besar adalah petani.
Persoalan berikutnya, apakah pariwisata Super Premium itu mau menaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) atau menaikan tarif bagi orang-orang yang minikmati dive dan beberapa pulau-pulau di Labuan Bajo. Belum ada yang paham. Hanya Jokowi dan elit-elitnya (menteri Pariwisata, Menko Kemaritiman dan orang-orang di lingkaran istana ) yang paham. Apakah pariwisata Premium versi Jokowi berbeda dengan 9 destinasi wisata lainnya di Indonesia. Yang masuk ke Labuan Bajo hanya orang-orang berduit. Yang tak memiliki uang harus minggir.
Jokowi kemudian menaikan level pariwisata Labuan Bajo dengan jalan membangun branding, membangun infrastruktur fisik, meskipun banyak wisatawan mancanegara berkunjung ke Labuan Bajo karena alam yang masih asri. Dengan pariwisata Super Premium, hotel-hotel mewah dan resort-resort terbaik di bangun di Labuan Bajo, meskipun banyak juga wisatawan yang tidak suka menginap di hotel mewah.
Untuk membangun wisata Premium, Jokowi mengatakan, segera melakukan penanganan sampah di kota Labuan Bajo dan Pulau-Pulau di Labuan Bajo. Sampah di laut, kata Jokowi, akan dikirim kapal untuk membersihkan dan mulai Februari nanti akan bergerak ke bawah laut untuk membersihkan sampah. Di Darat itu nantinya akan menjadi tugas Kementerian Pekerjaan Umum.
Ide bagus tentu untuk pariwisata ke depan, karena harus bersih dan lingkungan harus terjaga. Tetapi saya kesampingkan gagasan mulia Jokowi itu. Saya memilih untuk curiga, karena republik ini penuh dengan permainan elit. Setelah mengontrol dan memonopoli Sumber Daya Alam (SDA) di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Papua, elit-elit bisnis-politik ini berkoalisi membangun lahan bersama mengakumulasi modal.
Pariwisata Labuan Bajo adalah pesona dan surga wisata baru yang akan menjadi bancakan elit. Elit-elit bisnis dan juga para menteri era Jokowi tak ketinggalan membeli lahan di Labuan Bajo. Masalah pertanahan pun hanya menunggu bom waktu. Jokowi menenangkan rakyat Mabar dengan membagi sertifikat gratis, khas gaya pencitraan. Pertanyaan kunci masih belum dijawab apa dan untuk siapa sebenarnya Pariwisata Super Premium ini?
Jika untuk rakyat Manggarai Barat yang miskin dengan pendapatan per kapita Rp 12.000.000/tahun atau Rp 1 juta per bulan, tentu sangat bagus. Mudah-mudahan, pelaku-pelaku pariwisata lokal (pemilik hotel mini, pemandu wisata, pemilik kapal) pendapatannya lebih besar lagi dan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Mabar bisa naik 50 persen karena PAD bisa meningkat.
Mudah-mudahan dengan pariwisata Super Premium, pendapatan petani dan nelayan Mabar bisa meningkat tajam, karena hotel-hotel dan resort super mewah di Labuan Bajo bisa membeli barang konsumsi dengan local content di atas 70 persen.
Jika pendapatan rakyat meningkat, saya angkat jempol buat Jokowi sebagai Presiden WONG CILIK, karena faktanya tingkat pendidikan rakyat Mabar MASIH SANGAT RENDAH.
Data BPS Manggarai Barat tahun 2019, tingkat pendidikan terhitung sangat rendah. Angka penduduk 15 tahun ke atas yang berpendidikan. Yang tidak berijazah 17.46 persen, ijazah SD/sederajat 41.88 persen, SMP 17.6 persen, SMA ke atas sebesar 23 persen.
Ini menunjukan angka SDM Mabar masih sangat rendah. Problemnya, Jokowi tidak pernah satu katapun bicara soal kondisi rill masyarakat Manggarai Barat. Apakah pariwisata Super Premium ini untuk rakyat?
Saya mencermati isi kepala Jokowi dengan pariwisata Super Premium memakai cara pandang kelompok pengusaha pro-pasar, kelompok kapitalis atau kelas borjuasi. Kelompok borjuasi di lingkaran Istana ini banyak, mereka menyebar mulai dari KSP sampai menteri-menteri negara.
Jokowi kemudian tergoda membranding pariwisata Labuan Bajo sebagai Pariwisata Super Premium hanya untuk menambah DEVISA NEGARA yang saat ini sedang tekor karena impor migas besar, impor bawang, cabai, kedelai karena salah urus.
Devisa dari pariwisata Super Premium itu nanti masuk ke kantong pemerintah pusat. Dan sekali lagi, Jokowi ingin mengandalkan investor besar membangun negeri ini. Ini seperti yang dilakukan penguasa Orde Baru, mengakselerasi pembangunan dan stabilitas ekonomi melalui kelompok oligarki kaya, karena hanya dengan uang mereka negeri ini bisa bangkit dari keterpurukan. Itu yang mau dibangun Jokowi dengan Pariwisata Labuan Bajo.
Kita bangga dengan pariwisata Super Premium Jokowi itu? Kapitalisme itu memang sering menawarkan kebanggaan semu. Yang penting kita memiliki pariwisata premium, peduli amat, apakah pariwisata premium itu membuat kita sejahtera, itu urusan lain. Yang penting kita punya branding, Super Premium.
Jokowi kemudian tak lebih sebagai kaki tangan kelompok kaya, kaum kapitalis, elit borjuasi. Kapitalisme memang tak bisa berekspansi tanpa ada tangan negara yang membantu. Negara itu selalu mengatakan, perizinan harus dipermudah, regulasi dibikin sederhana, toh kelak investasi itu bisa membawa rakyat Mabar sejahtera.
Itulah mengapa negara disebut sebagai centeng, karena kerap menjadi kaki tangan elit bisnis. Sampai di sini, kita boleh menjawab, pariwisata Super Premium Jokowi itu sebenarnya untuk siapa?
Pariwisata Super Premium hanya untuk elit-elit kaya. Elit itu termasuk pengusaha dan elit-elit politik yang bercokol di lingkaran Jokowi. Mereka perlahan-lahan mengkapling lahan-lahan di Labuan Bajo untuk membangun hotel Bintang Lima, resort-resort mewah, mereka mengkapling Pulau-pulau nan indah hanya untuk kepentingan pribadi.
Lihat saja, hotel-hotel mewah di Labuan Bajo, berjejer mulai dari Pantai Pede (Luwansa, La Prima), Hotel Ayanan, Sylvia, Plataran Komodo dan tentu masih banyak hotel berbintang lainnya yang akan menyusul.
Mereka memiliki modal besar, memiliki daya tawar meminjam ke investment bank untuk pendanaan. Kekuatan finansial pelaku pariwisata lokal tentu tak sanggup berkompetisi. Pengusaha-pengusaha kaya yang sudah mengkapling lahan ini kemudian mulai melakukan valuasi aset, menaikan nilai aset, apalagi kalau hotelnya dibangun di bibir pantai seperti hotel Ayana, harga kamar hotel pasti tervaluasi naik tajam, karena mengandalkan view dan branding pinggiran pantai. Elit-elit bisnis ini kemudian terkonsolidasi satu sama lain dan memiliki cara paling ampuh menawarkan paket wisata kepada wisatawan. Sasaran mereka tentu wisatawan kaya raya.
Wisatawan-wisatawan kaya kemudian ke Labuan Bajo nginap di Ayana atau Plataran. Mereka sudah membeli kamar hotel melalui online, sudah pesan dari Jakarta, uangnnya langsung masuk ke kantong induk usaha. Sampai di Bandara Komodo, tamu-tamu hotel dijemput dan diantar oleh transportasi hotel. Sampai di hotel mereka sudah disiapkan restaurant. Di Ayana ada tiga restoran mewah dengan harga minimal 380.00 per kepala. Wisatawan kemudian ke pulau-pulau dan sudah disediakan kapal oleh pihak hotel dan uangnya tidak pernah mengucur ke luar hotel.
Dari rantai bisnis yang dibangun Ayana misalnya, kita bisa membayangkan, apakah transportasi umum dan tour guide dan juragan kapal di Labuan Bajo mendapat kucuran berkah? Konsumsi mereka juga sudah disediakan hotel. Hotel tak menginginkan para tamu susah payah mencari makan-minum di Labuan Bajo.
Ini tentu berimplikasi pada tak meningkatnya konsumsi Manggarai Barat. Bayangkan saja, jika lima atau sepuluh tahun ke depan, sudah banyak hotel seperti Ayana, Plataran dan lainnya yang menawarkan kemudian tersendiri bagi para tamu.
Beruntung jika Bupati dan Wakil bupatinya jeli. Jika bupati dan wakil jeli, seharusnya bertanya, apakah izin hotel-hotel seperti Ayana ini hanya izin mendirikan hotel atau di dalamnya termasuk izin membuka restaurant, izin jasa angkut penumpang baik kapal maupun transportasi Bandara. Yang perlu juga menjadi perhatian adalah dunia korporasi sekarang begitu canggih. Bisa saja, hotel-hotel mewah beralibi, kami sudah membayar pajak di induk usaha yang berlokasi di Jakarta. Mereka katakan, kami tak memiliki kewajiban lagi membayar pajak ganda ke daerah, karena pajak sudah terkonsolidasi di induk usaha, seperti yang terjadi dalam kasus perbedaan penafsiran pajak antara Dirjen pajak dengan PT Asian Agri (milik Soekanto Tanoto).
Asian Agria mengatakan, pajak hanya dibayar oleh induk, sementara anak usaha yang bertebaran di daerah sebennyak 14 perusahaan bebas bayar pajak. Bisa jadi manuver seperti ini terjadi dengan banyak hotel mewah yang sudah terknsolidasi dengan induk di Labuan Bajo. Jika jeli, paling kurang Mabar bisa memiliki dana lebih dari penarikan pajak atau bentuk tarif lainnya itu. Tetapi, jika bupatinya seperti Agustinus Dulla dan Maria Geong, selamat jalan saja Mabar, pariwisata super premium hanya menguntungkan elit Jakarta saja.
Lonceng Kematian
Pariwisata Super Premium adalah lonceng kematian ekonomi lokal di Mabar. Jika pelaku ekonomi lokal tak ditopang kebijakan daerah yang mumpuni, siap-siap saja kalah bersaing dengan pelaku besar yang memiliki kemampuan finansial besar dan mampu mendikte pasar dan mendikte kebijakan negara. DPRD dan pemerintah daerah harus mampu membaca peluang, membuat peraturan daerah perlindungan terhadap usaha lokal, penggunaan local content.
Jika itu tak ada, logika kapitalisme dan pasar akan berjalan. Pasar itu berayun laksana cemeti, menumbuk seperti hukum gravitasi, menindih, saling tarung. Yang memiliki modal besar akan menang dan yang modal tipis akan kalah. Pelaku pariwisata yang bermodal besar pasti tak mau kalah dengan Ayana dan Plataran, mereka berusaha bersaing dengan dua hotel besar itu dan membangun hotel lebih berkelas lagi. Menawarkan pelayanan-pelayanan yang memudahkan konsumsen dan para tamu. Hotel-hotel kecil perlahan akan tersingkir. Yang bertarung hanyalah hotel bermodal besar dan mereka lah yang akan menjadi pemenang dari wisata Premium Jokowi. Semoga Mabar bukan Menjadi Pihak Yang Kalah!
*Ferdy Hasiman adalah Peneliti Alpha Research Database, Indonesia, penulis buku “Freeport: bisnis orang kuat vs kedaulatan negara”