Kupang, Vox NTT- “Kami dengan ini menyatakan mosi tidak percaya ke Anggota DPR NTT. Kami tidak percaya!” ujar salah satu anggota aksi unjuk rasa dari Perhimpunan Mahasiswa Manggarai Barat (Permabbar) Kupang di depan Kantor DPRD Provinsi NTT, Selasa (28/01/2020).
Ujaran bernada ketus itu bukan tanpa sebab. Menurut massa aksi DPRD NTT tampak tidak peduli dengan persoalan kegiatan eksplorasi Geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sanonggoang, Kabupaten Manggarai Barat.
“Ada fasilitas umum. Ada gereja, sekolah dan warisan leluhur. Kita tidak mau nasib Desa Wae Sano mirip dengan tambang di Mataloko Ngada, hancur pada akhirnya,” ujar salah satu orator dari atas mobil pick up.
Pantauan VoxNtt.com, puluhan mahasiswa itu tampak geram setelah satu jam berorasi, Nurce Sombu Kasubag Hukum dan Perundangan dari Sekretaris Dewan NTT muncul. Ia menyampaikan bahwa DPRD NTT menolak beraudiensi dengan demonstran dengan alasan belum ada surat pemberitahuan resmi.
“Jadi aspirasinya kami terima. Tapi kalau soal audiensi itu harus pakai surat dulu ke Ketua DPR,” kata Nurce menjawab desakan massa aksi yang ingin bertemu para anggota dewan.
Merespon hal itu, salah satu anggota Permabbar mengaku kecewa. Menurut dia, baru kali ini ada aksi yang harus ada surat resmi saat bertemu dengan anggota DPRD.
“Kami kecewa, kami kecewa. Baru kali ini kami turun aksi lalu diminta harus bersurat jika ingin bertemu dengan DPR yang adalah perwalikan rakyat,” katanya menggunakan mikrofon.
Kendati demikian, beberapa saat kemudian Sekretaris DPRD NTT, Thobias Ngongobili keluar menemui massa aksi. Ia lalu mempersilakan massa aksi untuk masuk beraudiensi dengan DPRD NTT Komisi IV.
Saat beradusiensi, Koordinator umum aksi dari Permabbar Kupang Kornelis Diri membacakan poin tuntutan mereka terkait pembangunan tambang Geothermal di Desa Wae Sano.
Kata Kornelis, berdasarkan kajian lapangan mereka ditemukan bahwa lokasi pengeboran Geothermal dekat dengan perkampungan warga setempat.
Baca Juga: Masyarakat Tolak Pengembangan Geothermal di Desa Wae Sano
Di titik pengeboran dekat dengan lokasi perkebunan warga. Padahal, hasil perkebunan itu merupakan salah satu sumber kehidupan masyarakat Desa Wae Sano.
Lokasi pengeboran Geothermal juga, ungkap Kornelis, dekat dengan dua sumber mata air. Parahnya lagi dekat dengan SDK Nunang dan SPMN 5 Sanonggoang.
“Serta berjarak kurang lebih 50 meter dari rumah adat yang merupakan warisan leluhur dan juga kuburan leluhur,” jelasnya.
Sebab itu Permabbar Kupang mendesak Pemerintah Pusat melalui Kementerian terkait untuk mencabut izin dari PT SMI sebagai pelaksana proyek Geothermal di Desa Wae Sano.
Pihak Kornelis juga menuntut PT SMI untuk segera menghentikan segala bentuk aktivitas di Desa Wae Sano, sebab dinilai telah melanggar UU RI Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 33 tentang minyak dan gas bumi.
“Mendesak PT SMI untuk menghargai hak perseorangan atau hak ulayat yang sifatnya komunal dan tidak bisa diwakili. Mendesak Pemda Manggarai Barat dan juga Pemprov NTT untuk berpihak kepada masyarakat setempat yang menolak kegiatan proyek Geothermal sebagai bentuk tugas pelayanan,” ujar Kornelis.
Tak hanya itu, dalam pernyataan sikapnya Permabbar juga mendorong Pemkab Mabar untuk segera memberi pengakuan terhadap lembaga adat. Hal ini penting untuk mencegah konflik horisontal yang terjadi pada masyarakat adat.
Massa aksi juga menuntut dan mendesak DPRD dan Pemprov NTT untuk turun langsung ke Wae Sano. Pengecekan lapangan dianggap penting untuk mendengar aspirasi penolakan masyarakat di balik eksplorasi Geothermal di Desa Wae Sano.
Baca Juga: Ini Rekomendasi JPIC OFM Soal Geothermal Wae Sano
Merespon tuntutan Permabbar Kupang, Anggota DPRD NTT Vinsen Pata menjelaskan secara teori Geothermal tidak merusak, tetapi mengganggu ke sekitar.
“Coba ditelusuri ada izin tidak. Dengan keharian kalian kami juga bisa tahu bahwa ada masalah sosial. Kami akan turun cek ke lokasi apa sesuai dengan aspirasi kalian atau tidak,” ujar anggota DPRD NTT asal Manggarai Barat itu.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD NTT Refafi Gah menyatakan, aspirasi dan data yang disampaikan Permabbar akan menjadi catatan untuk kemudian dimasukan ke dalam agenda mereka.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba