Oleh: Pius Rengka
Terus terang, diksi “catur” di sini, tentu saja, tak ada hubungan sama sekali dengan salah satu jenis permainan olah otak chaturanga yang pertama kali ditemukan di India abad ke-6. Permainan itu pun kemudian merambat ke kawasan Timur Tengah dan Eropa abad ke-10.
“Catur” di ini tulisan pun tak ada hubungan apa-apa dengan, misalnya, Wilhelm Steinitz, yang meraih gelar juara dunia catur pertama di dunia tahun 1886. Atau, catur sebagai metode permainan olah pikir demi menambah usia lebih panjang. Kalangan antropologis, menyarankan manusia perlu selalu perlu bermain catur, jika ingin usia Anda tinggal di Bumi lebih lama.
Konon kabarnya, dengan bermain catur, otak dipacu berpikir serius dan fokus sehingga biliunan syaraf yang ada di kepala fungsional. Jika semua sel dan syarat di otak difungsikan maksimal, maka usia manusia dijamin akan kian panjang. Mungkin pikiran itu pulalah yang menginspirasi Yovan Noah Harari menulis bukunya yang kesohor, Homo Deus.
Catur di tulisan ini, lebih pada sebuah terkaan spekulatif saya tentang apa kiranya kalkulasi politik di papan catur politik kekuasaan Victor Laiskodat di NTT selama ini, sejauh yang dapat diduga.
Dengan rumusan lain, bagaimana kiranya perilaku politik Victor Laiskodat ditafsir dalam skema gerakan perubahan sosial di NTT.
Disebut spekulasi (meski tentu tetap cukup rasional) karena basis material informasi untuk tulisan ini dimulai dan diperkaya melalui ragam informasi di media sosial. Tambahan pula, serial diskusi aneka orang berbeda di macam-macam warung kopi. Juga, tentu saja, laporan jurnalistik Karo Humas Propinsi. Saban hari Karo Humas sungguh setia (juga santun) melaporkan aktivitas Gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Kesetiaaan mana dipandang sebagai tindakan abdi negara nan santun. Begitulah.
Kilas Balik
Tatkala pertama kali dilantik paruh akhir Oktober 2018, Victor Laiskodat menyiram banyak sekali bibit harapan perubahan. Juga menabur suasana baru melalui rentetan narasi melalui orasi di sejumlah kesempatan.
Masih segar dalam ingatan khalayak, dan juga tercatat rapih di banyak catatan, isi pidato perdana Victor Laiskodat dalam forum Rapat Paripurna Istimewa DPRD Propinsi NTT. Pidato itu, sungguh-sungguh berkesan dan mempesona. Ia memberi pesan politik sangat jelas.
Sekadar memulihkan ingatan kita, dapatlah disebutkan di sini beberapa darinya. Antara lain, disebutkannya, dirinya tidak akan main-main dengan semua jenis pengerjaan proyek fisik di Propinsi ini. Proyek-proyek fisik selama kepemimpinannya dijamin tidak akan dinodai permainan busuk team sukses atau komplotan jahat sejenisnya, apalagi diwarnai dengan imajinasi konyol orang-orang di sekitarnya atas nama teman dekat.
Intinya, pengerjaan seluruh jenis proyek selama masa kepemimpinan Victor Laiskodat dipastikan berkualitas nomor satu, karena proses tender berlangsung fair. Dia mengedepankan profesionalitas yang mumpuni sesuai hukum yang berlaku di tanah air. Tak ada pula joki-jokian. Apalagi para joki serakah yang hanya sibuk ambil fee sambil menjual nama Gubernur dengan serial kisah kedekatan.
Kelakuan sejenis itu, tak hanya memalukan dan memuakkan, tetapi sekaligus ikut merendahkan martabat gubernur. Jadi untuk urusan pengerjaan semua proyek fisik di NTT pasti akan berjalan fair, berkualitas nomor wahid. Hal itu wajib dilakukan karena optio fundamentalis Gubernur Victor ialah pembebasan rakyat NTT dari belenggu infrastruktur yang tidak bermutu.
Di bidang infrastruktur jalan raya, misalnya. Gubernur bertekad agar seluruh jalan propinsi akan tuntas diberesin dalam tempo tiga tahun dari masa kepemimpinannya. Jalan propinsi harus bermutu tinggi sehingga jalan itu awet sekurang-kurangnya 25 tahun. Karena itu kontraktor pekerja jalan-jalan propinsi haruslah kontraktor kelas satu (good skill), mutu kelas tinggi (knowledge) dan tidak boleh ada korupsi (high integrity).
Tak ada pula ruang bagi kontraktor kaplingan si Anu dan si Tabu Manabu atas proyek-proyek berskala besar itu. Tak boleh ada fee untuk orang dekat gubernur karena gubernur memang tidak mau bekerja dengan spektrum imajinasi orang dekat, kecuali teman lama. Pokoknya, kualitas jalan propinsi harus mantap. Akses jalan propinsi juga menjadi jalur pelancar wisatawan. Ingatlah, mimpi NTT ialah pariwisata sebagai prime mover pembangunan NTT.
Maka, jalan propinsi Lelogama Bokong pun harus dikerjakan tuntas tepat waktu, tepat mutu, tepat kontraktor, tepat janji. Meski, memang, diperoleh informasi ada sedikit riak keributan kecil perihal proses proyek itu karena dipindahalihkan dari Sumba. Tetapi toh tak perlu disoalkan berpanjang lama, jika hal itu demi selesaikan soal.
Hal serupa pun dengan urusan placement staf di birokrat eksekutif dan BUMD. Gubernur Victor dengan jelas tegas mematok syarat etika profesionalitas. Penetapan dan penempatan staf dan sistem rekruitmen serta sirkulasi elit birokrasi dipastikan berbasis merit sistem persis sesuai dengan hukum rasional sebagaimana digagas Sosiolog Max Weber.
Victor Bungtilu Laiskodat antinepotisme. Ia memusuhi penempatan staf untuk orang-orang tolol tanpa banyak pengetahuan dan keterampilan karena penempatan orang sejenis itu bukan hanya akan persis kontraproduktif dengan visi dan misinya NTT Bangkit NTT Sejahtera, tetapi juga menyalahi ucapannya sendiri.
Tak boleh ada sistem katrol staf untuk aktor konyol nan tolol hanya demi romantisme pertemanan. Tata kelola birokrasi bukan urusan duduk berlingkar di ruang kafe atau sejenisnya, lalu mengambil keputusan tanpa banyak konsiderans.
Akibatnya, penempatan staf dipastikan sesuai ketentuan hukum dan penjenjangan eselonering. Promosi jabatan harus berbasis pertimbangan rasional profesional. Antianasir team sukses, antianasir suku, agama dan ideologi politik, antinepotisme berbau amis tanpa bakat. Antipola rekruitmen berbasis hubungan kekeluargaan.
Maka lihatlah, postur profil birokrasi di NTT hari ini dihuni para birokrat cerdas, berkualitas tinggi, bermoral dan berintegritas kelas wahid terandalkan. Demi impian itu semua, Victor lalu mengganti banyak pejabat, terutama para pejabat yang dihubung-hubungkan khalayak ramai sebagai para pejabat amat sangat dekat dengan Gubernur sebelumnya, Frans Leburaya.
Akibatnya, 15 pejabat handal berkualitas di NTT di zaman Frans Leburaya, diparkir begitu saja di sebuah ruangan di lantai II Kantor Gubernur meski dengan keharusan mereka mengisi presensi dan seterusnya sesuai apresiasi masing-masing tiap hari kerja.
Demi merumuskan langkah-langkah taktis dan strategis, Gubernur tak hanya ganti para pejabat eselon II dan III, tetapi juga Gubernur Victor memangkas birokrasi dan juga mengistirahatkan birokrat yang menurutnya tak patuh aturan main.
Drs. Bruno Kupok, adalah satu dari beberapa contoh yang karena kesetiaannya menjalankan aturan main, justru dianggap main-main atas instruksi Gubernur untuk kasus moratorium Human Trafficking.
Lainnya lagi, Victor Lasikodat memilih orang-orang terpilih yaitu kaum partikelir swasta yang diduga memiliki high capacity and high integrity yang melampaui banyak orang lain di NTT untuk kepentingan khusus dan khas.
Di lingkaran dalam tandem birokrat sipil negara pun, Gubernur Victor tak hanya dibantu para pegawai negeri sipil berkualitas kelas atas nomor wahid, tetapi juga diperkuat anak-anak yang diduga cerdas lincah piawai dari LSM terkenal bersih dan pejuang kepentingan publik, para dosen yang diduga kelas wahid dari kampus-kampus ternama di sini dan dari luar NTT.
Tak ketinggalan direkrut pula rombongan ekstra birokrasi negara. Mereka adalah sekelompok khusus yang dibayar khusus untuk memberi pertimbangan khusus agar Pemerintahan Victor tidak menimbulkan kasus.
Jelaslah sudah, hingga tulisan ini dibuat, Gubernur NTT Victor Laiskodat, lima kali memimpin apel tiap Senin, menertibkan barisan para pejuang pembangunan NTT. Hasilnya, terasa sudah. Kantor-kantor di lingkungan pemerintahan Propinsi NTT, bersih, necis, harum. Tanpa sampah. Para pegawai masuk kantor bergegas tiap pagi dan mulai melayani urusan publik, meski tiap jam 09.30 Wita ke atas lainnya tampak sibuk ke luar kantor untuk koordinasi tugas atau entah untuk urusan apa.
Tiap Rabu, para pegawai negara bercuap-cuap pake bahasa Inggris. Bibir mereka ditaburi kata-kata Inggris nerocos lincah dan keren. Karena itu keterampilan berbahasa Inggris para pegawai belakangan ini dan juga anggota team terdekatnya lincah piras bagai air mengalir nun jauh dan semakin menjauh saja.
Namun, sungguh mati, pidato Gubernur itu menyegarkan, bagaikan embun pagi yang membelai dedaunan layu kuyu. Pada bagian lainnya, pidato Gubernur Victor disela humor bersatire renyah yang memacu gelak tawa dan mengumpan riuh rendah tepuk tangan sampai meriah hingga jauh.
Saat itu Victor dengan tandas berkata: “Istri Gubernur tak boleh (lagi) ikut-ikutan dalam urusan yang menjadi urusannya gubernur. Adik kakak famili kerabat saya tak boleh datang beri pengaruh untuk urusin sirkulasi elit birokrasi. Jika ada yang datang tawar-tawarin nama calon pejabat kepada saya, justru orang yang diusung-usung itulah yang saya coret. Saya usir”. Tepuk tangan pun kian gemuruh nyaris plafon gedung DPRD NTT mau rubuh saja.
Begitu pun untuk tambak garam industri. Pembangunan industri garam, direncanakan cepat-cepat. Ini industri garam terkategori yang terbesar di Indonesia Timur karena berorientasi eksport. Hitung-hitungan bisnisnya ditengarai akurat. Pasarnya jelas. Negara penerima pun yakin. Ground breaking and land clearing lokasi proyek sudah tuntas dibuat. Kini proyek itu sedang dioperasikan investor kelas satu. Devisa gemuk, meski belum nyata. Tetapi serial rencana dan pidato itu telah berhasil memacu harapan rakyat.
Nasib serupa dengan kelornisasi dan sophianisasi. Eksport kelor direncanakan meramaikan pasaran bisnis di Jepang bertonage besar (taksasi 40 ton/bulan). Kelornisasi sedang galak-galaknya diurus. Dinas terkait, kini konon sedang lincah-lincahnya menata urusan itu.
Begitupun minuman beralkohol sophia. Koneksi pasar sophia sudah dibangun dengan Rusia. Konon kabarnya, Rusia sangat memuji sophia. Kualitas minuman keras khas NTT itu dinilai bermutu tinggi karena diolah para ahli bermutu tinggi Undana, universitas ternama di NTT.
Pariwisata begitu juga. Gelombang arus wisatawan ke NTT kian menggelembung. Angka statistik kunjungan, konon katanya, naik drastis. Kecuali kunjungan wisatawan ke Labuanbajo, tetapi arus wisatawan ke destinasi lain juga kian mengalir. Tampaknya, arus wisatawan itu sebagai akibat kerja-kerja cerdas para pembantu gubernur.
Gubernur pun turun tangan langsung ke masyarakat. Mendorong dan menggerakkan rakyat NTT untuk bangkit berlari bersama gubernur. Dinas Pariwisata juga begitu. Tercatat postur kunjungan wisatawan naik di Timor, Sumba, Alor, Flores, Rote dan Sabu, sepertinya sedang bergerak bersama dalam satu formasi gerakan serasi. Kini, semua pihak melihat dan menunggu akibat ikutan lainnya.
Penyakit pun begitu. Kecuali gerakan sistematis masif eliminasi malaria, Gubernur pun mendorong agar tidak boleh ada lagi kasus manusia lambat tumbuh kembang (stunting) di NTT. Gerakan eliminasi malaria harus masif dan sistematis dilakukan, agar Pulau Sumba dan Lembata berubah status dari status endemik merah malaria ke hijau atau bahkan putih. Bukankah promosi pariwisata ditengarai akan mubasir bila NTT masih endemik malaria.
Kasus stunting pun diurus khusus oleh orang-orang khusus, dipikirkan khusus agar tak selalu berkasus khusus. Maka NTT sekali kelak dibayangkan akan tiba di gerbang kebebasan. Kebebasan mana didambakan rakyat sejak lama.
Bank NTT juga direhab total. Banyak elit oligarkhi di bank itu diganti dengan menempatkan kelompok profesional kelas dunia. Maka tak heran jika ada di antaranya diimport dari bank lain demi memacu lajunya pertumbuhan bank untuk melayani pembangunan di NTT.
Bank NTT dituntut tiap tahun panen keuntungan 500 miliar. Bisakah itu? Mungkinkah itu? Jawabannya sangat mungkin karena kaum profesional terandalkan ada di sana. Laporan keuangan Bank NTT memperlihatkan neraca sungguh sehat, meski banyak rejeki karyawan dipotong.
Makna tunggal seluruh narasi itu membawa pesan bahwa NTT telah memperoleh Gubernur yang benar, dan benar-benar gubernur. Dia mengetahui isi sejarah perjalanan nasib propinsi ini. Dia mengerti sangat persis akibat buruk dari krisis promosi jabatan yang berbasis pertimbangan suku agama dan team sukses.
Gubernur Victor, tak mau mempraktekkan cara-cara busuk yang bodoh-bodoh seperti itu, dan sungguh dungu bebal idiot begitu. Sebab dengan cara demikian, biasanya mengabaikan obyektivitas rasional dan melumpuhtotalkan kebaikan bersama.
Serial pidato Gubernur Viktor itu, kecuali patut dijadikan hiburan rohani, juga dijadikan dokumen sejarah penting yang tersimpan rapi di rak ingatan khalayak. Para juru warta juga menyimpannya dalam kertas kesan pada papan siar berita surat dan media sosial lain.
Saat pidato-pidato itu diucapkan, dan disiar luas, rakyat pemilih merasa suara politik mereka tidak sia-sia. Suara politik rakyat tidak diberi kepada orang salah. Rakyat merasa ini kali politik NTT berubah.
Harapan pun penuh. Rakyat NTT gembira. Mereka sepertinya ditaburi wangi bunga harapan yang melampaui batas tampung kepala kaum buta huruf dan buta hati. Maka, serta mertalah banyak orang berkata, habislah sudah anasir placement birokrat berbasis sekat primordialisme, punah sudah penempatan staf birokrat berbasis imajinasi sentimen perkauman. Punahlah sudah sekte-sekte berbasis rente hubungan pribadi. Dan, imajinasi politik team sukses politik pun sirna sudah. Team sukses tidak mengais rejeki dari keberuntungan politik elektoral.
Enam bulan kemudian selepas pidato itu. Serial kunjungan Victor Lasikodat ke medan tugas, melampaui siapa pun Gubernur NTT sebelumnya. Kita teringat ketika sekali waktu Gubernur NTT peraih Hadiah Ramon Magsaysay, Ben Mboi, pernah berkata begini.
Katanya, Kepala Desa harus ketemu rakyat tiap hari, Camat harus berjumpa rakyat tiap minggu, Bupati ketemu rakyat tiap dua minggu, dan Gubernur ketemu rakyat tiap bulan. Tetapi, Victor Laiskodat justru melakukan hal yang sangat spektakuler. Dia justru bertindak melampaui saran Ben Mboi. Victor Laiskodat bertemu rakyat tiap hari, siang malam. Tak kenal lelah. Tak bosan-bosan pula kunjungan hariannya itu diikuti para dayang pelantun pujian di seputarnya dan juru tulis pelapor warta setiap masa.
Saban hari diperoleh kabar, Victor Laiskodat ke kampung ini dan itu. Betemu Kepala Desa, Camat dan Bupati. Rapat ini dan itu. Jika dicermati serius, maka sesungguhnya puncak dari semua narasinya adalah tentang motivasi, galang konsolidasi. Tujuannya, agar rakyat bersama pemerintah bergerak ke depan mengubah ini NTT dari sebutan propinsi serba belum, serba kurang, menuju propinsi serba berkelas tengah atas.
Propinsi termiskin ketiga dan terpenyakit di Indonesia ini harus tuntas diurus selama rezim kepemimpinan Victor Jos. Kepala Biro Humas, tak kalah gesit. Karo Humas tak lagi hanya melaporkan aktivitas program dan kegiatan di unit kerjanya saja, melainkan juga fungsional sebagai jurnalis handal yang melaporkan kejadian dan peristiwa pandangan mata tentang aktivitas Gubernur Victor Laiskodat. Formula laporannya memenuhi hukum normatif 5W plus 1H. Meski terus terang, lukisan suasana dan peran para penggembira di sekitarnya tampak tak cukup ditulis tuntas.
Tak ayal lagi, laporan Karo Humas, dapat diikuti melalui media online facebook, siaran langsung di radio yang akrab dengan pemerintah. Memang ada desas-desus, bahwa ada media online yang laku di mata pemerintah cq Karo Humas. Lainnya dianggap media seteru. Padahal kritik Gubernur diperlukan agar dia tetap setia berlangkah di jalan benar dan tepat.
Tentang pluralisme. Pluralisme tidak dipahami secara “pasif” sebagai pengakuan akan perbedaan, akan tetapi secara “aktif” sebagai upaya atau gerakan untuk mencari sintesis di antara yang berbeda-beda itu.
“Transkulturalitas” adalah pandangan bahwa masyarakat serta kebudayaan masa lalu dan masa kini saling terhubungkan dan saling jalin-menjalin atau ”melintas”, untuk membentuk hibrid (vide: Antje Flüchter dan Jivanta Schöttli, The Dynamics of Transculturality: Concepts and Institutions in Motions, Springer, London, 2015).
Pada konteks itu, nasib pluralisme dan transkulturalitas di rezim Victor Laiskodat tampak mendapat wadah yang pas. Transformasi gotong royong dan nilai gotong royong yang memudar, justru menjadi living value dalam model kerja (work) dan kerja bersama (collaboration) Generasi Z.
Transformasi dari “gotong royong otot” (physical works) ke arah “gotong royong pikiran” (mind works), yaitu penggunaan “kekuatan pikiran” (mind power) dalam kerja bersama untuk menghasilkan ide, citra, pengetahuan atau produk baru.
Bahkan pikiran memoderasi semua kepentingan pun dirancang dan dipraktekan dengan arif. Kaum frustrasi politik ditempatkan di ruang yang pas, entah di komisaris perusahaan di bawah kontrol pemerintah atau di tempat lain dengan nomenklatur baru. Begitu pun mediasi politik dengan para penegak hukum dan militer. Sokongan anggaran, memadai demi suka cita bersama.
Maka, kian jelas. Kita melihat permainan catur politik di lingkungan Victor seperti melangkahkan bidak-bidak dengan opsi meruntuhkan pertahanan permaisuri lawan main yang hendak menyerang dirinya. Tetapi awas! Jangan-jangan, orang-orang di lingkarannya itulah yang nantinya justru menggerus mimpi dan dirinya tanpa ia sadari.