Oleh: Pastor Silvi Mongko
Rohaniwan Keuskupan Ruteng, tinggal di Labuan Bajo
Katolisisme Flores dan NTT berkembang dan mentradisi sesuai kultur keseharian kita. Demikian halnya dengan tradisi paskah sebagai siklus perayaan iman yang melekat-erat dengan kebiasaan masyarakat kita. Maka dimensi kehadiran bersama dalam perayaan paskah sudah menjadi pengalaman inheren dari paskah itu sendiri.
Pandemik Paskah
Apa yang pandemik dari paskah tahun ini ialah dimensi perayaan tanpa umat. Bukan saja menjadi pengalaman “keterasingan ritus perayaan” umat Kristiani di Flores-NTT, melainkan sudah menjadi pengalaman pandemik ritus beragama umat manusia sejagat. Semua bentuk perayaan keagamaan setiap agama serba dibatasi untuk tidak dikatakan tanpa umat. Barangkali, kita merasa ada suasana yang hilang dari kebiasaan kita merayakan paskah. Kita kehilangan communio fisik dalam perayaan. Gereja-gereja merayakan Paskah tanpa kehadiran umat. Dimensi kehadiran massal dalam perayaan paskah tidak lagi memberi warna untuk membangkitkan unsur kebatinan perayaan.
Coronavirus! Penyebab tunggal yang menyebabkan paskah terasing dari umatnya. Wabah pandemik ini menciptakan multi pandemik pada sekian banyak dimensi kehidupan umat manusia. Ia membatasi sekian banyak ruang kehidupan kita, termasuk suasana “kerumunan” dalam peribadatan. Kini, agama memaksa dirinya untuk masuk ke dalam inti religiositas masing-masing dan menemukan alasan keberadaan serentak relevansinya bagi kehidupan di dalam keheningan. Agama, dan Katolisisme khususnya, pada masa Paskah tahun ini, selain mengalami “mati gaya” dalam bahasa rohaniwan-sosiolog Max Regus, tapi juga hemat saya “sedang melintasi lorong paling sulit dari panggilan dan relevansi keberadaannya untuk umat Kristiani”. Apakah Katolisisme masih relevan untuk menjawabi kengerian pandemik saat ini, ataukah kita masih terjebak dalam “kerumunan massal-ritualistik”? Mungkinkah paskah dapat menjadi kekuatan spiritual untuk membangkitkan harapan orang-orang beriman yang sedang mengalami fase paling sulit dan menakutkan?
Pembatasan dalam tata peribadatan dan perayaan paskah mau tidak mau mesti tunduk pada protokol kesehatan dan instruksi pemerintah untuk menciptakan jarak aman. Instruksi ini merupakan kondisi sulit bagi kita yang begitu ketat mengamankan dimensi ritualistik beragama. Karena kehilangan unsur kebersamaan ini, untuk pertama kalinya saya merasa bahwa sebagai imam Katolik, saya mengalami semacam “kehilangan fungsi” di tengah umat. Mungkinkan imam tanpa umat dan agama tanpa tata ritual? Sangat boleh jadi, krisis pada dimensi ini bisa melemahkan dimensi sosial panggilan beragama.
Panggilan eksistensial agama
Meski demikian, agama apa pun saat ini ditarik serentak kepada titik refleksi yang sama: solidaritas dan keperihatinan atas keberlanjutan kehidupan. Meski paskah kehilangan dimensi kehadiran bersama yang kerap kali pada kondisi tertentu justru menciptakan “kerumunan massal”, Gereja sejagat dipanggil untuk merenungkan misi panggilan kemanusiaan di level global. Egoisme sektoral untuk memenuhi hasrat ritual perayaan paskah mesti tunduk pada keprihatinan global untuk menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia dari wabah pandemik saat ini. Panggilan eksistensial Gereja pada titik ini tidak bisa dipandang sepele hanya untuk memenuhi hasrat perayaan ritualistik paskah. Relevansi paskah dan keberadaan umat Kristiani justru masuk pada dimensi solidaritas universal umat manusia. Untuk itu, paskah adalah perayaan iman yang menguatkan perjuangan umat Kristiani sejagat untuk lebik proaktif mengembangkan usaha-usaha membantu kesulitan seluruh umat manusia yang paling merasakan dampak dari wabah saat ini.
Oleh Coronavirus, eksistensi agama tidak ditemukan dalam wajahnya yang dogmatis-formalistik, tapi dalam perlintasan peran sosialnya di tengah pergumulan nyata umat manusia. Pada musim pandemik ini, Gereja memasuki fase pandemik untuk ikut menentukan apa yang terbaik untuk menyelamatkan kehidupan saat ini dan di sini (hic et nunc). Ujian terberat bagi Gereja saat ini ialah bagaimana memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri yang juga sedang terpapar dalam kondisi pandemik. Dengan demikian, Gereja tidak menarik diri dari duka dan kecemasan global tapi ikut menderita dan mengalami serta mengatasi wabah ini.
Untuk itu, makna dan identitas kita sebagai manusia paskah tidak diukur semata-mata oleh kesetiaan untuk mengikuti secara konsekuen seluruh prosesi ritual perayaan paskah. Semua yang bersifat ritual sedang berada pada kondisi paling darurat. Dengan kata lain, inti panggilan paskah bukan pada dimensi perayaan yang ritualistik dan kaku, tapi pada spiritualitas dan nilai yang mampu menjawabi tantangan paling sulit dalam kehidupan manusia di antara berbagai elemen sosial yang lain. Sampai di sini, Coronavirus menjadi tantangan terberat untuk menghidupi agama ritualistik.
Paskah mendapat kepenuhan makna dalam narasi kebangkitan Tuhan Yesus. Dengan begitu, dosa dan maut sebagai musuh kehidupan dapat dipatahkan. Pengalaman iman ini memberi dasar teologis untuk membangun harapan dan memperjuangkan usaha-usaha terbaik untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan wabah pandemik yang menakutkan saat ini. Melalui misteri paskah manusia menemukan cahaya kehidupan. Bahwa manusia tidak dipanggil untuk berakhir pada kematian yang membinasakan, tetapi dipanggil kepada persekutuan dengan Allah yang hidup.
Meski gereja-gereja merayakan paskah tanpa umat, namun itu tidak berarti kekosongan iman. Ada ruang yang memang secara fisik sedang mengalami kekosongan, akan tetapi ada simpul kekuatan bersama seluruh umat sejagat untuk menyelamatkan kehidupan. Pandemik akan berlalu, karena Allah sumber kehidupan akan membangkitkan kita dari kelesuan iman dan di dalam bimbinganNya kita menemukan kekuatan dan solidaritas bersama untuk bangkit dari kubur pandemik saat ini. Semoga!!!