Vox NTT- Tiga perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) pariwisata perhotelan diadukan ke DPRD Sumba Barat, NTT oleh masyarakat.
Ketiga perusahaan itu di antaranya PT Indonesia Adventure Sport (Hotel Nihi Sumba), PT Graha Sukses Pratama (GSP), dan PT Sutera Marosi Kharisma (SMK). Ketiganya diadukan ke DPRD lantaran diduga telah mencaplok lahan milik warga di Selatan Sumba Barat.
Merespon pengaduan ini, DPRD Sumba Barat kemudian menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin (09/03/2020). RDP berlangsung di ruang rapat DPRD setempat.
Hadir dalam RDP itu Yayasan Kajian dan Bantuan Hukum (YKBH) Sarnelli dan Walhi NTT, serta masyarakat.
Dalam RDP ini juga turut mengundang 3 (tiga) perusahaan PMA pariwisata perhotelan yang dikabarkan tengah berkonflik dengan masyarakat setempat.
Umbu Tamu Ridi, kuasa hukum masyarakat dalam rilis yang diterima VoxNtt.com mengaku,
pimpinan PT SMK dilaporkan tidak hadir dalam RDP, meski memang telah diundang oleh DPRD Sumba Barat.
Menurut dia, ketiga perusahaan itu diadukan oleh sejumlah masyarakat di DPRD Sumba Barat atas dugaan pencaplokan tanah milik warga di Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya oleh PT SMK.
Luas lahannya mencapai 20-an hektare, termasuk tanah ulayat. Di Desa Patiala Bawa juga diduga PT GSP mencaplok lahan seluas 50 hektare.
Selanjutnya, di Desa Hobawawi Kecamatan Wanukaka oleh PT Indonesia Adventure Sport (Hotel Nihi Sumba), kurang lebih 16.700 M2.
Umbu menilai, persoalan investasi pariwisata di Selatan Sumba Barat telah menimbulkan permasalahan hukum, sosial, dan ekonomi warga setempat.
“Sejak tahun 2017 hingga tahun 2020, kami menemui persoalan besar di bidang agraria yang sudah sejak lama tidak ada penyelesaian oleh Pemerintah Daerah Sumba Barat,” ujarnya.
Parahnya, kata Umbu, hingga kini terhitung ada 17 Laporan Polisi (LP) oleh investor terhadap 30 orang warga setempat. Dalilnya adalah penyerobotan lahan milik investor.
Laporan tersebut dikabarkan masih dalam tahap penyelidikan oleh Polres Sumba Barat.
Umbu menegaskan, kasus ini berkaitan dengan pencaplokan tanah milik warga.
Dikatakan, secara komunal ada 2 buah kampung adat yang masuk dalam Hak Guna bangunan (HGB) PT GSP. Tempat ritual/ibadah kepercayaan marapu, lahan produktif pertanian dan perkebunan lahan kering juga diduga dicaplok investor.
Selain upaya pencaplokan, lanjut Umbu, ada transaksi yang tidak adil antara investor dan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
Investor hanya membayar lahan warga dengan uang 10 juta rupiah (uang sirih pinang) dan tidak sesuai ukuran lahan milik masyarakat yang ingin dilepas atau dijual.
Parahnya, dalam kwitansi penerimaan uang sirih pinang itu tidak ada sama sekali klausul bahwa uang tersebut sebagai bagian dari kesepakatan jual beli lahan antara investor dan masyarakat.
Kendati demikian, lanjut Umbu, investor menjadikan bukti tanda tangan penerimaan uang sirih pinang sebagai bentuk kesepakatan pelepasan hak atas tanah.
Selain itu, kwitansi tersebut dijadikan investor sebagai syarat penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat.
“Celakanya, BPN Sumba Barat tidak melakukan penelitian, apakah tanah-tanah yang diklaim perusahaan adalah tanah sudah terjual atau belum, sehingga dari kecerobohan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat telah mengakibatkan 2 buah kampung adat, tanah pemali/ulayat, lahan pertanian produktif dimasukan dalam Hak Guna bangunan (HGB) perusahaan. Padahal tanah-tanah tersebut sama sekali tidak pernah dilepaskan baik dari tahun 1994 sampai sekarang,” urai Umbu.
Sebab itu, pada kesempatan RDP tersebut pihak Umbu meminta BPN agar membuka seluruh status tanah perusahaan.
Hal ini untuk memastikan alasan HGU perusahaan ada pada tanah ulayat, sawah dan kampung adat warga.
Frengky, Kepala seksi infrastruktur BPN yang hadir pada kesempatan RDP menegaskan, BPN Sumba Barat tidak tahu soal jual beli lahan.
“Bukan kami BPN yang menjaga bapa mama punya tanah, tapi kami hanya jaga dokumen, selama ini masyarakat menyalahkan kami saja, tiap ada masalah datang tanya BPN, kalau masyarakat sudah jual ya jual,” tegas Frengky
Pada kesempatan itu, sontak beberapa anggota DPRD meminta BPN agar fair dalam memberikan klarifikasi.
Lazarus Bulu anggota Fraksi Partai Golkar meminta BPN agar tidak mencuci tangan atas peristiwa ini.
“Wajar kalau masyarakat menyalahkan, sebab yang memiliki kewenangan pengukuran dan administrasi pertanahan adalah BPN, jadi jangan seolah ingin berdebat dengan kami,” tegas Lazarus.
Senada dengan dia, anggota DPRD Fraksi NasDem Lukas Lebu Gallu meminta BPN untuk membuka siapa-siapa yang telah menjual tanah-tanah ulayat, sehingga menerbitkan HGB.
Sebagai informasi, kesimpulan dari RDP ini diputuskan bahwa DPRD akan melakukan pengecekan dalam dokumen/laporan tertulis yang akan disampaikan oleh YKBH Sarnelli dan Walhi NTT. DPRD juga berjanji akan melakukan RDP lanjutan.
Sumber: Press Release
Editor: Ardy Abba