Oleh: Ferdy Hasiman
Peneliti Pada Alpha Research Database, Jakarta
Masa depan Labuan Bajo, ada di tangan tuan-tuan kapitalis dan tuan-tuan oligark. Tuan oligark ini anak kandung yang lahir dari rahim kapitalisme. Mereka hadir di ruang demokrasi karena akses dekat dengan kekuasaan.
David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005) menyebut kapitalis selalu bersahabat dekat dengan penguasa politik, petinggi-petinggi media, untuk mempengaruhi opini publik. Mereka ingin agar rakyat seluruh dunia, termasuk rakyat Manggara Barat menyembah kapitalisme dengan iming-iming investasi untuk meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Tuan-tuan kapitalis kemudian datang.
Di Labuan Bajo, tuan kapitalis global-lokal (oligarki) sedang mengincar dan sudah memiliki pulau-pulau nan indah, mengkapling lahan pinggir pantai dan mengincar investasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Kapitalis lokal yang berekspansi di Labuan Bajo adalah pengusaha kelas dunia, pemain-pemain kakap dari Jakarta-Bali yang sudah memilik sel hidup sejak jaman Orde Baru. Jumlah pulau di sekitar TNK dan pulau-pulau di wilayah Labuan Bajo mencapai 200-an pulau. Tetapi pulau-pulau di Labuan Bajo itu sudah bertuan. Pulau-pulau ini sudah dimiliki tuan-tuan kapitalis-borjuasi.
Investor yang mengkapling pulau-pulau itu untuk dibangun hotel, resort, villa dengan biaya sangat mahal. Di pulau Kenawa dan pulau Seraya kecil dan Seraya Besar misalnya, sudah dikontrol investor asing dari Italia dan Korea Selatan. Di Pulau Seraya sudah dikuasai pebisnis hotel asal Yunani, Yannis dan Rozalin Vlatakis (ayah dan putrinya). Di dalam pulau ini mereka membuka sebuah resor dengan biaya biaya bungalow $320 per malam.
Di pulau Kanawa, satu pulau besar sudah dimiliki investor yang dilengkapi dengan hotel, resort dan restoran besar. Rata-rata yang masuk ke Pulau Kanawa ini adalah wisatawan dari Korea Selatan, Hongkong dan Jepang. Di Pulau Tetawa, investor asing sudah lama masuk, menyewa pulau itu. Tak satupun penduduk lokal yang bisa berkunjung ke pulau itu, kecuali sudah reserved.
Hal yang sama terjadi di Pulau Bidadari. Pulau itu sudah berpindah tangan ke tuan kapitalis asal Amerika Serikat, Ernes Lewandosky. Padahal dalam UU pertanahan asing tak diperbolehkan memiliki tanah kecuali hak sewa.
Di tangan tuan kapitalis , di pulau ini sudah dibangun Bidadari Resort Hotel dengan pengamanan super ketat. Kapal dan pengunjung dilarang keras mendekati kawasan ini. Hanya tamu asing yang telah melakukan reservasi boleh menginjakkan kaki di pulau seluas 25 hektare dengan pasir pantai sepanjang hampir 1000 meter itu.
Padahal, dahulu waktu saya berada di bangku Sekolah Menangah Atas (SMA), pulau ini menjadi termasuk yang paling favorit dikunjungi warga, termasuk anak-anak sekolah karena letekanya yang dekat dengan kota Labuan Bajo.
Sekarangpun tuan-tuan kapitalis mencoba menggunakan bantuan tangan negara masuk berinvestasi di Taman Nasional Komodo (TNK), tempat hidup satwa langkah Biawak Komodo.
Di Pulau Komodo ada PT Flobamora dan investor Amerika Serikat dan PT KWE. Di Pulau Padar ada PT KWE. Masih banyak lagi perusaan-perusahaan yang bersembunyi di balik nama lokal, padahal di belakang perusahaan ini adalah group-group bisnis besar yang mampu mengendalikan bisnis, kekuasaan politik dan kekuasaan partai politik.
Mereka mencoba mengkapling Pulau-pulau ini dan menggunakan tangan negara melalui pemerintah provinsi dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengusir penduduk-penduduk yang sudah lama hidup berdampingan dengan Komodo.
Di Pulau Komodo ada ratusan rumah tangga, di Pulau Mesa dan Papagarang juga ada sekitar 60 rumah tangga dan terdiri dari satu desa. Tetapi selama bertahun-tahun, pemerintah pusat tidak memperhatikan nasib mereka. Warga di biarkan tanpa listrik, tanpa air bersih, tanpa fasilitas penunjang kesehatan, fasilitas pendidikan tidak dibangun.
Pemerintah daerah Manggarai Barat juga tidak mau membangun fasilitas infrastruktur di kawasan TNK, karena mereka berpikir untuk apa membangun, sementara dana pengolahan TNK dan yang mendapat nikmat dari pengolahan wilayah semuanya di ambil pemerintah pusat.
Perlawan Rakyat
Riak-riak protes rakyat dari berbagai elemen demokrasi di Manggarai Barat pun bermunculan. Penolakan warga Mabar ini mengingatkan saya pada sebuah buku lama karangan ekonomi Hongaria Karl Polanyi dengan judul The Great Transformation yang terbit tahun 1944.
Dalam buku itu, Polanyi mengatakan, di mana kapitalisme mengepakan sayapnya berinvestasi, selalu muncul resistensi dan penolakan warga setempat. Alasannya jelas menurut Polanyi, karena kapitalis tak pernah memperhitungkan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat lokal.
Ekonomi menurut Polanyi selalu economic embedded (melekat dalam akar budaya dan sosial). Mencabut ekonomi dari akar budaya, menyebabkan komunitas lokal terpinggirkan dan termaginalisasi. Itulah yang terjadi dengan warga di sekitar TNK. Hanya dengan iming-iming investasi, penduduk dipaksa untuk direlokasi.
Padahal, secara kosmologis, Biawak Komodo sudah sangat menyatu dengan manusia. Penduduk-penduduk yang sudah lama hidup berdampingan dengan Komodo paham benar bagaimana merawat dan menjaga kawasan TNK. Mengusir penduduk yang sudah lama hidup berdampingan dengan Biawak Komodo adalah cara-cara imperialis. Tak ada jaminan investasi besar masuk ke TNK, membuat populasi satwa langkah Komodo bertambah.
Dulu pengelolah TNK adalah Balai Nasional Taman Komodo (BTNK) bekerjasama dengan perusahaan swasta milik seorang pengusaha kaya, PT Putri Naga Komodo. Tetapi, masuknya perusahaan swasta itu bukannya meningkatkan populasi TNK, malah populasi TNK bertambah punah.
Saya menduga, tuan-tuan kapitalis inilah yang memberikan masukan kepada Presiden Jokowi agar Pariwisata Labuan Bajo masuk kategori Super Premium. Super Premium artinya, berstandar tinggi, eksklusif dan hanya untuk kalangan terbatas, seperti yang ada di Mala Dewa.
Pemerintah mau saja terperangkap cara pandang investor. Investor-investor itu ingin berinvestasi resort dan hotel-hotel mewah untuk menangkap peluang akumulasi dari pariwisata super Premium. Mereka bukan hanya ingin mendapat nilai tambah ekonomi dari Biawak Komodo, tetapi ingin mendapat bisnis eksklusif dari pulau-pulau indah di sekitar kawasan TNK.
Daya tarik Biawak Raksasa Komodo dan pulau-pulau indah inilah yang membuat Labuan Bajo menarik minat dan perhatian nasional dan mancanegara. Tak mengherankan jika dalam beberapa tahun belakangan ini, Labuan Bajo menjadi magnet bagi wisatawan domestik dan mancanegara.
Jumlah pengunjung ke Labuan Bajo meningkat tajam. Tahun 2016 misalnya, jumlah pengunjung hanya sebesar 87.712 wisatawan yang berkunjung. Namun, akhir tahun 2019, jumlah wisatawan melonjak tajam menjadi sebesar 163.807 wisatawan. Dalam beberapa tahun ke depan bisa mencapai 500.000 wisatawan.
Secara teoritis ini tentu baik untuk ekonomi daerah, karena konsumsi meningkat dan jumlah uang yang beredar di Labuan Bajo meningkat. Namun, benarkan demikian?
Tak Mengucur Ke Bawah
Jika anda mencermati langsung ke Labuan Bajo, angka wisatawan boleh naik, tetapi tak ada kaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pendapatan per kapita per tahun rakyat Manggarai Barat masih Rp 12 juta per tahun atau rata-rata pendapatan per bulan hanya Rp 1 juta dan sehari Rp 30.000-. Inflasi malah naik 0.4 persen. Artinya, daya beli rakyat Mabar masih rendah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata belum signifikan. Secara fiskal, Mabar masih bergantung 90 persen pada keuangan pemerintah pusat. Pertanyannya adalah kemana uang wisawatan yang mencapai angka 163.807 akhir tahun 2019 itu ke Labuan Bajo?
Belum ada data resmi yang dirilis Pemda dan Badan Pusat Statistik (BPS) Mabar karena belum terupdate soal kecendrungan konsumsi Mabar. Namun, ini tentu saja mudah dibaca, jika melihat pola bisnis group-group hotel besar dan cara kerja menarik dana tuan-tuan kapitalis yang mengontrol dan membangun resort di beberapa pulau kecil di Labuan Bajo.
Dana yang mengucur ke Labuan Bajo pasti melingkar di antara elit bisnis saja, tak mengucur ke bawah (trickle-down). Siapa yang diuntungkan?
Dana besar pasti mengalir ke kelompok pengusaha hotel luxery berjejer mulai dari Pantai Pede sampai Wai Cecu. Ada Luwansa, La Prima, Jayakarta, Ayana dan Plataran Komodo. Mereka hampir pasti sukses merebut sekitar 90 persen uang wisatawan yang dikonsumsikan di Labuan Bajo.
Coba bayangkan saja, pejabat-pejabat pusat dan pejabat perusahaan-perusahaan BUMN yang hilir-mudik ke Bajo, pasti sudah reserve di Ayana atau Plataran, karena di sana ada ruang eksklusif untuk pertemuan, restoran mewah dan pelayanan kelas premium. Sangat jarang pejabat-pejabat ini menginap di hotel orang-orang lokal. Uang konsumsi wisatawan juga banyak mengalir ke Pulau-pulau, di resort milik tuan-tuan kapitalis asing.
Di pulau mereka juga disuguhi konsumsi kelas premium. Sayur, buah, kacangan-kacangan dan tenaga kerja standar premium. Kelas pekerja lokal kecil dan belum tentu memenuhi standar mereka. Jadi, rakyat Mabar hanya mendapat remah-remah, sekitar 10 persen uang dari konsumsi wisatawan ke kantong milik orang-orang lokal, mulai dari hotel, tour guide, driver dan kuliner orang-orang lokal. Beginiah paradoks pembangunan di tangan tuan-tuan kapitalis. Tuan-tuan menjadi sangat kaya, tetapi rakyat tidak mendapat berkah, hidup miskin dan terasing di tanah sendiri.
Jika masih ada orang yang beranggapan bahwa diskusi soal kapitalisme dan oligarki itu tak penting, itu karena jam terbangnya kurang untuk menelusuri lorong-lorong gelap dunia korporasi dan oligarki. Bisa juga karena mereduksi masalah pariwisata Labuan Bajo menyempit ke lokalitas di Labuan Bajo, sehingga yang dipersalahkan hanyalah Pemerintah Daerah.
Padahal, ketika Mabar dimekarkan dari induk (Manggarai), pusat masih mengontrol aset strategis, seperti Pantai Pede, Puncak Waringin dan Pulau-pulau di sekitar TNK yang sekarang terbukti dikapling tuan-tuan kapitalis.