Kupang, Vox NTT-Peran seorang pemimpin pemerintahan dalam mensejahterakan rakyatnya, sudah terbukti sepanjang zaman. Dari zaman kerajaan kuno sampai dengan era demokrasi modern.
Propinsi NTT juga memiliki pemimpin-pemimpin yang patut dicatat dalam sejarah karena karismatik dan kiparahnya dalam mengeluarkan propinsi ini dari jeratan kemiskinan dan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Tercatat hingga usianya yang ke-61, NTT telah melahirkan 8 pemimpin mulai dari W.J. Lalamentik hingga Viktor Bungtilu Laiskodat.
Dari beberapa pemimpin yang pernah menggoreskan sejarah di NTT, adalah Gubernur El Tari, periode 1966 hingga 29 April 1978.
Dia adalah sosok yang kerap disandingkan dengan presiden Amerika Serika, John F, Kennedy.
Ia tampak unik mulai dari gaya berbicaranya sampai pada kekuatannya dalam mempengaruhi dan menggerakan orang-orang menuju visi-misi kepemimpinannya.
Dalam skala NTT, El Tari adalah sosok yang memiliki daya tarik dan membuat dirinya disegani karena kewibawaanya.
“Kewibawaannya bukan karena tanda pangkat maupun atribut jabatan, melainkan karena kelebihan-kelebihannya sebagai seorang bapak, dan atasan yang mengayomi, disiplin, sederhana, bijaksana, tegas dan pro rakyat,” ungkap Frans Skera, tokoh senior birokrasi NTT dalam bukunya “Ciri Khas dan Warisan Pemimpin Pemerintahan NTT:Dari El Tari ke Lebu Raya” .
Menurut pengalaman Skera yang sudah menjadi birokrat semasa El Tari, sosok ini meski berlatar belakang militer tetapi menjadi pemimpin pamong praja yang memiliki dua sikap dasar yakni konsekuen dan konsisten dalam menjalankan visi-misi maupun nilai-nilai Pancasila.
“Yang luar biasa dalam kepribadian El Tari adalah dia tidak punya kompleks sektarian dan kompleks kesukuan, pada saat Kupang penuh dengan sentimen keagamaan dan kesukuan,” tulis Frans Skera.
Selain itu, sosok El Tari juga dikenal dengan pribadi yang bersahaja dan motivatif karena mengayomi bawahannya.
Dia mampu memberikan perlindungan dan rasa aman di kalangan para pegawai dengan menciptakan kondisi yang kondusif sehingga pegawainya bisa bekerja dengan tenang, senang serta bertanggung jawab.
Demikian juga, kemana pun dia berkunjung untuk mengajak rakyat agar menanam dan mencintai lingkungan, dia diterima dengan hangat dan dieluk-elukan karena pendekatan kebapakannya yang menonjol.
El Tari, lanjut Frans, adalah pemimpin yang mengetahui peta masalah rakyat dan daerahnya. Slogan pemerintahannya, “Tanam, Tanam, sekali lagi Tanam!“.
“Rakyat yang sebagaian besar petani, masih hidup dalam kemiskinan dan sebagian besar wilayah NTT tandus dan kering sehingga air merupakan masalah utama,” tulis Frans.
Dari 5 kebijakannya, El Tari sungguh memahami peta masalah NTT sebagai berikut:
Pertama, usaha untuk memperoleh kebahagiaan dan kecukupan masyarakat.
Kedua, daerah tandus perlu disuburkan dan faktor air merupakan kunci keberhasilan
Ketiga, isolasi dan ketertutupan harus dibuka demi pelayanan publik yang baik
Keempat, hasil rakyat yang terpencar-pencar perlu dikumpulkan dan diatur pemasarannya
Kelima, pendidikan merupakan kunci kemajuan.
Sisihkan Uang Perjalanan Dinas ke Panti Asuhan
Akhir Februari 1974 menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi Frans Skera.
Kala itu, ia diperintahkan menjadi ajudan Gubernur dalam kunjungan ke Timor Portugis pada masa pemerintahan Gubernur Alves Aldeia.
“Sebenarnya tugas utama saya adalah menjadi penterjemah pada perundingan kedua kepala pemerintahan dan hal tersebut tak pernah diberitahu kepada saya sebelum keberangkatan” kisah Frans.
Diceritakan Frans, salah satu urusan yang menjadi tanggung jawabnya ialah memegang uang perjalanan dinas Gubernur.
Namun selama di Dili, uang perjalanan dinas tersebut tak digunakan sehingga Frans harus membawanya kembali ke Kupang, ibu kota Propinsi NTT.
Setibanya di Kupang, Frans menghadap Gubernur hendak memberikan sejumlah uang perjalanan tersebut. Tanggapan El Tari ternyata cukup mengesankan.
“Frans bawa uang itu dan berikan kepada pimpinan panti asuhan di samping gereja Ebenhaeser Oeba. Kau tahu tempatnya?” demikian pinta Gubernur kelahiran Sabu, 18 April 1926 itu.
Mendengar perintah itu, Frans pun bergegas ke panti dimaksud dan menyerahkan sejumlah uang perjalanan itu kepada kepala Panti.
“Uang tersebut dalam amplop tertutup, saya bawa dan berikan kepada pimpinan panti asuhan. Dia terkejut dan senang apalagi mendengar uang dari pak El Tari,” tulis Frans.
Tindakan itu menjadi pengalaman bermakna tersendiri bagi Frans. Apalagi, kala itu dirinya masih menjadi pegawai yang baru dua bulan bekerja. Ia bekerja di kantor Gubernur NTT tepatnya pada tanggal 1 Januari 1973.
“Betapa saya melihat seorang pemimpin yang begitu peduli pada anak-anak yatim piatu. Apa yang menjadi haknya dengan tulus ikhlas diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkannya,” ungkap Frans.
Ya, El Tari kala itu memang sedang mengajarkan bahwa cara terbaik untuk mengatakan kepedulian kepada rakyat adalah dengan melakukan.
Ia juga mengajarkan bagaimana seorang pemimpin harus punya kepekaan kepada mereka yang terpinggirkan. (VoN)