Menjemput Matahari
Gubuk mungil masih menyeka titik-titik embun
Tak ada jam berkedip di dinding
Atau bunyi alarm mendahului nyanyian ayam jantan
“Hari ini aku mau menuaikan janji pada mimpi”
Gumam seorang bocah selepas terjaga dari tidurnya
Matahari masih belum menyiasati ziarahnya
Sebuah bintang tua berbisik dari kejauhan
“Ini masih terlalu dini, sayang…”
Ia hanya tersenyum sambil mengatur langkah bersama pandunya
Meski tak pernah mengutuki udara yang terlampau dingin
Menusuk tubuhnya.
Bocah kecil berjalan tanpa alas di kaki
Dalam bayang-bayang mimpi bertemu matahari
Tak diserapahinya embun yang membasahi bajunya
Jarak panjang pun tak dapat membunuh mimpinya
Setibanya di ujung jalan, ia menengadah ke langit
Pada sudut pandangannya yang paling jauh
Ia menemui cahaya berpendar di langit pagi
“Ah, perjalananku masih terlalu panjang”.
Puncak Scalabrini, 25 Maret 2020
Tentang Orang Gila yang Menertawakan Nyanyiannya Sendiri
Ia tak pernah mengerti
Mengapa ia ditakdirkan
Untuk dibekap dan dikurung
Dalam ruangan mini itu.
Ia tak pernah tahu
Mengapa ia merasa sangat bergembira
Saat ia menyanyikan lagu
Yang diciptakannya sendiri
Yang tidak diketahuinya
Untuk apa ia bernyanyi
Dan apa yang ia nyanyikan
Ia hanya tahu bahwa bibirnya bersuara
Ia tak pernah tahu
Mengapa ia sesekali bernyanyi
Sesekali tertawa lalu bernyanyi lagi
Dan lanjut tertawa, begitu selanjutnya
Ia tak pernah mengerti
Mengapa ia begitu bergembira
Saat ia tahu ia sedang bernyanyi
Dengan nada dan lirik yang tak dipahaminya
Yang karenanya tetangga sebelah
Tertawa sekenanya
Dan ia pun nimbrung
Menertawakan nyanyiannya sendiri
Ia tak pernah paham
Mengapa ibundanya begitu setia
Meski terkadang ditumpahkannya nasi setengah piring
Setelah merasa kenyang lantas bernyanyi dan tertawa
Ia tak pernah mahfum
Mengapa setiap malam
Selalu sama dengan siang
Karena ia selalu terjaga demi bernyanyi dan tertawa
Ia tak pernah tahu
Mengapa ia begitu teguh
Menertawakan nyanyiannya
Ia tak pernah bertanya
Mengapa ia selalu bernyanyi dan tertawa
Seperti tak pernah dimengertinya
Mengapa ia tiba-tiba menjadi orang gila
Setelah ia mengutuki ibunda yang setia itu.
Pantar, Desember 2019
Sembahyang Pagi
Subuh membubung
Sembahku melayang di langit-langit kapela
Setenang itukah Kaucicip damai
Saat sesalku merunduk pada kolong tabernakel?
Seperti domba yang hilang temukan pandunya
Sukmaku teramat murni memandang Ilahi
Sembahyang subuh melambung tinggi
Menembusi khilaf yang akut dan membatu
Aku telah kembali
Mengajak pagi bergegas menemui Adonai
Semoga hari tak sempat noktahkan noda
Pada hati yang masih bertasbih
Pagi melambungkan sujudku
Mengantar doa dan pintaku
Bagi semua rupa remeh temeh ini:
Dunia dan sekelumit perkaranya.
Puncak Scalabrini, Februari 2020
Laudes
Bias mentari beristirah di pucuk kapela
Kita kemas pundi-pundi doa
Dan ayat-ayat kitab suci yang membuku
Berkemah di sudut sakristi
Setelah sekian tahun kita geluti pujian ini
Tak ada yang tanggal dari buku harian biara
Kita menjelma peziarah yang setia merapal sembah
Pun kidung ini teramat mulia kita lantunkan
Sampai terbangun arwah para nabi
Dari zaman Musa dan Elia
Puncak Scalabrini, Februari 2020
Sapardi
Sulut gairahmu meramu kata di atas dada sajak manja
yang seksi
Anak-anak aksara terlahir dan melahirkan aksara-aksara
yang lain
Puisi membangun segunung makna pada singgasananya
yang teduh
Ada sejuta damai terekam dalam lembar-lembar buku
yang putih
Rahasia hidup bakal dinikmati anak-anak nusantara
yang lugu
Dan setiap letupan katamu itu sejukkan jiwa kawula muda
yang kalut
Ini negeri sudah saatnya kau rasuki gema puisimu
yang abadi.
Puncak Scalabrini, Maret 2020
BIODATA PENULIS
Petrus Nandi, lahir di Pantar-Manggarai Timur-Flores pada 30 Juli 1997. Puisi-puisinya pernah dimuat pada media-media masa seperti Pos Kupang, Flores Pos, Vox NTT, Flores Sastra, Lontar Pos, Nalar Politik, Societas News dan beberapa buku antologi Puisi. Saat ini ia menetap di Biara Scalabrinian dan menjadi mahasiswa aktif di STFK Ledalero. Petrus dapat dihubungi lewat surel: petrusnandi18@gmail.com; WhatsApp: 081237080773; alamat Facebook: @Petrus Nandi.