Oleh: Rino Goa*
Pilkada serentak 2020 di kabupaten Manggarai sudah di depan mata. Orang Manggarai bilang ‘tinggal hitung hari su’. Hiruk pikuk rasa pilkada pun mulai terasa.
Hal ini terlihat dari baliho kandidat menghiasi hampir seisi kabupaten penuh. Pembicaraan tentang pilkada pun hampir terdengar di semua tempat, baik di café, Kantor, emperan toko maupun di ruang keluarga. Satu yang pasti dibicarakan adalah siapa yang cocok memimpin kabupaten Manggarai di 2020-2025 mendatang.
Tidak hanya itu jagat maya pun heboh membicarakan hal serupa. Misalnya saja salah satu grup yang ramai membicarakan pilkada adalah grup facebook dengan nama ‘Manggarai Bebas Berpendapat’.
Serupa dengan namanya, grup ini pun membahas apa saja, intinya itu murni pendapat seseorang. Namun perlahan di tahun 2020 ini mungkin karena momen pilkada, grup ini mulai membicarakan narasi pilkada.
Dari hasil pembicaraan dapat dirangkum bahwa pendapat-pendapat di grup ini seputar siapa yang cocok memimpin Manggarai 5 tahun ke depan.
Menarik untuk membahas grup Facebook ini. Sebab pembicaraan sudah berada di titik program apa yang patut didorong agar para kontestan pilkada memahami Manggarai di 5 tahun mendatang.
Misalnya saja beberapa pendukung mengatakan bahwa Bupati dan Wakil Bupati periode 2015-2020 belum menuntaskan pekerjaannya hingga harus didukung untuk 5 tahun mendatang agar dapat menuntaskan pekerjaan yang belum terselesaikan itu.
Namun, argumentasi demikian dibantah oleh beberapa pendukung yang menginginkan perlu adanya pemimpin baru yang lebih progresif dari bupati sekarang.
Fenomena di atas adalah hal lumrah menjelang pilkada. Tidak menampik kemungkinan bahwa pembicaraan terkait siapa yang pantas memimpin Manggarai di periode mendatang adalah fenomena masyarakat Manggarai yang peduli tentang nasib daerahnya.
Namun, jika ditelusuri bersama pembicaraan tentang pilkada Manggarai masih seputar Ruteng-sentris. Ruteng-Sentris mari disepakati sebagai isu elit politik yang hanya berkutat pada isu pengembangan kota, pertarungan aktor elit pendukung, serta lingkaran kekuasaan pilkada.
Manggarai secara umum hanya dijadikan “trickle down effect” dari produksi wacana elit yang mengemuka. Sesunggunya, Ruteng-Sentris sudah tidak demokratis sejak ia digulirkan dan menguasai isu pilkada.
Contohnya pembicaraan tentang sampah di kota Ruteng, pengelolaan pasar Inpres yang bobrok, privatisasi Mbaru Wunut, dan beberapa isu yang hemat saya basi untuk di bicarakan pada tingkat pilkada Manggarai 2020.
Pilkada Manggarai bukan hanya tentang kota Ruteng. Pilkada Manggarai tentang kemaslahtaan seluruh rakyat Manggarai. Pilkada Manggarai di 2020 adalah tentang 324.014 (BPS, Okt 2018) jiwa yang mendiami seluruh pelosok wilayah Manggarai.
Tidak menutup kemungkinan bahwa pembicaraan tentang Ruteng sebagai Wajah Ibukota kabupaten adalah hal patut dibicarakan namun, perlu dikaitkan bahwa Ruteng bisa bernyawa karena 145 desa yang kecil untuk diskusikan namun besar di pilkada ketika hitung kepala dikaitkan dengan jumlah suara.
Desa antagonis Ruteng-Sentris
Menantang orang-orang yang mendiskusikan pilkada Manggarai untuk membicarakan desa hampir pasti jika dihitung dengan jari hanya segelintir orang yang mau mendiskusikan.
Pembicaran tentang desa di 2020 konteks Manggarai, orang-orang di atas pasti mengaikatkan berapa wajib pilih di desa A dan B. Hal ini berbeda ketika makhluk di atas diajak untuk mendiskusikan bagaimana posisi ibukota Kabupaten dikaitkan dengan desa dalam menyongsong pilkada. Diskusi alot, ngalor-ngidul tak tentu arah berkelana.
Namun ketika pembicaraan mengkaitkan Ruteng dengan Posisi desa, perlahan pembicaraan itu tidak berwarna, runyam, hitam dan sudahlah. Ruteng di Pilkada itu tentang orang-orang yang mau dan hampir pasti dekat dengan kandidat pilkada dan mengharapkan imbalan di akhir cerita kandidat yang mereka usung menang.
Kota Ruteng dan Desa di Pilkada Manggarai 2020 harus diadu. Diadu dengan harapan jualan isu pilkada tidak hanya dilihat melalui data sekunder yang sebenarnya jika diteliti masih ‘jauh panggang dari api’.
Isu yang diangkat baik kandidat maupun pendukung selama ini masih seputar pembangunan di lingkup kota. Bahkan paslon berasumsi data sekunder merupakan data valid, sehingga pada titik ini saya beranggapan paslon jarang menemui keadaan nyata masyarakatnya, apalagi anggapan pendukungnya.
Pada porsi desa misalnya para kandidat jarang mengutarakan kira-kira efek dana desa bagi 145 desa di Manggarai dan relevansi sudah sampai di mana.
Mainan seputar isu pada lingkup kota Ruteng musim pilkada tidak mengefek bagi desa. Apalagi jika isu yang diangkat dijual di dunia maya. Pertanyaannya apa orang desa yang tidak memiliki akses jaringan internet bisa mendapatkan informasi di atas?
Jika dibandingkan dari sisi elektoral pemilih yang mendiami wilayah Langke Rembong (jika dilihat sebagai pusat isu) hanya berjumlah 34.640 pemilih dari total pemilih 198.398 pemilih menurut data KPU 2018.
Artinya jumlah 163.758 pemilih masih merasa ‘bodoh amat’ dengan jualan isu pilkada seputar Ruteng-sentris. Pada titik ini sebagai petarung politik memikirkan isu Ruteng-sentris tidak cukup untuk menarik minat pemilih lain jika tidak melihat pemilih diatas bukan mendiami wilayah kota Ruteng.
Membumikan Isu Desa
Desa pada konteks pilkada adalah hal baik yang perlu didorong. Demokrasi lokal desa jika dipertontonkan dengan isu yang ‘membumi’ pasti akan berimbas pada kenyataan desa memang mengharapkan pemimpin ‘bupati’ di lima tahun mendatang.
Jika tidak, isu seputar siapa pencalonan kepala desa masih lebih seksi bagi masyarakat desa ketimbang memikirkan siapa yang memimpin Manggarai lima tahun ke depan.
Isu desa dalam konteks desa di Manggarai tidak hanya seputar jalan raya yang ketika sudah diperbaiki hanya dimanfaatkan oleh ‘mas Jawa’ pedagang bakso. Isu desa di Pilkada Manggarai itu tentang peran kabupaten, peran bupati jika terpilih nanti seperti apa.
Temuan Change Operator di beberapa wilayah bagian utara dan Selatan Manggarai menceritakan kerinduan masyarakat desa agar penataan sistem pertanian dan perdagangan menjadi agenda yang harus disegerakan. Mengingat hampir 75% penduduk Manggarai adalah petani.
Masalahnya masih berkutat di modal produksi dan pemasaran; yang hanya menyisahkan celah masuknya rentenir dan pengijon yang mengisap habis keringat petani dengan mematok harga di bawah 50% dari harga beli di petani dari total harga yang didapat pada konsumen.
Di sini petani tidak punya pilihan untuk menjual produk pertaniannya; sekalipun jatuh harga. Naik turunnya harga pun ia tak tahu persis hitunganya.
Untuk masalah ini, desa (petani) tentunya mempunyai sejumlah isu penting yang harus segera diterjemahkan balon dan timses. Janganlah kita hanya mempertimbangkan isu hanya dari sisi elektabilitas. Karena, caci maki lebih populer dari perbuatan baik
Kenyataan yang terjadi selama ini pembangunan di tingkat desa hanya memperhatikan soal infrastruktur yang tidak diimbangi dengan pemikiran efek ekonomi yang didapat mulai dari hulu produksi, industri pasca panen dan marketing.
Hal lain adalah kerinduan penduduk desa adalah bagaimana peran Pemerintah (kabupaten) hadir sebelum kegiatan produksi petani. Tujuanya adalah petani bisa dibebaskan dari sistem yang dibuat rentenir atau biasa disebut sistem ‘ijon’ dikurangi.
Permasalahan di atas adalah hal-hal yang jika dilihat akan berakibat pada sasaran visi-misi bukan pada kejadian yang hanya mengungkit dan bahkan menodong paket petahana. Pilkada adalah cara baru agar pemikiran-pemikiran yang tidak terakomodasi di lima tahun berlalu, dijawab di lima tahun mendatang.
Sehingga pemikiran kita tentang Ruteng dan isu yang melingkupinya berimbang dengan isu desa yang mengikutinya serta diskursus bertajuk transformasi dikedepanka, selain jari telunjuk dan jari lainnya saling menodong untuk memvonis benar dan salah.
Posisi desa di Pilkada Manggarai adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Peran sentral pembangunan Kabupaten Manggarai harus menangkap seluruh aspek. Peluang kehadiran desa di pilkada Manggarai diharapkan mengefek. Mengefek bukan karena dana desa saja. Tetapi mengefek karena isu ‘desa’ di pilkada Manggarai mengefek dan memang hal tersebut yang dibutuhkan masyarakat desa.
Pertanyaannya bagaimana seharusnya desa dibangun dan bagaimana seharusnya desa membangun? Saya menunggu dirkursusnya pada narasi-narasi pemikiran Anda.
*Researcher pada Lembaga Change Operator Manggarai Raya