Kupang, Vox NTT-Anggota DPRD Propinsi NTT dapil Manggarai Raya, Bonifasius Jebarus menyambut baik rencana Pemda Manggarai Timur menggelar festival Lembah Kopi Colol. Festival ini rencananya digelar pada 6–11 Juli 2020.
Bagi pria yang akrab disapa Bonjer ini, kopi Colol punya nilai sejarah yang layak diangkat.
“Saya punya kakek Frans Nahur, tetua adat kampung Tangkul pernah cerita ke saya waktu kecil bahwa pada zaman Belanda di kampung Colol pernah diadakan sayembara kopi terbaik,” tutur Bonjer.
Menurut Bonjer, prestasi kopi Colol memang tidak diragukan lagi. Selain sebagai daerah produksi kopi terbesar di NTT, pada tahun 2015 lalu, kopi jenis arabika dan robusta asal Colol, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, dinobatkan sebagai kopi terbaik Indonesia.
Colol Sedang Dikaji Jadi Desa Pariwisata Berbasis Konservasi
Kopi ini berhasil menggeser peringkat kopi Jambi dalam kontes kopi spesialti Indonesia yang berlangsung di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada 10-14 November 2015 lalu.
Kontes ini diselenggarakan tahunan oleh Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia, serta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember.
Kopi yang diproduksi oleh Asosiasi Petani Kopi Manggarai (Asnikom) ini berhasil meraih juara dengan nilai 84,32 point.
Tak hanya berhenti di level nasional, kopi Manggarai juga meraih penghargaan dalam ajang AVPA Gourmet Pruduct di Paris, 23 Oktober 2018.
Dalam ajang ini, kopi dengan label Papaku Manggarai meraih kategori gold gourmet.
Pengahargaan kopi Manggarai sebenarnya bukan baru terjadi kali ini. Pada zaman Belanda kopi asal Colol, telah mendahului daerah lain di Indonesia.
Dilansir Kompas.com, pemerintah kolonial Belanda tahun 1937 menggelar sayembara penanaman kopi yang disebut ”Pertandingan Keboen”.
Sayembara itu sejalan dengan kebijakan Raja Manggarai saat itu, Alexander Baruk (1931-1945). Baruk gencar mengenalkan budidaya padi dan tanaman perkebunan kepada rakyatnya.
Melalui seleksi sangat ketat, seorang petani Colol bernama Bernadus Odjong keluar sebagai pemenang ”Pertandingan Keboen” itu. Ia dihadiahi bendera tiga warna, berukuran 160 sentimeter x 200 sentimeter.
Benda itu kini tersimpan dalam wadah bambu khusus di rumah Aloysius Lesin (48) di Kampung Biting, Desa Uluwae, Colol. Lesin adalah salah seorang putra Bernadus Odjong yang meninggal sekitar tahun 1987.
Berangkat dari perspektif sejarah dan budaya tersebut, Bonjer mengapresisasi langkah dari pemerintah Manggarai Timur.
“Saya bangga jika Dinas Pertanian Matim mulai menggalang kembali sayembara atau festival Kopi Colol ini. Namun tidak diharapkan hanya seremonial. Zaman Belanda saja mereka bikin sayembara, masa zaman sekarang cuma seremonial,” tutur Bonjer.
Ia berharap agar festival tersebut harus punya dampak positif bagi peningkatan ekonomi rakyat Colol dan Manggarai umumnya.
“Karena itu saya berharap jangan hanya sampai pada seremonial, harus punya dampak bagi peningkatan ekonomi rakyat,” ungkapnya.
Bonjer juga berharap agar festival ini dapat menampilkan racikan kopi secara tradisional. Para tamu yang berkunjung harus dapat melihat langsung pengolahan kopi secara tradisional yang dimasak dengan periuk tanah dan disajikan tanpa gula.
Sejarah, Darah dan Budaya di Balik Secangkir Kopi Pait Colol (Part 1)
“Jadi festivalnya dikemas sekreatif mungkin sehingga punya nilai jual yang tinggi di mata pengunjung,” ungkap Bonjer. (VoN)