Oleh: Mikhael Wora
Pertanyaan seputar apa dan bagaimana kehidupan seminari menimbulkan rasa penasaran bagi setiap orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku seminari.
Seminari yang pada umumya dilihat sebagai lembaga pendidikan berkualitas karena telah banyak melahirkan siswa-siswa berprestasi kini seolah-olah tercoreng namanya setelah peristiwa tidak terpuji yang dilakukan oleh dua orang siswa seminari menengah terhadap adik kelasnya.
BACA JUGA: Kasus Senior Paksa Junior “Cicipi” Tinja di Seminari BSB, Ini 6 Fakta yang Terungkap
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, dua orang siswa tersebut tega menghukum 77 orang adik kelasnya dengan menyodorkan kotoran manusia ke arah mulut hingga membuat mereka muntah-muntah.
Tindakan tidak terpuji oleh kedua siswa seminari menengah kelas XII ini seketika menjadi viral di berbagai media lokal bahkan telah menjadi berita nasional sebab telah ditayangkan di beberapa stasiun televisi.
Peristiwa yang terjadi di lembaga Seminari Menengah Bunda Segala Bangsa (BSB) ini sangat memalukan bagi dunia pendidikan dan Gereja sekaligus mengecewakan bagi semua orang yang telah mengakui kualitas siswa jebolan dari lembaga pendidikan seminari.
Pihak seminari menengah BSB sudah memberikan klarifikasi, yang di antaranya permohonan maaf atas kelalaian pengontrolan dari lembaga dan bantahan terhadap penggunaan kata “memakan” yang dipakai oleh beberapa media untuk menjelaskan tindakan menyentuhkan kotoran manusia ke arah mulut.
Menurut pimpinan seminari menengah BSB, RD Deodatus Du’u, penggunaan kata “memakan” kuranglah tepat. Namun, entah memakan atau menyentuhkan kotoran manusia ke mulut seseorang, hal ini tetap merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi.
Pembantahan terhadap pemilihan kata “memakan” bukan berarti membenarkan tindakan pelaku. Satu hal yang juga perlu diperhatikan ialah tindakan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan lembaga seminari dan lembaga sendiri tidak pernah melegalkan tindakan seperti yang dilakukan oleh kedua siswa tersebut.
Lantas, mengapa sampai sesama siswa seminari “mendapat ruang” untuk mengadili sesamanya?
Sebelum menjawabi pertanyaan ini, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tidak menggeneralisasi semua seminari itu sama sebab pola kehidupan dan aturan yang dimiliki setiap seminari berbeda-beda.
Senior dan Junior
Siapa itu senior dan junior? Perlu diketahui bahwa biasanya di dalam seminari terminologi “senior” dan “junior” seringkali dipakai di antara sesama siswa.
Predikat ini hanya mau menunjukan bahwa adanya pengklasifikasian tingkatan/kelas antara sesama siswa. Namun, predikat “senior” kerap kali salah digunakan di antara sesama siswa seminari.
Istilah “senior” yang seharusnya diartikan sebagai pihak yang menjadi teladan karena kematangan sikap dan intelektualnya pada akhirnya dimaknai secara salah yakni sebagai suatu pengakuan akan tingginya status yang dimiliki oleh seorang siswa terhadap siswa yang berada di tingkat bawah.
Sedangkan istilah “junior” sendiri digunakan untuk status yang paling rendah dan kurang pengalaman sehingga dirasa perlu patuh seutuhnya terhadap apa yang dibuat oleh senior.
Senior secara tidak langsung menjadi penguasa terhadap adik-adiknya yang masih junior. Apa pun yang dibuat oleh senior mesti diakui dan dipandang benar oleh junior. Prinsip ini dibuat dalam dua pasal yang berlaku antara senior dan junior. Pasal satu berbunyi: “senior selalu benar”, sedangkan pasal dua berbunyi: “jika senior salah, maka kembali ke pasal satu”.
Sekali lagi, tentu prinsip ini bukan lahir dari lembaga. Meskipun semua siswa di dalam seminari mengetahui dan mengamininya namun lembaga tidak pernah memberlakukan dan melegalkan prinsip ini.
Apabila lembaga mengetahui adanya tindakan ini maka sudah tentu hukuman dan peraturan yang berlaku dari lembaga akan dikenakan kepada setiap pelaku yang berani melanggarnya. Dengan demikian jelas bahwa peraturan yang dibuat oleh lembaga bertentangan dengan sistem tersembunyi yang diterapkan di antara sesama siswa seminari.
Sistem Tersembunyi
Pertama-tama, perlu diketahui terlebih dahulu mengapa disebut “sistem yang tersembunyi”. Disembunyikan dari siapa? Mengapa sampai tersembunyi?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa lembaga seminari tidak pernah secara legal memberikan kewenangan kepada senior untuk berlaku sewenang-wenang terhadap junior. Pengakuan terhadap kedudukan senior hanya pada taraf kelas/tingkatan bukan pada taraf “kewenangan”.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Otoritas senior diakui dan dijalankan begitu saja di antara sesama seminari. Junior wajib tunduk terhadap senior. Junior tidak bisa dan tidak berani melaporkan kepada lembaga apa pun tindakan yang dilakukan oleh senior terhadapnya.
Jika ketahuan maka konsekuensinya ialah selama ia berada di seminari kehidupannya akan selalu ditindas, di-bully dan menjadi “korban jajahan” dari seniornya. Konsekuensi inilah yang menjadi hal yang menakutkan bagi para junior dan membuat mereka memilih diam hanya untuk mencari kenyamanan.
Keboborokan yang tersembunyi ini lama-kelamaan menjadi suatu budaya yang “diwariskan” turun-temurun setiap tahunnya hanya karena sistem balas dendam.
Hal ini pada akhirnya menjadi semacam rantai yang cukup sulit untuk diputuskan. Bisa jadi sistem yang berlaku di seminari menengah ini akan dibawa terus hingga ke jenjang seminari tinggi.
Memutuskan Budaya yang Salah
Kelalaian dari pihak lembaga kini menjadi sorotan publik pasca kejadian yang memalukan ini. Dengan adanya kejadian ini lembaga pendidikan seminari menengah sudah semestinya dengan rendah hati mengakui kelalaian akan kurangnya pengontrolan terhadap kehidupan semua siswanya.
Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan bersama. Pertama, kelalaian ini tampak pada pemberian kepercayaan yang kurang tepat terhadap sesama siswa. Alhasil, kepercayaan yang diberikan kepada siswa yang juga masih berada di bangku pendidikan ini disalahgunakan olehnya dengan bertindak sewenang-wenang terhadap adik-adik kelasnya.
Peristiwa ini, hemat penulis, tidak mungkin terjadi apabila lembaga seminari menengah tidak begitu saja memercayakan tugas untuk menjaga kebersihan kamar siswa seminari kelas VII kepada siswa seminari kelas XII. Siswa itu sendirilah yang mesti menjaga kebersihan kamarnya dengan tetap berada di bawah pengawasan para pembina (romo/frater). Bukan siswa mengontrol siswa, melainkan pembinalah yang mengontrol siswa.
Kedua, perlu adanya pengawasan yang lebih rutin dari pembina terhadap kehidupan siswa-siswa seminari. Pengawasan ini mesti lebih diperketat agar tidak tercipta ruang untuk saling menghakimi antara sesama siswa.
Ketiga, ancaman yang datang dari siswa senior tentu menciptakan ketakutan dan kecemasan dalam diri siswa junior. Untuk itu, jika ruang pertemuan antara pribadi siswa dan pimpinan masih belum dimanfaatkan secara baik oleh semua siswa seminari maka perlu diadakannya “surat kaleng” dari setiap siswa yang mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh sesamanya.
Meskipun kebenaran dari surat kaleng seringkali diragukan, namun apabila dimanfaatkan sebagaimana mestinya maka surat kaleng dapat menjadi informasi tambahan untuk mengamati fenomena yang terjadi bahkan bisa menjadi jalan masuk untuk menemukan ketidakberesan yang ada di dalam ruang lingkup kehidupan seminari.
Bila memungkinkan, setiap pembuatan surat kaleng dapat didukung dengan data-data/bukti yang lebih akurat agar terhindar dari hoax. Apabila kebenaran dari surat kaleng bisa dibuktikan maka siswa yang bertindak sewenang-wenang patut mendapat hukuman yang setimpal sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam lembaga seminari menengah.
Dengan demikian, “budaya penjajahan” yang selama ini berlaku perlahan-lahan dihilangkan di tengah-tengah kehidupan antarsiswa yang masih berada di bangku pendidikan seminari menengah.