Editorial, Vox NTT–Dipilih, Dipecah dan Dibagi. Tiga kata ini setidaknya mewakili kerinduan umat katolik Manggarai setelah kurang lebih dua tahun mengembara tanpa seorang uskup definitif.
Yang terpilih itu sudah ada di hadapan umat. Ia adalah Mgr. Siprianus Hormat, Pr, pastor kelahiran Manggarai 16 Juli 1966.
Barangkali menjadi seorang Uskup bagi Romo Sipri, bukanlah suatu cita-cita sebab tidak ada formasi apalagi sekolah khusus untuk menjadi Uskup.
Meski demikian, Romo Sipri dipanggil dan dipilih menjadi Uskup, karena memiliki suatu keistimewaan, dalam hal iman, intelektual, moral dan kebijaksanaan hidup. Singkat kata, ia diyakini dan merasa diri mampu menjadi imam, nabi dan raja bagi domba-dombanya.
Dilantik menjadi seorang uskup bukanlah tujuan akhir, melainkan awal bagi Mgr. Sipri untuk memulai tugas penggembalaan.
Pertama-tama, Ia harus merelakan dirinya untuk dipecah. Mgr Sipri harus siap menderita dalam tugas dan tanggung jawab besar yang ditimpakan kepadanya.
Pemecahan diri dapat dimaknai sebagai totalitas dan kesiapan untuk menyentuh semua kalangan yang beragam dari sisi ekonomi, suku, agama, budaya, ras, golongan maupun ideologi.
Ia dituntut untuk hadir dan menyelesaikan keberagaman masalah umat dan mampu mengantarkan mereka ke jalan keselamatan di tengah dunia yang sedang dilanda kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, kemerosotan moral dan ketegangan sosial akibat berbagai isu sosial-politik yang tak menentu.
Tak cukup dipecah-pecah, sebagai seorang uskup, Mgr. Sipri juga harus merelakan dirinya untuk dibagi-bagi. Ia harus mampu menjadikan dirinya sebagai pembawa berkat bagi semua orang. Semuanya itu dikerjakan dengan rendah hati dengan tetap berpedoman spiritualitas Yesus. Dengan kata lain, rahmat tahbisan uskup yang diterima Mgr. Sipri adalah hadiah yang siap dibagikan kepada sesama terutama umat katolik di Manggarai.
Tugas itu memang berat di tengah berbagai tantangan dunia saat ini. Namun sebagai seorang murid Kristus, keteladanan Yesus bisa menjadi rujukan.
Butuh 40 hari bagi Yesus untuk bersemedi, melakukan pengendapan, dan sesudahnya mengambil keputusan penting. Setelah itu, Ia turun ke tengah masyarakat untuk melakukan gerakan sosial dan melakukan advokasi terhadap ketidakadilan, korupsi, kemorosotan moral dan penindasan yang dilakukan penguasa Romawi di zaman itu.
Yesus mengajarkan tentang keharusan pengikutnya untuk keluar dari zona nyaman meski ia tahu akan mati di kayu salib. Misi heroik ini semata-mata dilakukan demi keselamatan dan pembebasan manusia di Bumi.
Keluar dari zona nyaman juga berarti harus ‘lepas-bebas’ dari segala macam ‘belenggu tubuh’ yang bisa saja menjauhkan uskup Sipri dari misi pembebasan. Sebelum membebaskan orang lain, Ia harus mampu membebaskan dirinya dari jeratan ‘gairah-gairah dunia” yang sifatnya semu dan sesaat.
Namun sayangnya, Mgr. Sipri bukanlah Yesus yang punya sisi ke-Allah-an dalam dirinya. Ia hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kelemahan, noda dan dosa.
Karena itu, doa dan dukungan segenap kalangan sangat dibutuhkan agar tongkat kepimpinan yang diserahkan kepadanya, bisa melahirkan perubahan sosial serta mampu menghadirkan kerajaan Allah di Bumi Manggarai. Semoga. (VoN).