*Oleh: Ardy Abba
Presiden Joko Widodo bersama sejumlah Menteri mengunjungi Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 19-21 Januari 2020.
Orang nomor 1 di Indonesia itu membawa beragam agenda ke Labuan Bajo. Agenda-agenda itu seperti, meninjau kawasan Puncak Waringin. Selain itu, membagikan ribuan sertifikat tanah kepada masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat, dan sejumlah agenda lain.
Ruang digital pun membanjiri pemberitaan tentang kunjungannya ke kota pariwisata super- premium itu. Hal ini tentu tak bisa bantah. Bagaimana tidak, rilis Humas Presiden berseliweran di group jurnalis. Latar belakang rupa Jokowi di berbagai rilis itu juga menarik perhatian dengan menampilkan landscape keindahan Kota Labuan Bajo.
Sesaat setelah Presiden Jokowi kembali ke Jakarta, jejak digital pun makin riuh dan seolah “membunuh” traffic pembaca terkait agenda kunjungannya di kota ujung barat Pulau Flores itu.
Di media dalam jaringan (daring) siklus pembaca mulai berubah. Di ruang media sosial pun demikian. Hampir semua topik isu dan pembicaraan berubah ke sebuah pristiwa tragis tentang tenggelamnya kapal Plataran Pinisi Bali di Perairan Labuan Bajo.
Pristiwa ini terjadi di hari yang sama saat Jokowi dan rombongannya meninggalkan Kota Labuan Bajo. Beberapa wartawan Istana Kepresidenan yang sengaja datang meliput kunjungan Jokowi menjadi korban tenggelamnya kapal Plataran Pinisi Bali.
Alih-alih melihat keindahan Pulau Bidadari, para wartawan ini memilih tidak mengikuti Jokowi kembali ke Jakarta. Saat Jokowi ke Bandara Komodo, mereka malah ke Pelabuhan untuk selanjutnya ke Pulau Bidadari.
Bagaimana tidak diburu para wartawan Istana itu, Pulau Bidadari memang kerap memanjakan mata para wisatawan. Panorama pasir putih nan kemilau menjadi salah satu daya tarik untuk pulau yang satu ini.
Selain itu, pulau dengan luasnya sekitar 15,4 hektare itu sangat dekat dari Kota Labuan Bajo. Hanya menghabiskan sekitar 15-20 menit saja dengan perahu motor cepat dari kota itu.
Saat pergi, cuaca bersahabat dengan hasrat para wartawan Istana untuk menyantap kepermaian alam Pulau Bidadari. Namun saat pulang sial muncul dan hampir merenggut nyawa mereka.
Kapal Plataran Pinisi Bali yang mereka tumpangi tenggelam setelah diterjang ombak tinggi di sekitar Pulau Bidadari. Beruntung tak ada korban jiwa dalam kecelakaan laut tunggal tersebut. Para wartawan selamat, termasuk Anak Buah Kapal (ABK).
Beragam spekulasi di balik insiden tersebut perlahan menemukan titik terang pasca Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin mengirim rilis resmi ke sejumlah juru warta.
Dari rilis yang dikirim, Bey menyebut insiden yang boleh dialami para wartawan Istana di luar agenda Kepresidenan. Presiden balik Jakarta, mereka malah memilih ke Pulau Bidadari.
Tak hanya itu, Bey mengaku kapal Plataran Pinisi Bali sehari sebelum tenggelam pernah digunakan oleh dua pejabat penting Negara saat berada di Labuan Bajo. Mereka ialah Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Arus isu miring kian berkembang bagai amukan badai, setelah Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Barat Agustinus Rinus mengendus aspek lain.
Baca: Fakta-fakta Tenggelamnya Kapal Plataran Pinisi Bali di Labuan Bajo
Endusan pernyataan Rinus tampak sudah liar dan bergemuruh di jagat massa setelah ia mengambil haluan lain dari yang lain di balik insiden tenggelamnya kapal Plataran Pinisi Bali. Pernyataanya memorak-porandakan ruang digital.
Rinus mengungkapkan, dokumen Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) dari kapal tersebut sudah mati tahun 2015 lalu.
Lantas bagaimana kapal ini bisa beroperasi tanpa TDUP? Bukankah salah satu agenda Jokowi ke Labuan Bajo yakni mengecek kelaikan kapal wisata? Mengapa pula kapal Plataran Pinisi Bali yang tenggelam itu luput dari pengecekan Jokowi? Padahal, selama berada di Labuan Bajo, ia menginap di Plataran Komodo Resort yang kabarnya adalah pemilik kapal Plataran Pinisi Bali yang tenggelam itu.
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul menyeruak bak air mendidih di tengah publik. Menarik untuk diperhatikan, kapal yang diduga ilegal/ tidak memiliki TPUD itu pernah digunakan pejabat Negara yaitu dua Menteri Jokowi, Erick Tohir dan Siti Nurbaya.
Baca: Dua Menteri Jokowi Gunakan Kapal yang Diduga Ilegal Saat Berada di Labuan Bajo
Padahal, TPUD menjadi salah satu persyaratan administrasi yang mutlak dimiliki, jika berusaha di bidang pariwisata.
Jenis perizinan berusaha sektor pariwisata terdiri atas, a. Izin Usaha, berupa TDUP; dan, b. Izin Komersial atau Operasional, berupa Sertifikat Usaha Pariwisata.
Dasar hukum TDUP adalah Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menegaskan bahwa untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya kepada pemerintah atau pemerintah daerah.
Jika kapal ini benar-benar tidak memiliki TDUP, maka sebagai masyarakat awam tentu patut melayangkan keraguan tentang standar pelayanan pejabat Negara di era Jokowi.
Sejauh ini memang, pihak Plataran Komodo Resort belum menyampaikan klarifikasi resmi di balik pernyataan Kadis Agustinus. Beberapa hari lalu, saat para awak media lokal hendak meliput korban tenggelam kapal, pihak Plataran Komodo Resort tidak mengizinkan.
“Maaf pak tidak bisa masuk. Ini sesuai perintah HRD,” ujar seorang security kepada sejumlah awak media lokal pada Selasa (21/01/2020), sebagaimana dilansir Floreseditorial.com.
Masukan untuk Kraeng Jokowi
Teman saya di kampung ikut menyantap hidangan pemberitaan terkait kunjungan Jokowi ke Labuan Bajo. Ia juga turut mengosumsi pemberitaan media daring terkait insiden tenggelamnya kapal Plataran Pinisi Bali, termasuk dugaan tidak memiliki dokumen TDUP dari kapal tersebut.
Teman itu lalu merespon “ini juga masukan untuk Kraeng Jokowi”. Saya sengaja memasukan responnya dalam tulisan ini.
Zaman dahulu kata “kraeng” kerap diucapkan oleh orang Manggarai. Di tanah “Nuca Lale” ini “kraeng” merupakan sebutan untuk orang kalangan atas dalam strata sosial masyarakat Manggarai.
Nah, teman saya itu menempatkan Jokowi sebagai orang kalangan atas. Saya pun setuju, sebab dia Presiden. Orang nomor 1 di Indonesia.
Tidak sedang melokalisasi keberadaan Jokowi. Namun, Labuan Bajo daerah yang sedang diperjuangkannya menjadi destinasi wisata super-prioritas itu ada di Manggarai bagian barat.
Ya, mimpi Jokowi untuk pembangunan tanah Manggarai Barat memang besar. Ia ingin daerah yang berhabitat kadal raksasa Komodo itu menjadi daerah pariwisata super-premium.
Jokowi berkomitmen membenah Labuan Bajo sebagai destinasi super-premium mulai awal tahun 2020 ini.
Kader PDIP itu menginginkan setiap wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo mengeluarkan biaya yang mahal. Ia juga menginginkan harus ada diferensiasi antara destinasi wisata Labuan Bajo dengan daerah lainnya.
Banyak hal yang rencananya akan dibenah oleh Kepala Negara untuk menunjang Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super-premium. Keseriusan Pemerintah Pusat untuk membangun Labuan Bajo rupanya tidak main-main. Buktinya, pada tahun anggaran 2020, Pemerintah Pusat melalui Kementerian/Lembaga menggelontorkan anggaran sebesar Rp 1,7 Triliun untuk destinasi pariwisata super-prioritas Labuan Bajo.
Di balik dugaan Kadis Agustinus, tentu menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh Kraeng Jokowi dan jajarannya. Kraeng Jokowi harus sadar bahwa ada banyak usaha pariwisata yang bermasalah karena tidak beresnya administrasi. Ketidakberesan administrasi tentu saja dapat mengganggu kelancaran kegiatan di dalam usaha pariwisata.
Masalah administrasi usaha tidak dapat diabaikan begitu saja dalam rangka pengembangan pariwisata super-prioritas Labuan Bajo. Berharap pristiwa ini menjadi masukan berharga untuk Kraeng Jokowi dalam menata Labuan Bajo ke depannya.