Editorial, Vox NTT-Virus corona datang bagai malaikat penjemput nyawa. Wabah yang belakangan melanda dunia ini, serempak menciptakan pedih bagi penghuni kolong langit bumi.
Insan manusia dibuatnya ketar-ketir. Huru-hara sejagat membahana menanti datangnya wabah.
Wuhan, sebuah kota di Cina yang terletak di lembah Sungai Yangtze, menjadi petanda awal prahara menyapa. Semenjak kemunculannya, kabar itu melesat ke segala arah, hingga tiba di Indonesia.
Jokowi resmi mengucapkan selamat datang corona, kala dua warga Depok tersasar wabah dari sejawat mereka asal Jepang.
Kabar teranyar, wabah itu menular saat latihan dansa. Dansa yang seharusnya membawa suasana gembira, malah mendatangkan musibah.
Tak lama setelah penularan dua warga asal Depok, seluruh negeri jadi riuh tersulut rasa takut.
Masyarakat hiruk pikuk memboyong masker penutup mulut meski harganya tak tanggung-tanggung.
Penimbun meraih untung, di tengah ketakutan rakyat miskin yang buntung.
Pemerintah pun tak kalah siaga, tercatat jumlah kasus positif virus corona per Minggu (8/3) bertambah sebanyak dua warga. Dengan demikian, penderita Covid-19 meningkat menjadi enam kasus di Tanah Air.
100 rumah sakit disiagakan di seluruh negeri. Pengadaan alat diperbanyak agar wabah tak bertambah.
Di NTT, terdapat dua rumah sakit yang siaga. RSUD Prof. Dr W.Z Johannes Kupang dan T.C. Hillers Maumere.
Belakangan, pemda makin mantap bersiaga dengan menambah tiga rumah sakit rujukan. Rumah sakit Komodo Labuan Bajo, rumah sakit Umbu Rara Meha di kawasan Sumba, dan rumah sakit Gabriel Manek di Atambua, sebagai penjaga di pintu batas.
Dukungan dana juga ikut bertambah. 4 miliar yang akan dikeluarkan dari anggaran tak terduga, siap melayang mengantisipasi wabah.
Dana itu diperuntukan pembangunan ruang tekanan negatif, peralatan kesehatan, alat perlindungan diri petugas, hingga laboratorium.
Naas, di tengah hingar bingar persiapan corona, suara duka seperti berbisik dari Maumere, Flores.
Sebelum corona menyapa, warga Maumere sebenarnya sudah KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan virus dengue.
Hingga kini, sudah 13 kematian tercatat akibat demam berdarah. Lebih ganas dari wabah corona. Sementara korban yang dirawat, naik dari 1.147 kasus menjadi 1.173 kasus.
Selain memakan korban, DBD Sikka juga menguras anggaran daerah. Dana sebesar Rp 1,8 miliar lenyap untuk KLB tahap pertama.
Belakangan, bupati Sikka, Robby Idong, akan memperpanjang masa KLB karena tak mempan di tahap awal.
Di Indonesia, jumlah kematian akibat demam berdarah hingga Senin (9/3/2020), mencapai 99 orang.
Dari jumlah itu, 31 kasus kematian terjadi di NTT dengan jumlah kematian tertinggi di Kabupaten Sikka.
Tak hanya Sikka, kabupaten di pintu batas, Belu, juga dilanda wabah.
Total kematian akibat DBD sebanyak dua orang. Keduanya merupakan pasien berusia anak.
Saking banyaknya penderita, rumah sakit Gabriel Manek Belu kehabisan ruang rawat. Di ruang inap anak, sejumlah pasien terpaksa dirawat di lorong-lorong.
Sementara di Ende, Kepala Dinas Kesehatan, dr. Muna Fatma melaporkan kasus DBD bertambah menjadi 70 kasus.
Ia menyatakan, petugas telah melakukan pendataan serta mendeteksi asal mula nyamuk yang membawa virus dengue.
Masih banyak lagi kasus DBD di NTT. Sebarannya pun hampir menyasar ke semua daerah. Petaka yang sesungguhnya sedang menyapa.
Bukannya mau menganggap biasa corona, bukan. Faktanya, demam berdarah memang lebih ganas memangsa nyawa.
Bukannya tak takut sama corona, sekali lagi bukan. Nyatanya, 99 nyawa melayang dimangsa demam berdarah.
Corona tentu kita waspada, tetapi jangan sampai ketakutan kitalah yang paling mematikan. Ya, namanya virus pikiran. Virus jenis ini menyebar lebih cepat dan memangsa lebih cekat.
Ia tak kenal jarak, ruang dan waktu. Ia bisa menyasar ke memori paling inti otak manusia. Ketakutan massal pun menjadi wabah paling akut dibandingkan corona itu sendiri.
Jangan sampai kita lebih tanggap kecemasan akan corona dari pada 99 nyawa yang melayang akibat demam berdarah.
Jangan sampai energi dan dana milyaran rupiah lebih siaga menangkal corona dibandingkan ancaman nyawa demam berdarah yang terpampang di depan mata.
Penulis: Irvan Kurniawan