*Oleh: Ardy Abba
KISAH kematian Tim Hetherington pada tahun 2011 lalu, memang harus diakui sebagai rujukan sejarah bagi pekerja media. Jurnalis foto asal Inggris itu terpaksa meregang nyawa, setelah terkena serpihan peluru saat meliput perang di Libya.
Tim Hetherington pernah berada di puncak pertama dalam ajang bergengsi World Press Photo of The Year tahun 2007. Ia merupakan kontributor reguler majalah Vanity Fair.
Tim Hetherington juga ikut dalam pembuatan film dokumenter Restrepo. Film ini mengangkat kisah tentang peperangan di Afghanistan.
Setelah memegang gelar dari Universitas Oxford dan Cardiff, ia memilih tinggal dan bekerja selama 8 tahun di Afrika Barat dan meliput konflik Liberia.
Sayangnya cerita kesuksesan Tim Hetherington di dunia jurnalistik dan pembuatan film berujung tragis. Pada tahun 2011, ia tewas setelah serpihan peluru dari mortir menyasar ke tubuhnya, saat meliput peperangan di Libya.
Kisah tragis lainnya di dunia jurnalistik ialah Bill Stewart asal Amerika Serikat. Koresponden ABC itu keluar dari van persnya pada 20 Juni 1979.
Ia meliput perang saudara pada sebuah jalan di ibu kota Managua, Nikaragua. Perang saudara itu yakni antara pemberontak Sandinista dan pasukan pemerintah di bawah Presiden Anastasio Somoza.
Seorang pengawal nasional bersenjata menembak mati Bill Stewart dan penerjemahnya, Juan Espinosa saat sedang menjalankan tugas jurnalistiknya.
Pembunuhan Bill Stewart direkam oleh sesama wartawan ABC dan disiarkan di Amerika Serikat. Hal ini memicu kemarahan internasional dan rezim brutal Somoza kemudian berhasil digulingkan.
Kematian Tim Hetherington dan Bill Stewart ini tentu saja dua dari banyaknya kisah tragis yang berujung kematian para pekerja media massa. Di balik rangkaian kata dan sudut kamera jurnalis, masih menari-nari melaikat penjemput ajal.
Jurnalis harus diakui sebagai salah satu profesi yang kerap diperhadapkan dengan risiko tinggi. Menjadi jurnalis memang bukan perkara mudah. Sebab, dalam perang peluru tidak punya mata.
Tentu bukan hanya di medan perang lorong kematian bagi jurnalis terbuka lebar. Dalam banyak kisah liputan kasus-kasus tertentu, wartawan kerap menjadi target kematian. Singkat kata, di mana pun medan kiprah para awak media risiko selalu menghampiri, meski memang kapasitasnya berbeda-beda, dari yang tinggi ke yang rendah.
Demikian pula untuk saat ini, manusia di bumi sedang diperhadapkan dengan ganasnya virus corona atau Covid-19. Virus ini sedang membuat makluk manusia takut, sebab serangannya telah banyak merenggut nyawa.
Jurnalis dipaksa harus bekerja ekstra untuk menyajikan informasi tentang perkembangan penanganan Covid-19. Kapasitas kerjanya hampir sama dengan petugas medis yang menangani pasien virus tersebut.
Selayaknya petugas medis, para jurnalis juga berada dalam ambang batas antara hidup dan mati akibat gempuran wabah corona. Tugas dan tuntutan yang menjadi landasan, ia bersikukuh berjuang dalam menggali dan mencari informasi di lapangan.
Tiada pilihan lain selain berjibaku turun ke lapangan untuk menggali informasi valid seputar wabah virus corona. Sebab, publik masih menunggu informasi valid di balik perkembangan virus yang hingga kini merenggut puluhan ribu nyawa manusia di dunia itu.
Meski memang, para jurnalis tahu benar ada imbauan social distancing dan physical distancing dari pemerintah sesuai protokol kesehatan. Ia sangat tahu bahwa ada imbauan semua warga harus bekerja dari rumah (work from home).
Bagi jurnalis menyajikan informasi valid seputar virus corona menjadi tugas mulia untuk masyarakat luas. Boleh dibilang posisi jurnalis sangat strategis dalam penanganan wabah corona.
Di ujung penanya bisa merajut kembali rasa optimisme masyarakat untuk bertahan hidup, meski memang sudah berada di tengah kepanikan massal. Antara cemas dan nekat, antara takut dan berani, dan masih banyak perasaan lainnya yang menghantui pikiran masyarakat.
Pemerintah Indonesia memang tidak tinggal diam dalam melawan ancaman wabah corona. Mulai dari imbauan sesuai protokol kesehatan hingga pemangkasan anggaran negara besar-besaran sudah dan sedang dilakukan. Tujuan utamanya ialah sebuah alasan yang cukup serius yakni warga negara bisa menang dari ancaman kematian akibat virus corona.
Namun sayangnya, pemerintah belum punya alasan untuk menyentuh sedikit kebijakannya terhadap risiko kerja jurnalis. Padahal, jurnalis juga manusia yang butuh dilindungi.
Di Provinsi NTT, misalnya, petugas kesehatan sudah dipikirkan pemerintah untuk menyiapkan alat pelindung diri (APD) virus corona yang standar. Aparat pemerintahan yang lain pun demikian.
Padahal jika dibandingkan, antara wartawan, petugas medis dan aparat pemerintahan sama-sama punya tugas yang sama untuk menyelamatkan masyarakat dari ancaman kematian akibat wabah corona. Di balik narasi dan informasi para awak media massa juga bisa membuat masyarakat tenang dan tidak panik.
APD Wartawan Harus Diperhatikan
Riakan perlu adanya APD dalam menghadapi virus corona bagi pekerja media massa dari berbagai daerah di NTT sudah mulai bermunculan.
Di Kabupaten Malaka, misalnya, Dokter muda Merylin Putri Ndolu menganjurkan para awak media yang meliput virus corona atau Covid-19 agar memakai APD.
Apalagi, wartawan kerap di luar rumah pada masa isolasi Covid-19, sebab tugasnya mencari dan menyajikan informasi tentang virus mematikan tersebut kepada khalayak.
Tak hanya di Malaka, di Kabupaten Nagekeo juga ada riakan untuk memperhatikan nasib jurnalis di balik penanganan wabah corona. Profesi yang satu ini dalam kompleksitas kerjanya rentan dengan penularan virus corona.
Ketua DPRD Nagekeo Marselinus Fabianus Ajo Bupu menyatakan, Pemerintah Daerah perlu memperhatikan APD bagi para pekerja media massa, selayaknya petugas kesehatan.
Bagi Marsel, di tangan para wartawan informasi akurat tentang wabah virus corona dapat diperoleh masyarakat luas. Termasuk informasi tentang cara memberantas virus mematikan tersebut.
Di Ende pun demikian. Pengamat sosial Anthony Tonggo mengingatkan pekerja media agar tetap waspada menjalankan tugas peliputan di tengah pandemi virus corona.
Menurutnya, wartawan merupakan salah satu profesi yang berada di garda depan, yang secara terus menerus memberikan informasi kepada publik terkait penyebaran virus corona. Untuk itu, Anthony mengingatkan wartawan agar perlu mengutamakan keselamatan.
Pemikiran serupa juga datang dari Sikka, kabupaten tetangga Ende. Pengajar jurnalistik pada Jurusan Komunikasi Universitas Nusa Nipa Rini Kartini menegaskan, pekerja media yang meliput Covid-19 wajib dilindungi.
Menurutnya, profesi dan tugas yang diemban menjadikan jurnalis rentan terhadap Covid-19.
Meski memang ada usulan serius dari berbagai pihak akan nasib wartawan peliput Covid-19, namun pemerintah masih berdalih tak ada aturan atau kebijakan khusus untuk APD bagi pekerja pers.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu secara tegas menyatakan, tidak ada kebijakan khusus untuk memperhatikan APD para awak media massa.
Kendati demikian, ia memberi harapan semu dengan berjanji akan berdiskusi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi NTT terkait APD para jurnalis.
Kepala Humas dan Protokol Setda NTT juga berharap para Bupati dan Wali Kota se-provinsi itu untuk bisa merespon bagaimana APD bagi para wartawan.
Jelamu boleh saja mengharapkan demikian, namun para Bupati masih berpegang teguh dengan aturan penggunaan anggaran.
Di Mabar, misalnya, sudah terang-terangan menyatakan tidak ada anggaran khusus untuk wartawan dalam penanganan virus corona. Kepala Bidang Gugus Tugas Administrasi dan Kesekretariatan Mabar, Dominikus Hawan malah memilih dalih bahwa, untuk publikasi terkait virus corona pihaknya langsung di Dinas Komunikasi dan Informatika.
Dari sekian riakan tersebut, pemerintah seharusnya menanamkan prinsip bahwa jurnalis juga manusia yang wajib dilindungi dari ancaman corona. Di berbagai belahan dunia, ada juga jurnalis yang terpaksa meregang nyawa akibat terserang virus corona.