Editorial, Vox NTT-Paulus Arman seorang pria asal Kampung Lopa, Desa Golo Leda Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim)-Flores NTT, baru tiba dari Malaysia, Rabu, 25 Maret 2020 lalu.
Kedatangan Paulus pun sontak membuat geger warga kampung, serempak menciptakan hura-hara di desa.
Paulus memang salah, ia datang bertepatan dengan wabah virus corona atau Covid-19 yang sudah menciptakan ketakuan massal sejagat. Alhasil, bukannya disambut dengan pelukan, ia malah ‘disingkirkan’ dari keluarga dan masyarakat desa.
“Kami takut, tutup pintu kalau dia datang ke sini. Dia dengan anak tidak pernah berdialog dengan kami,” ungkap Klara Nas tetangga Paulus dalam bahasa dan dialek setempat.
Tak hanya ditolak secara sosial, pernyataan kades Golo Leda sebagai simbol Negara di level desa juga menambah resah.
“Jujur pa kami Kampung Lopa seperti didatangi setan. Bahkan orang pergi ke kebun mereka lewat jalur lain,” ungkap Martinus Jenama, kades Golo Leda kepada VoxNtt.com.
Kejujuran kades Martinus sebenarnya mengandung dua makna. Ia jujur merekam hiruk-pikuk situasi di kampung sekaligus jujur mengakui kelamahannya bahwa sebagai Pemerintah di level desa, ia gagap mengatasi corona.
Naas bagi Paulus, ia sekarang terpaksa mengisolasikan dirinya ke kebun tanpa merasakan dukungan dan penguatan dari masyarakat. Padahal di tengah situasi seperti itu, ia butuh spirit agar kuat secara psikologis.
Kasus ini sebenarnya mengungkapkan beberapa persoalan mendasar yang belum segera ditangani sekaligus menjadi pembelajaran bagi desa-desa lain ke depan.
Pertama, tata cara dan protokol dasar penanganan virus Corona belum sampai di desa-desa.
Akibatnya, masyarakat kehilangan pegangan untuk mengatasi situasi. Bagi mereka, tak ada jalan lain selain sanksi pengucilan bagi orang yang terduga Corona. Padahal solidaritas kita sebagai sesama manusia adalah kunci mengatasi pandemi ini.
Solidaritas dimaksud bukan berarti harus besentuhan langsung, melainkan kepekaan dan kepedulian kita lewat bahasa (verbal dan nonverbal) yang dapat membangkitkan semangat orang-orang yang terduga maupun yang sudah terpapar.
Paulus bukan ‘hantu’ yang datang menakut-nakuti warga kampung. Ia adalah manusia yang butuh bantuan dan pertolongan.
Persespsi inilah yang harus ditekankan dan disosialisasikan secara gencar ke tengah masyarakat. Jangan sampai Paulus atau warga lain yang mendapat perlakuan yang sama, tidak sakit dan meninggal karena Corona tetapi karena beban pikiran dan perasaan karena merasa ‘terusir’ dan ‘disingkirkan’ dari pergaulan sosial.
Kedua, pemerintah di level desa gagap dalam menangani pencegahan dan dampak Corona.
Harusnya, setiap desa memiliki posko Covid-19 yang dilengkapi dengan tenaga medis dan relawan kesehatan. Posko ini salah satunya mewajibkan setiap warga atau pendatang diperiksa sebelum masuk atau keluar dari desa.
Ketiga, peran pemerintah kabupaten sebagai ‘pembimbing’ desa belum mengakar. Pemerintah kabupaten Manggarai Timur dan daerah di NTT seharusnya sudah mengantisipasi hal ini melalui sosialisasi yang dilakukan jauh hari sebelumnya.
Bupati dan kepala dinas jangan hanya jalan dari kampung ke kampung menghimbau masyarakat pakai masker, tetapi juga harus memikirkan mitigasi sosial-budaya dari dampak Corona.
Karena itu, dalam kasus Paulus, pemerintah tidak boleh menunggu. Dalam kondisi seperti ini, dia harus mendapatkan ketidakpastian. Ia harus dijemput dan segera dites kesehatannya.
Keempat, kasus ini menggambarkan secara jelas tentang ‘bandelnya’ masyarakat kita di tengah himbauan untuk ‘tinggal di rumah’, jaga jarak, jangan mudik, dan lain-lain. Paulus seharusnya menunda dulu pulang kampung sampai wabah ini benar-benar teratasi. Demikianpun dengan warga lain yang sedang di luar negeri atau daerah.
Kelima, kasus ini menjadi sinyal siaga kesehatan di level desa. Puskesmas dan Pustu perlu dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) sebab merekalah yang menjadi garda terdepan berhadapan dengan pasien. Apalagi mengingat rumah sakit rujukan Corona sangat jauh dari kampung-kampung.
Seandainya ada pasien ODP, PDP maupun Positif Corona yang ditemukan di desa, bagaimana mungkin petugas medis bisa mengantarnya ke rumah sakit rujukan di Labuan Bajo tanpa APD?
Semoga kasus Paulus di desa Golo Leda, Manggarai Timur bisa menjadi bahan refleksi sekaligus evaluasi bersama, sehingga badai ini segera berlalu (VoN).