*)Antologi Puisi Ischo Frendino
Kebasahan
Di pelataran nestapa insan
halilintar dan guntur berkejar-kejaran
angin dan awan berkeliaran
rintik pun ikutan beterbangan
hingga akhirnya hujan,
saatnya kemarau bepergian
Januari terperangkap kebasahan
dan Jakarta kebanjiran.
Dari timur pada musim yang seumuran
kulagukan simposium keprihatinan
dalam biduan timur anak-anak pinggiran.
Ischo Frendino, Jakarta 03/01/20
Haruskah Aku Bertamu Di Rumahmu?
Pada gemuruh yang meradang
Pada teriakmu yang mengharu biru
Haruskah aku bertamu di rumahmu?
Pada butiran air mata langit yang menghujam
Pada gelisahmu yang tiada henti
Haruskah aku bertamu di rumahmu?
Pada hulu yang geram
Pada cemas yang memeluk mata kakimu
Haruskah aku bertamu di rumahmu?
Pada sungai yang menghantui tiang penyangga rumah
Pada takut yang membasahi setengah tubuhmu
Haruskah aku bertamu di rumahmu?
Pada tanah kering yang berubah menjadi lautan
Pada tangis yang membelenggu milik-milikmu
Haruskah aku bertamu di rumahmu?
Pada detakan jam dinding yang berdentang
Pada utopia di harap fajarmu
Haruskah aku bertamu di rumahmu?
Pada nestapa sang pemilik nafas
Pada ego di kediaman hatimu
Haruskah aku bertamu di rumahmu?
…sedang aku hanyalah SAMPAH..
Ischo Frendino, Jakarta 05/01/20
Dari Dalam Air untuk Pemimpinku
Kepada siapa harapku menetap
kepada siapa inginku ditatap
masihkah kau terlelap
sedang tanganku merayap
Wahai kaum elit negeriku
Di mana orasi manis yang kau titipkan
Di mana wejangan romantis yang kau kumandangkan
Sedang hulu dan muara meneriakiku
Masihkah kau berfantasi
Masihkah kau tenggelam dalam idealismemu
Masihkah kau bercerita dengan teman-teman berdasihmu
sedang tanganku harus merakit reruntuhan ini
Apa gunanya memberi janji, merealisasikan
Apa gunanya berdandan rapi, menjanjikan
Apa gunanya berwibawa, merahasiakan
Sedang ragaku terbawa hanyut.
Ischo Frendino, JKT 07/01/20.
Percakapan Hari Itu
Botol Plastik: “Aku korban ketakpedulian manusia, terdampar di sana sini dengan predikat tak berguna.”
Pemimpin Kota: “Aku telah membangun atap untukmu, membutuhkan dan mengolah dirimu agar lepas dari frasa tak berguna itu.”
Botol Plastik : “Lalu kenapa aku masih di pinggiran trotoar kota ini, saluran air yang jorok, bantalan sungai, yang penuh dengan isak tangis kaumku.
Mengapa tak kau naikkan saja harga rupiah diriku, agar seimbang dengan keringat yang terbesit dari tubuh para pencari rupiah yang kau sebut pemulung itu, dan aku menjadi penting?”
Pemimpin Kota: “Siapa yang kau maksud pemulung itu? Aku tak pernah melihatnya.”
Botol Plastik: “Tanyakan saja kepada manusia-manusia pemilik kerakusan dan ketidakpedulian yang selalu menyumbat hati dan budinya dengan ego yang bengis.
Pemimpin Kota: ” Kepada rakyatku? Aku telah menyuarakan kepada mereka ideologi-ideologi ku, di sana sini aku selalu melagukan itu.”
Botol Plastik: “Apakah ideologimu telah merakyat? Pergilah kepada mereka, sebelum dasi dan kemeja indahmu dikotori oleh lumpur kota ini. Tanyakan kepada mereka, di mana hati dan budinya saat ini.”
Ischo Frendino, Jakarta, 11/01/20
Untukmu Kaum Berpulang
Kado itu duka
tamparan realita, luka
tak kenal lupa
dari kami sesama anak Bapa
suaramu dibungkam
dalam lembaran awal yang kusam, buram
masam, raga yang mati lebam
dalam ideologi pemimpin yang karam
Mari bersaksi
pada surga rumpuni
di nestapa hati agar diampuni
tuk yang masih beraksi
Di tepi makam kulagukan eulogi ratapan
sederet mohon di atap abadi kediaman
menepis api dalam nestapa baka ketenangan
dan bertumpu dalam rima akhir sajak ini, amin.
Ischo Frendino, Jakarta 12/01/2020
Tentang Penulis
Saya Ischo Frendino, asal dari Larantuka, Flores Timur, NTT. Hobi saya membaca dan menulis. Tertarik dengan tema-tema yang berkaitan dengan Filsafat, sastra dan politik.
Sering menulis puisi di Kompasiana. Saat ini sedang berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Alamat Media Sosial :
Facebook : https://m.facebook.com/ profile.php?ref=bookmarks
Instagram : https://www.instagram.com/isco_frendino.0204/saved/
Gmail : ischofrendino2498@gmail.com.