Oleh: Rio Nanto
Ketua Senat Mahasiswa STFK Ledalero
Bunuh diri kembali menjadi salah satu topik hangat dalam ruang publik Nusa Tenggara Timur dan di Manggarai pada khususnya. Tindakan mengakhiri hidup nyaris menjadi salah satu kenyataan yang paling fenomenal. Sebanyak 19 kasus bunuh diri terjadi di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2019. Jumlah itu diketahui meningkat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 hanya terdapat 11 kasus bunuh diri (VOX NTT, 21/12/2019).
Kasus bunuh diri tersebut bisa dilatarbelakangi oleh beragam faktor seperti ekonomi, gangguan kejiwaan, kegagalan dalam percintaan, kehilangan cinta dari keluarga, dan korban indoktrinasi ideologis. Pelaku bunuh diri kehilangan keseimbangan untuk mempertahankan kehidupan dengan pelbagai kompleksitas permasalahan di dalamnya.
Selain faktor tersebut di atas, akar ontologis bunuh diri adalah konsep dan pemahaman pelaku akan esensi diri sendiri. Hal ini beralasan karena hampir seluruh bangunan kepribadian seseorang ditentukan oleh cara pandangnya terhadap diri sendiri.
Tulisan ini mencoba menelisik cara pandang baru tentang penyebab bunuh diri. Penulis akan membaca bunuh diri sebagai bentuk kematian rasio dan ketakutan akan diri sendiri. Kedua faktor internal ini tidak terlepas juga faktor eksternal seperti perkembangan teknologi dan arus informasi yang menuntut setiap orang untuk selalu berinovasi dan berkompetisi.
Menurut Encyclopedia of Sociology, dalam bahasa Inggris bunuh diri disebut juga Suicide, tetapi sebenarnya kata ini berasal dari bahasa Latin, yaitu sui yang artinya diri sendiri dan cide yang berarti membunuh.
Bunuh diri berarti tindakan untuk mencabut nyawa sendiri dengan pelbagai macam cara seperti menggantung diri, meneguk racun, memotong urat nadi atau mengonsumsi obat dalam dosis yang tinggi.
Dalam perspektif moral Kant, manusia perlu menghargai diri karena berharga dalam dirinya sendiri. Dalam salah satu maksimnya, Kant menjelaskan manusia harus memperlakukan kemanusiaan baik itu dalam diri sendiri maupun dalam diri orang lain selalu sebagai tujuan. Tujuan di sini bukanlah tujuan subjektif yang ditentukan semata-mata oleh keinginan orang bersangkutan.
Tujuan dalam imperatif kategoris itu termaktub dalam tujuan objektif yaitu tujuan pada dirinya sendiri. Manusia harus memperlakukan diri sendiri sebagai bukan hanya mempertahankan diri agar tak melakukan yang buruk, melainkan menghasilkan buah dengan bertindak baik. Kekhasan itu menuntut manusia untuk mengapresiasi diri sendiri sebagai bentuk kewajiban moral. Kewajiban itu hanya bisa dipenuhi dalam kebebasan.
Paham kebebasan dalam diri manusia bukanlah sebuah kebebasan yang mutlak. Manusia secara personal tidak pernah menghendaki kehadirannya di dunia dalam tempat dan waktu tertentu. Dalam term filosofis disebut faktisitas, artinya kenyataan bahwa manusia hadir di dunia tak pernah diketahuinya secara pribadi. Manusia baru menyadari kehadirannya setelah ia ada di dunia.
Martin Heidegger, filsuf kenamaan Jerman dalam bukunya berjudul Sein und Zeit (ada dan waktu) menyebut kenyataan tersebut sebagai ‘keterlemparan’ (gowerfenheit). Hal yang sama juga berlaku dalam penentuan kematian seseorang. Kebebasan manusia tidak absolut untuk menentukan kematian dirinya sendiri.
Kematian manusia ditentukan oleh kekuatan lain yang melampaui dirinya. Kewajiban manusia hanyalah memelihara, menjaga dan merawat kehidupannya sendiri. Pelaksanaan kewajiban moral bersifat membebaskan karena menyempurnakan manusia sebagai pribadi. Kewajiban itu berhubungan dengan humanisasi seseorang.
Kewajiban moral individu dan pemahamannya tentang diri dalam kebebasannya mengandaikan postulat rasio untuk mempertanggungjawabkan (Verantwortung) secara kritis kewajiban moral tersebut. Pelaku harus mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan hati nuraninya, di hadapan orang lain dan Tuhan.
Urgensi rasio yang berpangkal pada pemahaman dasariah mendahului tindakan moral. Oleh karena itu, rasio menjadi suatu kemustahilan dalam mengimplementasikan kewajiban moral. Rasio ini mengikuti kaca mata Habermas dalam The Philosophical Discourse of Modernity, disebut sebagai rasio yang berpusat pada subjek. Rasio subjek manusia mendasari kewajiban moral.
Faktum bunuh diri dalam perspektif moral dan filosofis menegasikan peran rasio tersebut. Korban menyangkal peran rasio untuk mempertimbangkan tindakan moral bagi diri sendiri dan orang lain. Kealpaan daya kritis ini merevisi nalar Hobbesian “bukan menjadi serigala bagi orang lain tetapi menjadi serigala bagi diri sendiri”.
Manusia mencabik kemanusiaan dalam dirinya sendiri sebagai bentuk adorasi terhadap kompleksitas hidup di dunia. Manusia menjadi pembunuh bagi dirinya. Bagi Heiddeger, pembunuhan diri ini adalah produk substitusi manusia sebagai homo sapiens menjadi homo brutalis.
Ketakutan Akan Diri Sendiri (Autofobia)
Kealpaan korban bunuh diri untuk berpikir kritis bersumber dari ketakutan atau kecemasan yang mendalam akan diri sendiri. Semua manusia mampu berpikir kritis dalam mempertimbangkan kebaikan dan keburukan, tetapi ketakutan akan diri sendiri membuat manusia menjadi buta akan pertimbangan rasional.
Hal ini terjadi karena manusia seringkali mengkomparasikan dirinya dengan orang lain serta merumuskan tujuan hidup yang kurang realistis. Dalam psikologi fenomena ini termaktub dalam perfeksionisme.
Perfeksionisme sudah lama mendapat sorotan akademik di Barat sebagai salah konstruk yang terkait dengan berbagai gejala psikologis negatif. Meski demikian, perfeksionisme belum banyak diteliti di Indonesia.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perfeksionisme merupakan hasrat untuk menetapkan dan mencapai standar-standar diri dan keberhasilan yang amat tinggi.
Dalam hubungannya dengan kesehatan mental, perfeksionisme dapat menjadi sifat yang adaptif dan mendorong seorang individu untuk mencapai prestasi tinggi. Parker dan Adkins menulis bahwa atlet-atlet profesional tidak akan bisa berhasil tanpa hasrat yang kuat untuk mencapai standar performa yang amat tinggi.
Di sisi lain, perfeksionisme juga dapat menjadi maladaptif, misalnya apabila standar-standar ini begitu tinggi sehingga individu hampir selalu merasa gagal dalam melakukan sesuatu. Sifat ganda ini sudah lama diperhatikan oleh beberapa teoretisi psikologi. Adle misalnya, mengatakan bahwa perfeksionisme merupakan aspek perkembangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai tujuan atau goals. Karena itu, orang akan merasa rendah diri, malu, depresi karena tidak mampu menjangkau tujuan yang terlampau tinggi.
Perbedaan antara harapan dan kenyataan menjadi semakin kuat berhadapan dengan perkembangan dunia modern yang menuntut orang untuk berkompetisi dan berinovasi. Kehidupan modern yang menuntut kecepatan dan ketepatan selain membawa keuntungan dalam multiaspek kehidupan serentak menyeret pengaruh negatif bagi manusia yang kurang bijaksana dalam menghadapinya. Perkembangan modern yang membuat dunia menjadi kampung global dalam tesis Marshall McLuhan membawa implikasi yang buruk bagi sekelompok orang yang tidak mampu menghadapinya.
Perkembangan teknologi membuat orang yang tidak mampu menghadapinya menderita ‘kesepian’ dan mengidap ‘rendah diri’. Perasaan negatif ini terjadi ketika orang tidak mampu hidup dalam standar-standar yang ditetapkan oleh perubahan teknologi.
Dalam kajian Hannah Arendt, fenomena ini adalah salah satu patologi masyarakat modern. Patologi itu bernama perasaan ditinggalkan (Gefuehl der Verlasssenheit). Perasaan itu muncul ketika manusia tidak mampu beradabtasi dengan gaya hidup modern.
Perasaan ditinggalkan membuat orang tidak mempunyai sesuatu yang umum bersama orang lain. Dalam kondisi seperti inilah, kejahatan muncul dalam arti orang digiring untuk menjadi pelaku kejahatan terhadap diri sendiri. orang menjadi takut terhadap diri sendiri karena tidak mampu bersaing dengan orang lain. “Rasa takut” tulis Bertrand Russel adalah “sumber utama tahayul dan salah satu sumber kekejaman terhadap diri sendiri”
Revitalisasi Konsep Diri
Akar utama aksi pembunuhan diri adalah kematian rasio dan ketakutan akan diri sendiri yang disebabkan ketegangan antara idealisme dan realitas. Korban bunuh diri merasa diri kecil untuk bersaing dengan perkembangan dunia modern. Berkaitan dengan ini Heidegger dengan tepat mengemukakan bahwa ketakutan sebenarnya merupakan salah satu ciri utama manusia yang terlempar di dalam dunia.
Ketakutan perlu disadari sebagai bagian dari hidup, sehingga ia hadapi dalam keseharian. Hal yang sama juga berlaku dengan ketegangan. Ketegangan dalam kehidupan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan menusia di dunia ini. Para ilmuwan berpendapat bahwa ketegangan adalah kegiatan atau keadaan yang menimbulkan tuntutan-tuntutan psikis dan fisik tertentu.
Oleh karena itu, berhadapan dengan fenomena bunuh diri, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah merevitalisasi konsep diri. Konsep diri ini merupakan pendekatan operasional terhadap pertanyaan filosofis “Siapakah Saya?”.
Erik Fromm melihat konsep diri memiliki peranan yang membedakan manusia dari mahluk hidup yang lain. Baginya, manusia melebihi segala bentuk kehidupan karena hanya manusia yang mampu menyadari dirinya sendiri.
Dobzhansky, ahli genetika terkenal, juga menyatakan kesadaran diri sebagai ciri pokok dan sebagai sesuatu yang baru dari Homo Sapiens yang bersifat evolusioner. Kesadaran diri ini menempatkan implikasi-implikasi yang sungguh-sungguh pada pengalaman manusia karena melibatkan suatu pencarian arti kehidupan itu sendiri.
Untuk mengetahui identitas seseorang membolehkan pemahaman masa lalu seseorang juga pemahaman mengenai kemampuan-kemampuan masa depannya, dan pemahaman tempat seseorang di dalam keteraturan mahluk-mahluk. Konsepsi-konsepsi manusia mengenai dirinya sendiri mempengaruhi tingkah lakunya dan pengharapannya dari hidup ini.
Konsep diri ini mencakup dua proses psikologi yang mendasar yaitu proses evaluasi diri dan proses harga diri. Pertama, evaluasi diri. Konsep diri dalam hubungan dengan evaluasi diri mengacu kepada pembuatan suatu penilaian kesadaran berkenaan dengan arti dan nilai pentingnya seseorang atau segi-segi seseorang.
Kedua, harga diri. Harga diri adalah perasaan bahwa ‘diri’ itu penting dan efektif, dan melibatkan pribadi yang sadar akan dirinya sendiri. Sedangkan gagasan-gagasan dari evaluasi diri menyiratkan bahwa perasaan harga diri seseorang berasal dari memilik sifat-sifat yang sesuai dengan standar-standar tertentu, dan penghargaan bagi mencukupi aspirasi-aspirasinya sendiri dari orang-orang lain baginya merupakan perasaan hariga dirinya.
Pada pihak lain harga diri adalah lebih fundamental, melibatkan suatu pandangan dari diri seseorang sebagai penguasa dari tindakan-tindakannya, suatu perasaan kompeten yang intrinsik alih-alih bergantung pada dukungan dari luar.
Suatu konsep diri yang positif dapat disamakan dengan evaluasi yang positif, penghargaan dir yang positif; konsep diri yang negatif menjadi sinonim dengan evaluasi yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri dan tiadanya perasaan yang menghargai pribadi dan penerimaan diri.
Orang-orang dengan penilaian diri yang tinggi dan perasaan harga diri yang tinggi umumnya menerima keadaan diri mereka sendiri.
Berhadapan dengan kompleksitas kehidupan di dunia, setiap kita memiliki potensi untuk merumuskan konsep diri yang positif dan integral. Konsep diri, konseptualisasi oleh individu mengenai pribadinya sendiri, dipandang sebagai seseorang yang diinvestasikan dengan konotasi-konotasi emosional yang potensial dan evaluatif karena keyakinan-keyakinan subjektif dan pengetahuan faktual yang dianggap berasal dari individu itu adalah begitu bersifat pribadi dalam berbagai tingkatan, intens dan sentral. Istilah-istilah seperti ‘harga diri’, ‘evaluasi diri’ dan ‘konsep diri’ termasuk ke dalam proses pengalaman konseptualisasi dan berpeluang besar dalam aktualisasi karena mempengaruhi tingkah laku individu.