Oleh: Anugrah Gio Pratama*
Beberapa hari ini saya dibuat gelisah dengan segala unek-unek yang berputar di dalam kepala. Bagaimana tidak? Seseorang yang notabenenya bukan penulis hebat ingin meluncurkan kritik terhadap penulis yang namanya telah dikenal di antero negeri ini. Ada perasaan minder sekaligus takut tentunya. Setelah dipikir dengan matang dan demi melegakan pikiran yang ruwet. Akhirnya keputusan melontarkan kritik dilaksanakan, toh tidak ada salahnya, sebab semua orang berhak berpendapat.
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan pernyataan Tjahjono Widarmanto yang menjelaskan bahwa sajak yang sukses adalah sajak yang berhasil membangun dunia baru berangkat dari penafsiran seorang penyair terhadap realitas kehidupannya. Perkataan membangun dunia baru sepertinya perlu benar-benar direnungkan. Menurut perenungan saya pribadi, membangun dunia baru ialah refleksi dari proses yang panjang sekaligus kerja keras yang tidak main-main dari seorang penyair kepada karyanya. Mari kita lihat bagaimana Joko Pinurbo (Jokpin) berproses. Di awal karier, Jokpin telah ditolak oleh beberapa penerbit untuk buku perdananya, padahal ia telah mengalami proses bertahun-tahun untuk hal itu. Lalu, apakah ia menyerah? Hampir! Tapi, tidak benar-benar menyerah dan tatkala buku perdananya berhasil terbit, nama Joko Pinurbo langsung melejit di jagat sastra Indonesia dengan meraih berbagai penghargaan.
Inilah yang dibutuhkan oleh seorang penyair: kesabaran dan kerja keras. Sepertinya dua hal tadi perlu diingat baik-baik oleh Darwis (Tere Liye) dalam usahanya menjadi seorang penyair, karena sejauh ini ia masih gagal mencapai tujuan tersebut. Mari kita bahas bagaimana Darwis terjun dalam dunia sajak. Kumpulan sajak pertamanya terbit pada tahun 2016 dengan judul Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta. Buku itu mendapat sambutan baik dari masyarakat Indonesia, terbukti buku tersebut mengalahkan penjualan Hujan Bulan Juni karya Sapardi atau Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karya Jokpin. Apakah kualitas isi dari buku Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta telah mengalahkan dua karya penyair di atas? Jawabannya tidak, bahkan sangat jauh. Menurut saya, kumpulan sajak Tere Liye laris hanya karena kekuatan penggemar. Tidak ada yang istimewa dari sajak-sajaknya. Isi yang kurang matang, minimnya penggunaan majas, dan kedangkalan makna membuat saya benar-benar kecewa telah membeli karya tersebut.
Pada akhir tahun 2019, Darwis kembali menerbitkan buku sajak dengan judul Sungguh, Kau Boleh Pergi. Ketika buku itu terbit, ada perasaan resah yang menghinggapi diri ini. Di satu sisi, ada perasaan takut membeli buku tersebut, takut untuk dikecewakan lagi. Di sisi lain, ada keinginan untuk memberi kesempatan kepada Tere Liye sebagai upaya menghargai prosesnya dalam menulis dan belajar. Lalu, apa yang terjadi? Akhirnya saya membeli buku itu dan lagi-lagi dikecewakan. Sepertinya Tere Liye tidak pernah ingin menjadi penyair yang baik, ia hanya ingin sajaknya terbit dan dibaca tanpa kualitas. Mari kita lihat sebuah sajak yang hadir dalam buku terbaru karya Tere Liye sebagai berikut:
//Barang hilang, sungguh aneh perilakunya/Semakin dicari semakin tidak ketemu/Saat dilupakan, diikhlaskan, malah muncul sendiri di depan mata//
Sajak di atas berjudul “Barang Hilang”. Dari segi isi tidak ada yang istimewa, tidak mengandung metafor atau majas lain yang menarik, dan kurang matang dalam pemilihan kata. Tema yang diambil sebenarnya unik namun cara pengemasannya biasa saja, bahkan terkesan seperti penyair amatiran yang baru belajar menulis. Seandainya yang menggarap adalah penyair berkelas, mungkin hasilnya akan jauh menakjubkan. Wajar rasanya jika saya lebih memilih kata quote ketimbang sajak untuk karya Tere Liye.
Pada akhirnya, saya hanya ingin mengingatkan baik itu kepada Tere Liye atau kepada penulis lain yang namanya telah terkenal di negeri ini. Pertimbangkan lagi kualitas daripada produktivitas, karena yang dibutuhkan oleh pembaca bukan ketenaran nama tapi kualitas karya. Akhir kata, semoga ini bermanfaat. Mohon maaf jika dalam tulisan ini banyak kekurangan dan lain sebagainya. Terima kasih.***
Tentang Penulis
Anugrah Gio Pratama lahir di Lamongan pada tanggal 22 Juni 1999. Sekarang ia sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Karyanya telah dimuat di beberapa media massa. Karyanya yang terbit berjudul Puisi yang Remuk Berkeping-keping (Interlude, 2019).
No HP: 081513650233