*Puisi-puisi Ischo Frendino
Sakratul Kerinduan
Adalah diriku
Pencinta yang terbelenggu
Di tempat yang paling sunyi
Sejenak menepi
Sekadar menyepi
Sebelum ingatanku benar-benar berlalu
Sebelum akhirnya namaku menjadi abu.
Mea Culpa
Dalam pose keserakahan
Semua hilang dalam lautan ketidakluguan
Keegoisan melumat halus sajak-sajak sakral pagi tadi
Di pintu rumah-Nya kata-kata hilang makna dan lupa diri.
Dan berkali-kali Ia mengingatkanku
7 kali tak cukup untuk menyeka air mata pilumu.
Sebelum suntuk menyembunyikan luka
Cepat-cepatlah mampir ke lorong rasa
Sedari tadi mununggu
Ia lekas berkata tak kenal semu
:: Ketoklah maka pintu akan dibukakkan bagimu
Dan hari ini engkau akan berada bersama Aku di dalam Firdaus
Menuju Titik Kelimapuluh
Di paku salib air mata
Kami berdoa dalam manik-manik suci berirama
Terhitung satu menjejal sepuluh senada
salam menjumpai Maria di pintu senja
Puluhan sajak menjadi jamuan perjumpaan
tangis dan tawa tertambat dalam perngaharapan
beriringan dalam setiap estafet yang dimainkan
Seolah jarak memiskinkan perjalanan
Menjumpai setiap manik kesepuluh
Penyamun itu selalu menyuguhkan secangkir anggur, teduh
sebaris doa kepada Sang pemilik teguh
Terus merapal meminta doa ditahbiskan
Kami terus melumat sajak-sajak pengharapan
basah di kepala dan kecanduan
Seakan setiap tapak adalah pergi dan pulang ke masa-masa purba penciptaan
Untaian-untaian manik semakin jauh
Dan kami berlari di tengah hamparan sajak sakral menggapai subuh
di titik kelima puluh
kemuliaan adalah lantunan menutup yang paling penuh
Mendekat Golgota
kemenangan menghiasi bangku-bangku kapela
Sedang Maria menangis di tungku duka lantaran meminta
Pieta yang beduka cita.
Doa Sang Pendosa
Bapa kami yang ada di Sorga
ajarilah aku berdoa :
Bapa
Dimuliakan namaMu Dari perihal hidupku yang suram?
Dari hidup yang Menyimpan banyak perkara
Dari dosa yang terbungkus dengan tebal kulit jantung yang lebam
Dari dosa yang hampir pecah di hantam hina
Bapa
setelah kuendap rindu di ceruk mataku yang penuh ragu
kurawat segenap dan sepanjang umurku yang berdebu
sebelum diri ini berani bertobat berseteru
dan menggenapkan kecemasan yang telah berladang cemburu
Aku bertamu, di pintumu
Aku bertamu, di sudut kamarku
Dengan cahaya lilin yang paling piatu.
Keperaduan
Pada sepi yang paling terbelenggu
Syukur dan ampun adalah dua kata yang sepakat bersahabat
Sedang Emaus jauh di pintu pagi
Aku mengajakNya bertamu:
Tinggallah bersama-sama dengan ku,
sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.
Jakarta 16/02/2020.
Tentang Penulis
Saya Ischo Frendino, asal dari Larantuka, Flores Timur, NTT. Hobi saya membaca dan menulis. Tertarik dengan tema-tema yang berkaitan dengan Filsafat, sastra dan politik.
Sering menulis puisi di Kompasiana. Saat ini sedang berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Alamat Media Sosial :
Facebook : https://m.facebook.com/ profile.php?ref=bookmarks
Instagram : https://www.instagram.com/isco_frendino.0204/saved/
Gmail : ischofrendino2498@gmail.com.