Ruteng, Vox NTT – Omnia In Caritate, Lakukan segala pekerjaanmu dalam kasih. Itulah tema yang diangkat dalam penahbisan Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat, Pr.
Di sela kesibukan menjelang penahbisan, Uskup Sipri masih sempat menceritakan curahan hatinya dan alasan di balik tema Omnia In Caritate itu.
Perasaan pertama Mgr. Sipri merasa bersyukur, sebab Tuhan memilihnya untuk menjadi Uskup di Keuskupan Ruteng. Sementara ia mengaku hanya sebagai ‘manusia biasa-biasa saja’.
‘’Mengapa saya harus dipilih? Inilah yang perlu saya renungkan dalam seluruh perjalanan kegembalaan saya ke depan. Why me? Why we not the others? Di situlah rancangan agung Tuhan dalam kehidupan saya, itulah yang saya syukuri,’’ kata Mgr. Sipri sebagaimana dilansir dalam Youtube Komsos Keuskupan Ruteng.
Kedua, ada perasaan berkecamuk ketika ia pertama kali disampaikan bahwa dipilih menjadi Uskup di Keuskupan Ruteng melalui nuncio (lembaga yang merupakan sebuah perwakilan diplomatik yang setara dengan kedutaan besar, yang mewakili Tahta Suci) di Jakarta.
Uskup Sipri selalu mengibaratkan perasaan saat itu adalah netral, pikiran tak bisa bekerja, perasaan pun tak ada sama sekali, ada galau.
Tapi ia meyakini mungkin inilah proses Tuhan yang membentuk dirinya. Sebenarnya ia mengaku tidak punya apa-apa.
Bagi Uskup Sipri kalau Tuhan memanggil, maka semuanya pasti akan berjalan dengan baik sesuai dengan rancanganNya.
Karena itu, pergumulan ini cukup panjang, tetapi ketika dibawa dalam doa, ia serahkan kepada Tuhan.
‘’Tuhan saya tidak bisa lari, di mana tempat di bawah kolong langit ini tempat saya bisa bersembunyi pasti tidak ada,” ucap mantan Sekretaris eksekutif KWI periode 2016-2019 itu.
Saat itu, ia mengaku teringat kembali akan sumpah penahbisan ketika ditahbiskan.
Memori tersebut membuatnya mengambil pilihan bahwa seluruh hak, ia serahkan kepada gereja melalui Uskup. Seluruh keputusan mengenai tugas panggilan, ia serahkan kepada ibunda gereja. Itulah yang membuatnya menjadi teduh dan aman kembali.
Lalu ketika memilih motto saat ia menjadi imam ‘’Segala Perkara kutanggung di dalam dia yang menguatkan saya’’ (Filipi, 14:13).
Menurut dia, motto ini sebenarnya dipilih lebih dari ungkapan seluruh spirit karya yang dibangun ketika ia menjadi imam.
Seiring perjalanan waktu, Uskup Sipri mencoba mengolahnya. Ia mengelaborasi dengan pengalaman- pengalaman perutusannya sebagian besar di rumah formasi dan bersama dengan calon-calon iman. Kemudian di kampus bersama dengan mahasiswa yang bermayoritas calon imam.
‘’Saya coba elaborasi seperti apa sih perkara yang dihidupi, tetapi kekuatannya selalu ada pada Tuhan,’’ tandas Uskup kelahiran Manggarai, 16 Juli 1966 itu.
Ketika beralih ke KWI, hal yang sama coba ia jalani. Tetapi akhirnya menemukan satu core (inti), bahwa sebenarnya kehidupan ini seluruh kekayaan misterinya adalah karena kasih Tuhan.
Yang telah rela merendahkan diri tetapi akhirnya berpuncak pada mengorbankan diri. Menurut dia, kasih itu harus sedapat mungkin mengambil dua jalur yakni, ‘’Merendahkan Diri dan Berkorban’’.
‘’Hanya atas dasar itulah maka kasih itu tidak hanya menjadi kata isapan jempol, tapi benar-benar menjad spirit dalam berkarya,’’ katanya.
Kemudian kasih itu, ia lebih melihat implikasinya kelak ketika menjadi Uskup Ruteng.
Ia menjelaskan, Ruteng dengan beragam latar belakang. Ruteng dengan beragam dinamika yang berjalan. Keuskupan Ruteng dengan bentangan sejarah panjang.
Para tokoh ada di Keuskupan Ruteng. Pristiawa-pritiwa ada di sini dan berbagai macam hal, termasuk dinamika itu berjalan sampai ke 108 tahun.
Bagi Uskup Sipri, segala hal ini menjadi kekayaan dan legasi berharga dari semua tokoh. Baik itu para Uskup pendahulu, maupun para pendidik yang membuat bumi Nuca Lale (Manggarai Raya) ini menjadi seperti sekarang ini. Perkembangan itu tentu saja tidak luput dari elaborasi gereja dengan pemerintahan setempat.
‘’Mulai dari kerajaan-kerajaan awal sampai kepada Bupati. Nama-nama mereka ada saya catat, tentu saya tidak bisa deretkan satu-persatu. Di tingkat yang lebih tinggi, di tingkat prvinsi kita juga memberikan putra terbaik hasil dari rahim bumi Nuca Lale ini, hasil elaborasi gereja dengan pemerintah dan semua tokoh khususnya pendidikan, kita bisa mengirim putra terbaik menjadi Gubernur NTT dalam hal ini Bapak Ben Mboi,’’ terangnya.
Semua ini dari latar belakang yang beragam. Kedatangan Uskup Sipri di Ruteng ingin merajut dan menyambung kembali sejarah ini. Karena itu perlu melihat legasi berharga dari sejarah rentangan waktu 108 tahun ini.
Mulai tokoh-tokoh, pribadi-pribadi melalui penggalan-penggalan sejarah. Setiap penggalan, setiap tokoh, kata Uskup Sipri, mewariskan narasi agung bagaimana dinamika kehidupan gereja lokal, hingga sampai sekarang ini.
‘’Karena itu sekali lagi saya datang pertama-tama untuk melihat bentangan sejarah ini. Saya datang membawa hati saya, saya datang untuk melihat, belajar saya harus mula dari titik mana, menyambung kembali semua bentangan kekayaan yang diwariskan oleh para tokoh yang saya sebut selalu menjadi flamboyannya Manggarai ini, baik itu dalam diri para gembala pendahulu maupun dalam diri para tokoh awam yang mempunyai jasa besar di bidang pendidikan dan pemerintahan,’’ jelas Uskup Sipri.
Menurut Uskup Sipri, yang paling khas sebenarnya di Manggarai adalah warisan agung tentang inisiatif untuk berinkulturasi. Itu sejak 1930-an. Gereja lokal Manggarai sudah mempunyai satu buku untuk liturgi namanya ‘Dere Serani’.
Dere Serani inilah yang kemudian menjadi legasi berharga hingga saat ini. Karena itu mulai dari detik inilah para tokoh kemudian coba melihat seperti apa gerangan, inisiatif agar warta tentang keselamatan Tuhan itu membumi di gereja lokal Nuca Lale.
Tekadnya cuma itu, merajut kembali sejarah. Dia ingi mencoba menyambung kembali legasi. Tetapi juga mencoba mulai dari titik mana, semuanya harus dalam spirit kasih.
Sehingga elaborasi dengan berbagai macam tokoh, baik pemerintah, masyarakat, adat, maupun semua umat, bisa bangun di atas spirit kasih. Karena hanya itu yang bisa menjembatani semua perbedaan dan semua kepentingan.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba