*) Puisi-puisi Ovan Setu, O.Carm

 

Teruntuk Malam yang Sebentar Lagi Berpamitan

Senja tadi, mengajakku beranjak bersama detik

Mengulang semilir angin malam yang terus ber-desas – desus

Aku yakin ia akan pergi meninggalkan rembulan

membiarkan bintang jadi dingin bersama tetesan embun yang jatuh dari matanya

dari bilik doa kudengar samar-samar mazmur berkidung

saling menyahut dalam hening

alunan akor mayor dan minor berirama mendendangkan – memecahkan massa dalam khusyuk

Di balik kamarku terdengar lantunan nada malam

Membentuk jemari terkatup tak ada komat – kamit di sana

Hening seirama dengan tetesan embum

Paling tidak malam telah menjadi nyanyian paling merdu dari doaku

Dan mimpiku jadi puisi paling damai saat aku terlelap

 

Kemarin, kucumbu mesra pagi dengan hangat ranjang malamku

Menuliskan kenangan bercinta dengan ingatan

Sedang diamku yang panjang menjamur tanpa kedaluwarsa

Bait-bait panjang dan pendek telah bersekongkol dalam diaryku

 

Malam tadi, aku ingat betul

Puisi itu tak bisa jujur

Terlalu kaku membaca ingatan

Terlalu panjang bahkan kebelet ingin berakhir

Sudah pertengahan jalan, jariku kambuh membasuh tubuh

Pada cermin di ketiak tubuh yang semakin jauh

Aku ingat esok masih ada pagi dan malam

Semoga ia tak benar-benar pamit dan pergi

Mageria, 13 Maret 2020

 

Ada Rindu Untukmu

Jauh di antara batas waktu dan jarak

Kudengar samar suaramu

Apakah kau lupa tempat di mana ibu dan ayahmu duduk bersama

Membasuh air matanya dan mengahapus air mataku

 

Di sudut matamu rindu berdiam

Bibirmu jadi jarak tempat kita bercumbu dalam canda

Sedang matamu tak ingin jujur

Tinggal tubuh membaca hatimu dengan resah

Puisiku masih terlalu panjang

Saranku dengarlah lonceng alaram tangamu

Hangatnya berdiam dalam dekapan sang bunda,

ia menyebut namaku di sepanjang hidupnya

 

Ingin kusulam rindu dengan puisi pada benang-benang jahitnya yang kian menua

Ia sendiri pun mulai menua menenun doa-doa itu tanpa lelah

Rahimnya menyimpan banyak kisah

Salah satunya tentang masa kecilku yang tak mungkin meng-asi lagi

Dalam rahim yang semakin tua, sekalipun ia begitu ranum

 

Rambutnya satu per satu memutih

Kulit legamnya mulai berminyak dan keriput

Sedang matanya perlahan-lahan buram

Dan air matanya berdiam dengan kekal

Juga senyumnya menyimpan seribu bahasa

Ibu, di segala tempat

Pada segala ruang

Di antara beberapa waktu sekalipun jarak itu luas dan panjang

Bibirku tak pernah keluh – keruh – atau mungkin membisu

Jiwaku membatin Doaku tak panjang juga tak begitu singkat

“Tuhan, Ibuku semakin menua, senjanya terbaring kekal bersamanya

Jika kau mengijinkan aku menciumnya, beri aku satu waktu

mengajaknya kencan dalam doa yang selalu ia sisipkan setiap pagi hingga hari menutup petang

doa yang kekal teruntuk seorang anak.”

Terima Kasih, Ibu

 

Bunda Dalam Keterasingan Dunia

Ibu…

Bising jalan, berdebu dan abu yang berterbangan

Di sepanjang ruas jalan terkenang slogan-slogan

Ramai sandiwara yang bereklame

Di luar batas kota, pemukiman kumuh tinggal nyaman

Para pengaso jalan menjejal jemari dalam sobekkan-sobekkan benang

Tak ada ada upah menjahit, juga tak ada tuan yang menuangkan tetesan dahaga

Dan air matamu, mengalir deras

Membasah hingga membasuh, mata jadi bisu dan mulut jadi karam juga jemari-jemari kaki jadi letih sedang rambut-rambut yang tak sempat bercermin pergi menua dengan rupa-rupa wajah yang terlalu dini disapa “Pak Tua” atau “Nenek Tua” bak lagu: “nenek sudah tua, giginya tinggal dua……”

 

Bising kota, gelap kelabu taman kota

Di antara jemara-jemara yang semakin mengering

Dua insan saling bercakap – cakap

Satu mempersembahkan puisi dan satunya lagi mempersembahkan doa

Dua-duanya saling mempersembahkannya dalam tangisan seperti sebuah teater dalam judul “Kota Mati.”

 

Ibu…

Ada doa yang dipenggal kepalanya

Dan mulut disumbat

Juga otaknya diperdagangkan dalam logam emas, perak dan tembaga

Bahkan rupiah jadi barter tubuh yang Anakmu ciptakan ini.

Rupiah, tak lagi suci

Mata jadi pelacur

Tangan jadi pencuri

Tubuh jadi pengemis

Sedang rambit jadi rupawan

Nasib seolah teka-teki antara yang ber-rupiah-an dengan yang ber-daun-an

 

Ibu

Ada cerita di sepanjang ruas jalan

Ceritanya sederhana:

“Anak seorang anak umurnya sekitar 12-an tahun. Namanya Gemis sedang ayahnya biasa disapan Pe mungkin saja singkatan dari Petrus si penembak jitu itu, konon sih diceritakan oleh guru agamaku demikian. Ibu anak itu telah lama melacur di jalanan, menjual pisang goreng sambil menjajahkan suara dengan begitu merdu. Nama ibunya Siti. Keluarga ini hidup di alam terbuka – berkumuh diemperan kali ibu kota. Di sana begitu nyaman nyamuk juga bakteri-bakteri kumal yang sekamar dan serumah dengan mereka. Namun, suatu ketika Gemis, anak wanita itu telah membusuk dalam rupiah. Kemudian otaknya jadi rakus, tanganya suka mencuri, pikirannya melalangbuana, matanya melacur ke sana ke mari dan tubuhnya sendiri telah jadi jasad saat ayah dan ibunya pergi lima tahun mencarinya tak kunjung pulang.

 

Ibu

Tinggalkan saja kota kami,

di sini ada lubang yang mengangah

dimana-mana ada rupiah yang berhamburan

berceceran sepanjang jalan

pergi saja, jika kau tak ingin menangis dan mengasuh kami dalam asi-mu

pergilah, jangan biarkan tubuh rahimmu itu ternoda – nista yang keji

 

Ibu

jika kelak rahimmu kembali mengandung

izinkan ia tinggal selamanya dalam rahimmu

menghitung hari bersama pagi dan malammu

mencatat diary dalam tetesan air matamu

mengarang puisi bersama lelapmu

dan menyanyikan mazmur-kidungmu dalam doamu sepanjang hari

 

Ibu

beri kami rahimmu, biar kelak di ruas jalan

sepanjang mata memandang ada slogan wajahmu

“Bunda yang berbelaskasih”

Doakanlah kami anak-anakmu ini.

Tentang Penulis

Ovan Setu, O. Carm merupakan seorang Imam Karmel. Saat ini beliau adalah Kepala Sekolah SMPK Alvares Paga dan beliau menetap di Rumah Ret-Ret Mageria, Maulo’o – Paga.