*) Cerpen Fr. Chan Setu, SVD
“Jauh sebelum kau dan aku saling menjaga jarak, aku rasa kita telah lama mendiami waktu dengan jarak yang terbentang luas. Ketika waktu mengisi air mata kita dengan doa, aku rasa telah sekian lama kita memelihara doa dengan damai dan mendiangkan puisi hingga tanpa terasa hari ini, kau dan aku, dia dan mereka serta kita dengan semuanya menjadi seperti tembok yang kokoh di antara ribuan kota yang telah lama mati. Bukan saja baru-baru ini tetapi telah lama kota kita mati.”
***
Bagaimana kabarmu hari ini, Karin? Semoga kau baik-baik saja. Aku di sini, begitu ragu dan mencemaskanmu. Pada malam yang berlalu ada lilin yang terang benderang di atas meja dan ada seribu doa yang terbaring ramai bertabrakan sepanjang gigi dan bibir. Semoga kau baik-baik saja.
Sejak seminggu yang lalu, kau tak pernah mengabariku tentang segalanya sedang aku di sini, jauh dari keramaian ibu kota dan hiruk pikuk kendaraan dengan kediaman yang tak benar-benar terjaga ada cemas, ada gelisah, ada harap juga ada doa semoga kau membaca setiap kerinduan, setiap kecemasan dan setiap harapan yang terpampang di chatingan, inbox dan email-mu namun semuanya sia-sia. Tanyaku berulang kali, “bagaimana kabarmu hari ini, Karrin?”
Sejak seminggu yang lalu, aku dan Karin tak pernah saling mengabari tepatnya aku tak pernah lagi menerima kabar darinya. Dan selama seminggu itu, jauh di pedalaman desa aku membaringkan seribu doa yang tak sempat diucapkan kepada lilin dan angin yang meniupnya jadi dupa kematian. Bagaimana kabarmu, Karin? Sedang jauh di sana, di dalam berbagai channel televisi ibu kota dan kota metropolitan ramai membicarakan perhelatan politik dan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin merosot sesekali ada reklame-reklame lelucon hasil imajinatif perusahan industri untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya.
Namun, malam ini suasananya semakin beda. Setiap sinetron, berita dan reklame yang kutonton dari channel ke channel tak mampu menghilangkan suasana kerinduanku. Jarak dan waktu sedang ramai bersekongkol membuat pikiran juga perasaanku di aduk-aduk sedang tak sekali-kali atau seharipun diberi jeda untuk kita bersua meski lewat video call.
Kini, seminggu telah berlalu. Rutinitas massa begitu ramai, di desa ada kelompok-kelompok tani yang siap menyaingi lahan mereka yang telah lama kosong sedang di gereja ada kelompok-kelompok doa yang ramai bercerita dan berbicara damai dalam doa-doa mereka bahkan di sepanjang jalan menuju sekolah ada sekelompok pelajar dengan riang berbicara dan bercerita seputar tugas sekolah, pekerjaan rumah juga guru-guru yang jadi obralan ramai dari bibir ke bibir.
Hari demi hari, suasana dan kedamaian di desa jadi kian akrab tak satu pun ketegangan meliputi dunia kecil ini. Entah satu dua kali aku selalu mengingat masa-masa kita dulu. Mengenang hari-hari awal kita meretas masa depan, mencari dan mengejar impian yang sedang jauh bahkan memungut remah-remah kecil yang jatuh di sepanjang papan tulis dan menjadikannya sebagai bekal untuk diisi di dalam saku baju dan celana kita. Dan dulu kita tak seperti sekarang yang mana anak-anak didik ramai men-cengeng di hadapan kedua orangtuanya untuk menggantikan seragam merah-putih atau putih-biru maupun putih – abu-abu yang barangkali telah tersobek atau disobek atau mungkin saja yang telah ternoda tanpa bisa dibersihkan lagi bahkan sepatu jadi satu-satu persyaratan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus ditaati oleh orangtua dan juga anak-anak khususnya.
Ah, terasa lucu jika mengenang kembali masa-masa kita yang dulu ketika ke sekolah tanpa mengenakan seragam seperti saat ini, bahkan mengenakan sandal jepit atau sama sekali tidak mengenakan alas kaki. Bermodal kaki baja dengan garis-garis kecil sepanjang tumit dengan balpoin dan buku di tangan kita melangkah gontai, setiap hari kita merebut waktu dan memaksa waktu untuk berjalan lambat, mengikuti irama keinginan kita dan tak ingin telat bahkan tak ada yang berkeinginan untuk memposisikan dirinya di belakang semua ramai berkejaran dan berhamburan hingga berebutan kursi di barisan depan. Dan aku selalu ingat, kau selalu menjadi siswa yang dinomorsatukan oleh para guru bahkan oleh sekolah dan teman-teman seangkatan kita sejak mereh – putih, putih – biru hingga ke putih – abu-abu.
Banyak diantara kami yang cemburu dan berambisi seperti dirimu, sayang kita seperti tak diciptakan untuk seirama. Tak ada yang mampu melampaui barisanmu selangkah ataupun bersampingan. Kau selalu menjadi nomor satu dan aku, aku seperti seorang anak kecil yang baru mulai merangkak dan tak mampu berjalan sendiri selalu ditopang dari waktu ke waktu. Aku seperti mengikutimu dari belakang tapi samar-samar. Yang ketika ditoleh tak terlihat hanya mampu dirasakan. Ah, Karin, aku ingin mengenang masa itu saat ini ketika waktu dengan damai mendekatkan masa lalu dalam ingatan tapi sayang jarak tak mampu membawa waktumu untuk berada di sampingku.
“Chandra, Chandra…” samar-samar namaku dipanggil. “Chandra, coba telepon Karin dan tanya bagaimana kabarnya?” memangnya ada apa Kak Jo, “tanyaku lanjut”, sambil was-was, jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengan Karin.
Kak Jo merupakan tetangga kami yang baru saja pulang dari Malaysia sebulan yang lalu. Setelah bertahun-tahun lamanya melalangbuana dengan mengadu nasib di Negara tetangga, akhirnya ia bermimpi baik seusai mengumpulkan banyak upah untuk kembali ke tanah air.
Kak Jo juga seperti seorang kakak kandung bagiku mengingat aku anak tunggal. Dan sejak kecil dulu aku selalu dekat dengan Kak Jo. Ketika aku membutuhkan bantuan atau ketika ada sesuatu yang terjadi padaku saat masih duduk dibangku sekolah menengah dasar hingga menengah atas, Kak Jo selalu menjadi supermen bagiku.
“Chandra, coba hubungi istrimu itu. Tadi, saat aku membuka televisi dan menonton berita di chanel Metro TV ada siaran mengenai wabah Virus Corona. Virus ini dikatakan berasal dari kota Wuhan di Negara Tirai Bambu yang disebarkan oleh kelelawar dan tikus. Virus Corona ini, sangat mematikan dan menyebar begitu cepat. Siapa saja bisa terkena dan terinfeksi virus ini. Proses terjangkitnya dengan bersentuhan langsung atau bahkan lewat udara. Dan sekarang di China khususnya dan di seluruh dunia umumnya disarankan untuk menggenakan masker saat berpergian bahkan di China, Amerika, Arab dan beberapa kota lainnya telah diperintahkan oleh pemerintahnya agar lock down masyarakatnya. Wabah ini telah menjangkit hampir di seluruh negara di dunia bahkan di Indonesia.” Cerita Kak Jo, dengan nafas sedikit tersengal-sengal dan penuh dengan kecemasan. Usai Kak Jo bercerita satu saja yang terlintas dipikiranku. Karin, isteriku, semoga kau baik-baik saja di Jawa.
“tut…tut…tut…tut…tutt…, maaf nomor yang ada tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan cobalah beberapa saat lagi”
Karin, bagaimana kabarmu? Kecemasan itu semakin jadi familiar dalam diriku. Kak Jo, sudah seminggu lebih aku tak pernah lagi menerima kabar darinya. Bahkan sudah berkali-kali aku menghubunginya via WhatsApp, facebook bahkan via SMS dan Telepon selulur namun tak satupun pertanyaanku dibalas, diread saja tidak.
“Jangan-jangan”, pikirku tiba-tiba. Ah Chandra, kau ini jangan pikir yang bukan-bukan, barangkali saja Istrimu, Karin sedang sibuk atau jangan-jangan nomor handphone-nya sudah diganti. Ya, bisa jadi handphone-nya hilang atau kartu handphone-nya diblokir. “Positive thingking-lah, Chandra,” sambung Kak Jo.
Dua Minggu Kemudian…
Kecemasan seputar pertanyaan bagaimana kabarmu, Karin, semakin membuatku tak tenang. Setiap hari, setiap malam lilin kecil di sudut rumah selalu dinyalakan dengan sejuta doa yang jadi tangis bisu dengan penuh harap. Setiap kali membuka televisi ada air mata yang pelan-pelan jatuh bahkan ada seribu air mata yang benar-benar hening terapung di dalam pelopak mata. “Bagaimana kabarmu, sayang? “ tanyaku tiap hari.”
Berita-berita yang ditayangkan di setiap chanel televisi nyaris tak satu pun luput dari siaran korban demi korban dan tanggapan demi tanggapan mengenai virus corona atau covid-19 itu. Beberapa hari yang lalu, pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk lock down dan pemerintah provinsi dan Institusi Gereja lewat surat gembal Bapak Uskup telah mengeluarkan beberapa poin mengenai situasi lock down di Indonesia.
Kini, semuanya jadi sepi. Keramaian jadi sunyi yang paling murung. Sepi di jalan, jadi tayangan paling gundah yang tak bisa dibahasakan. Dunia jadi milik kesunyian yang tak bisa dipuisikan lagi. Tak ada sekelompok anak-anak yang bergerombolan tertawa ke sana-ke mari, berjalan bergerombolan sambil mententeng tas di pundak dan mulut-mulut mereka tak berhenti bercerita tentang tugas, pekerjaan rumah dan berbagai obrolan menarik seputar sekolah.
Tak ada lagi ibu-ibu yang ramai berteraskan di halaman-halaman rumah dengan cerita-cerita lama yang didaur ulang secara berulang-ulang kali. Bahkan tak ada lagi ibu-ibu yang menjajahkan barang-barang lesehan-lesehan mereka diemperan-emperan terminal pun di pasar-pasar bahkan tak ada bapak-bapak yang duduk melingkar, memainkan kartu dengan lemparan-lempara fung atau seven scop dan lain sebagainya.
Di sini, di desa yang penuh dengan sejuta cerita dan kenangan jadi sepi. Sepi yang panjang dengan ribuan kisah yang mati. Bahkan di televisi-televisi ibu kota maupun luar negeri ramai diberitakan kesepihan yang hampir nyaris mati atau bahkan sudah mati. Di Rusia pemerintah membiarkan singa-singa berkeliaran di sepanjang jalan ibu kota dan lainnya agar masyarakatnya tak berkeliaran, di Italia para polisi, tentara dan seluruh pihak keamanan menjaga tertib ruas-ruas jalan dan tak membiarkan seorangpun berkeliaran di sepanjang jalan bahkan di beberapa negara lainnya berbagai macam tindakan pemerintah untuk mengatasi masyarakatnya yang keras kepala agar stay home. Tetap diam di dalam rumah agar mencegah dan tidak terjangkit wabah epedemi tersebut.
Karin, tidak kau dengar kecemasan demi kecemasan yang kusuarakan dari hari ke hari. Tak satu pun yang mampu kau balas atau bahkan tak ada satu pun yang kau read dari obrolan-obrolan kecil yang jadi iseng diantara kita. Aku, jadi takut. Takut pada jarak yang semakin melengkung mundur dan aku semakin cemas. Cemas pada waktu yang semakin menjauh. Kucoba berkali-kali memanggilmu via telepon seluler, WhatsApp, dan Faceboook namun semuanya nihil belaka. Kucoba membuka email dengan sinyal yang mulai hilang muncul. Senyumku mulai tersungging namun tidak lama, ia cepat seperti angin dan pergi begitu saja tanpa mampu ditahan.
Emailmu pendek, singkat dan jelas namun sungguh membunuh seluruh sum-sum tulang tubuhku. Air mataku ingin jatuh tapi sayang tak kuasa, tubuhku ingin pingsan namun sayang aku masih terlampau kuat. Setelah dua minggu berlalu kemarin malam kau mengabariku dan hanya dengan sepesan email yang singkat, jelas, padat namun sungguh-sungguh membuatku tak tahu apakah harus berjalan, berdiri seperti patung atau mati terkubur oleh kediaman yang sunyi. Aku ingin mati. Mati bersama dengan kota ini. Aku ingin dikuburkan dengan kesunyian, pergi tanpa jejak dan menghilang tanpa kabar.
Pesanmu kubaca berulang-ulang:
“Jauh sebelum kau dan aku saling menjaga jarak, aku rasa kita telah lama mendiami waktu dengan jarak yang terbentang luas. Ketika waktu mengisi air mata kita dengan doa, aku rasa telah sekian lama kita memelihara doa dengan damai dan mendiangkan puisi hingga tanpa terasa hari ini, kau dan aku, dia dan mereka serta kita dengan semuanya menjadi seperti tembok yang kokoh di antara ribuan kota yang telah lama mati. Bukan saja baru-baru ini tetapi telah lama kota kita mati.” Chandra, suamiku. Maafkan aku untuk semua yang tak mampu dijelaskan namun mampu diucapkan. Aku mencintaimu seperti puisi Eyang Sapardi “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana….,” yang berkali-kali kau baca jauh sebelum kita menghantar masa depan kita ke pelaminan.
Kini, dalam celotehan kecil email ini, aku tak banyak berpesan hanya satu doaku: jagalah Rindumu dan biarkan ia berbunga biar kelak ia mekar mewangi tanpa kau dekatkan wangian apapun, biarkan ia alami seperti desa kecil kita. Hanya saja, maafkan aku, Istrimu. Bukan karena profesiku yang mendesakku melainkan hatiku yang selalu mendesakku bergerak – menolong dan membantu. Jauh sebelum pesan ini kutulis dan kirim, aku dengar suaramu berkali-kali memanggilku di sana ada cemas ada doa yang kau baringkan kekal dalam rindumu. Kini, doakan aku semoga semuanya baik-baik saja. Dan aku tak mampu memastikan satupun waktu untuk mendekatkan jarak kita. Hanya kumohon padamu Chandra, Kekasihku. Stay Home, dan jangan biarkan orang-orang yang kita cintai berkeliaran sebebas mungkin. Dengarkan dan ikutlah semua arahan dari pihak pemerintah dan gereja sebab wabah epidemi covid-19 ini bukanlah sebuah virus yang biasa-biasa saja namun ia mematikan.
Salam rindu dari istrimu, Karin.
Chandra, suamiku. Aku mencintaimu. Jaga rindu itu selalu dalam doa-doa kita. Amin.
***
Tuhan, jagalah istriku selalu.
Ketika semuanya jadi mati dalam sunyi ada jawab yang kian damai: semoga saja rindu kita baik-baik saja dalam doa-doa bersama kita.
Karrin, bagaimana kabarmu hari ini? Hari demi hari berlalu lilin dan tanya selalu menjadi puisi paling damai dalam kesunyian. Sedang di luar kota telah mati berhari-hari bahkan berminggu- minggu dan Tuhan, aku yakin Kau tak pernah mati atau sekadar bisu dalam sunyinya kota kami.*
NB
- Cerpen ini merupakan hasil imajinasi penulis dari sebuah realitas nyata saat ini dalam kecemasan dan kewaspadaan akan situasi epidemi covid-19
- Jika ada hal-hal yang tidak seharusnya penulis tuliskan atau jika ada hal-hal yang paling tidak, tidak sesuai dan tidak berkenan di hati para pembaca budiman penulis sampaikan mohon maaf sebesar-besarnya
- Penulis yakin bahwa imajinasi yang penulis lahirkan ini sangat amburadul dan hanya sebatas karang mengarang atau orang sedang berusaha membaca situasi tanpa memberi nilai moral namun dari hati yang paling dalam penulis sampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang tidak menginginkan hal ini dilahirkan
- Terakhir jika ada sesuatu yang tidak seharusnya penulis tulis atau terangkan mohon di komentar baik di kolom komentar atau bisa via inbox Fb: Pirres Setu /WA:082236035772 dan Email: frchan45@gmail.com
Tentang penulis
Chan Setu merupakan mahasiswa semester IV di STFK Ledalero. Saat ini menetap di Wisma Arnoldus Nita Pleat, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Maumere. Penikmat sastra sekaligus penikmat “kopi pahit.”