Editorial, VoxNtt.com-Pemimpin umat katolik seluruh dunia, Paus Fransiskus menyebut sistem ekonomi kapitalisme yang tak terkontrol sebagai bentuk tirani baru dunia.
Salah satu dampak menguatnya gurita kapitalisme ialah ketidaksetaraan ekonomi dan melahirkan kesenjangan sosial yang makin akut. Dengan kata lain, orang kaya makin dan orang miskin tambah miskin.
BACA JUGA: Labuan Bajo di Tangan Tuan-tuan Kapitalis
Kritikan itu Paus sampaikan dalam manifesto yang diterbitkan Selasa (26/11/2013) lalu yang memberikan landasan kepemimpinannya dan menyerukan pembaruan Gereja Katolik.
Dalam dokumen setebal 84 halaman itu, Paus menyerang “pengidolaan uang” dan mendesak para politisi untuk memerangi sebab-sebab struktural dari ketidaksetaraan.
Ia juga mengajak para politisi untuk berjuang terus untuk menyediakan lapangan pekerjaan, perawatan kesehatan dan pendidikan untuk semua orang.
“Seperti larangan membunuh dalam 10 perintah Tuhan memberikan batas yang jelas untuk menjaga nilai kehidupan manusia, sekarang kita juga harus berkata tidak pada penyingkiran dan ketidaksetaraan ekonomi. Sistem seperti itu membunuh,” tulis Paus seperti dilansir dari VoAindonesia.com.
Ditulis dengan gaya bahasa yang sederhana, manifesto itu menampilkan ketidaksetaraan ekonomi sebagai salah satu isu yang paling menimbulkan keprihatinan Paus.
Pemimpin umat katolik sejagat itu menyerukan perombakan sistem finansial dan mengingatkan bahwa distribusi kekayaan yang tidak merata akan mengarah pada kekerasan.
Paus menyangkal bahwa manifesto tersebut merupakan populisme yang dangkal, dan mendesakkan aksi “lebih dari mentalitas kesejahteraan yang sederhana.
“Saya berdoa pada Tuhan untuk memberi kita lebih banyak politisi yang benar-benar terganggu dengan kondisi masyarakat, warga dan kehidupan orang miskin,” tulisnya.
Seruan Paus dalam manifestonya tersebut bukan tanpa alasan melihat cengkraman sistem kapitalisme yang membunuh kesetaraan dan visi kesejahteraan umum (bonum commune).
Sistem yang mengidolakan penumpukan modal lewat persaingan ini, tentu tidak fair di tengah situasi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terjadi sekarang ini.
Salah satu kuasa kapitalisme yang makin menyata dan menggurita di propinsi NTT adalah geliat investasi di Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat, NTT.
Semenjak komodo, biawak purba yang menjadik ikon pariwisata di daerah itu ditetapkan menjadi New Seven Wonders, perhelatan Sail Komodo, Labuan Bajo ditetapkan sebagai 10 Bali Baru dan penetepan Labuan Bajo sebagai 5 prioritas destinasi wisata oleh Presiden Jokowi, geliat investasi semakin menggeliat.
Bahayanya ketika hasrat menumpuk modal finansial kemudian menganaktirikan investasi modal sosial bagi masyarakat setempat.
Hasrat menjadi sangat kaya pun berdampak pada peminggiran penduduk lokal, privatisasi ruang publik hingga ancaman kekerasan dan konflik vertikal maupun horizontal.
Ancaman konflik yang lebih besar turut dipicu oleh rencana peminggiran penduduk lokal dari kawasan Taman Nasional Komodo, privatisasi ruang publik hingga silang sengkarut klaim serta jual beli tanah.
Jumlah pulau di sekitar TNK dan pulau-pulau di wilayah Labuan Bajo mencapai 200-an pulau. Tetapi pulau-pulau di Labuan Bajo itu sudah bertuan. Pulau-pulau ini sudah dimiliki tuan-tuan kapitalis-borjuasi.
Investor yang mengkapling pulau-pulau itu untuk dibangun hotel, resort, villa dengan biaya sangat mahal. Di pulau Kenawa dan pulau Seraya kecil dan Seraya Besar misalnya, sudah dikontrol investor asing dari Italia dan Korea Selatan.
Di Pulau Seraya sudah dikuasai pebisnis hotel asal Yunani, Yannis dan Rozalin Vlatakis (ayah dan putrinya). Di dalam pulau ini mereka membuka sebuah resor dengan biaya biaya bungalow $320 per malam.
Di pulau Kanawa, satu pulau besar sudah dimiliki investor yang dilengkapi dengan hotel, resort dan restoran besar. Rata-rata yang masuk ke Pulau Kanawa ini adalah wisatawan dari Korea Selatan, Hongkong dan Jepang.
Di Pulau Tetawa, investor asing sudah lama masuk, menyewa pulau itu. Tak satupun penduduk lokal yang bisa berkunjung ke pulau itu, kecuali sudah reserved.
Hal yang sama terjadi di Pulau Bidadari. Pulau itu sudah berpindah tangan ke tuan kapitalis asal Amerika Serikat, Ernes Lewandosky. Padahal dalam UU pertanahan asing tak diperbolehkan memiliki tanah kecuali hak sewa.
Di tangan tuan kapitalis, di pulau ini sudah dibangun Bidadari Resort Hotel dengan pengamanan super ketat. Kapal dan pengunjung dilarang keras mendekati kawasan ini. Hanya tamu asing yang telah melakukan reservasi boleh menginjakkan kaki di pulau seluas 25 hektare dengan pasir pantai sepanjang hampir 1000 meter itu (Ferdy Hasiman dalam “Labuan Bajo di Tangan Tuan-tuan Kapitalis” edisi VoxNtt.com, 21/02/2020).
Persoalannya, angka investasi dan wisatawan boleh naik, tetapi tak ada kaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pendapatan per kapita per tahun rakyat Manggarai Barat masih Rp 12 juta per tahun atau rata-rata pendapatan per bulan hanya Rp 1 juta dan sehari Rp 30.000-. Inflasi malah naik 0.4 persen. Artinya, daya beli rakyat Mabar masih rendah.
Data BPS Manggarai Barat tahun 2019, juga mencatat tingkat pendidikan terhitung sangat rendah.
Angka penduduk 15 tahun ke atas yang berpendidikan. Yang tidak berijazah 17.46 persen, ijazah SD/sederajat 41.88 persen, SMP 17.6 persen, SMA ke atas sebesar 23 persen.
Sistem kapitalisme yang menekankan persaingan tentu tidak fair dengan kenyataan masyarakat lokal yang masih miskin dengan jumlah tingkat pendidikan tingkat rendah yang tinggi.
Selain itu masyarakat lokal dipaksa bersaing di tengah kekurangan infrastruktur sosial dasar seperti air, listrik, sekolah, akses kesehatan, jalan, dll.
Bahaya kapitalisme di Labuan Bajo pun pelan-pelan akan menuai kesenjangan ekonomi yang makin akut.
Padahal sudah jelas, negara ini berdiri berdasarkan konsensus bersama untuk menaikan kesejahteraan umum yang dilandasi keadilan dan kemakmuran.
Namun semangat sosialisme Indonesia yang tertuang dalam konstitusi ini hanya menjadi hiasan dan pemanis bibir belaka. Pada prakteknya, liberalisme politik dan ekonomi yang berasal dari induknya kapitalisme makin kuat mengakar.
Pesan Paus Fransiskus di atas sebenarnya senada dengan gagasan bung Karno yang tertuang dalam pidato 1 Juni 1945.
“Barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, hingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasan’ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia merdeka, Wistanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme atau perikemanusiaan saya peras menjadi satu: Itulah yang dahulu saya namakan Sosio-Nasionalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economiche democratie, yaitu demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu sana namakan Socio-Democratie. Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain”
“Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang ini” kata Bung Karno.
Tak hanya sampai di situ, dari trisila ternyata masih bisa diperas lagi menjadi satu (eka sila). Sungguh luar biasa refleksi dan kontemplasi Bung Karno! Apa itu? Soekarno akhirnya menemukan akar dan roh dari negara bangsa Indonesia yakni Gotong Royong.
“Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!” urai Bung Karno.
Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong-royong.
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah ekonomi gotong royong itu terjadi di Labuan Bajo, NTT dan Indonesia umumnya?
Mungkinkah ajakan Paus bagi politisi dan orang kaya di Labuan agar menginvestasikan kekayaannya demi kesetaraan ekonomi bisa terjadi?
Mungkikah ajakan Paus bagi politisi untuk memikirkan dan memperjuangkan lapangan pekerjaan, perawatan kesehatan dan pendidikan untuk semua orang, bisa dihayati dan dinyatakan di Labuan Bajo?
Pada titik yang lebih dalam, semoga seruan Paus Fransiskus bisa menjadi permenungan reflektif bagi kita agar dapat melawan hasrat kapitalisme (Baca: keserakahan dan kerakusan) sehingga terwujudnya sosialisme dunia di bawah payung saling mengasihi.
Oleh: Irvan Kurniawan