Ruteng, Vox NTT – Rencana pendirian pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) hingga kini masih menjadi sorotan dari berbagai pihak.
Arus sorotan semakin kuat, kendati memang lebih banyak masyarakat yang setuju dibandingkan yang menolak.
Di kampung Lingko Lolok, misalnya, hanya dua Kepala Keluarga (KK) yang menolak dan 89 KK yang lainnya setuju.
Sedangkan di Kampung Luwuk Desa Satar Punda hanya ada 8 KK yang menolak, sementara 65 KK sudah dipastikan setuju.
Baca: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Namun penolakan dari beberapa KK itu bukan tanpa dasar.
Selain alasan bakal merusak lingkungan dan merusak tatanan budaya, warga juga menolak adanya relokasi hunian mereka.
Lembaga Justice, Peace, Integration of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng turut berkomentar terkait polemik rencana pembangunan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok itu.
Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng Pastor Marten Jenarut menilai rencana relokasi hunian warga Lingko Lolok bisa berdampak pada kehilangan indentitas budaya.
“Relokasi masyarakat Lingko Lolok sebagai satu entitas sosial masyarakat adat akan juga mengganggu struktur dan sistem adat pada masyarakat setempat dan lambat laun akan kehilangan identitas kulturalnya,” ujar Pastor Marten kepada VoxNtt.com, Sabtu (25/04/2020).
Baca: “Bagaimanapun Bentuknya, Saya Punya Tanah Tidak Boleh Diganggu”
JPIC sebagai lembaga gerejani, kata dia, akan mengawal terus kegiatan tersebut. Itu terutama terkait dengan gangguan serius terhadap ekologi dan hak-hak dasar masyarakat setempat.
Sebab advokasi JPIC lanjut Pastor Marten, bertitik tolak pada nilai keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia dalam setiap kegiatan investasi atau kegiatan pembangunan.
Pastor Marten mengungkapkan, dalam hasil kajian JPIC ada dua kegiatan ekonomi di lokasi tersebut.
Kegiatan ekonomi itu yakni, eksplorasi tambang bebatuan jenis batu gamping di Lingko Lolok dan pembangunan pabrik semen di Luwuk.
Di dua tempat itu kata dia, ada urusan pembebasan lahan dan ganti rugi tanaman tumbuh, serta relokasi atau renovasi rumah warga setempat.
“Dalam survei kami, sebagian besar masyarakat menyetujui kegiatan tersebut dan yakin kegiatan tersebut akan merubah hidup mereka menjadi lebih baik,” ungkapnya.
Pastor Marten pun mempertanyakan apakah nilai ganti rugi pembebasan lahan dan ganti rugi tanaman tumbuh memenuhi rasa keadilan masyarakat?
Dalam survei JPIC kata dia, ganti rugi pembebasan lahan seharga Rp 12.000-Rp 16.000 per meter persegi. Kemudian, ganti tanaman tumbuh rata-rata Rp 500.000 per tanaman.
“Apakah itu sudah dianggap adil?” tanya Pastor yang juga sebagai public lawyers itu.
Pastor Marten menegaskan, izin kegiatan eksplorasi galian tambang batu gamping dan pabrik semen itu memang ada pada Gubernur NTT. Namun Bupati Matim menurut dia, masih punya ruang kewenangan.
“Ruang kewenangan Bupati Matim terletak pada kewenangan keluarkan izin lingkungan sebagai pra-syarat izin usaha dan izin eksplorasi,” imbuhnya.
Baca: Agas: Izin Tambang di Provinsi, Bukan Bupati
Dalam konteks ini, Pastor Marten pun meminta Bupati Matim untuk melakukan pengawasan yang ketat. Bupati Matim juga harus mendorong semua pihak agar terlibat dalam proses kajian AMDAL.
Sehingga rekomendasi kajian AMDAL sangat obyektif dan transparan. Izin lingkungan yang dikeluarkan Bupati Matim juga dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelumnya dikabarkan, Vitalismus Seldi adalah salah satu nama KK di Kampung Lingko Lolok yang telah menerima uang muka (Down Payment) penyerahan lahan dari PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah.
Pria yang akrab disapa Vitalis itu menegaskan, secara pribadi pihaknya menerima kehadiran perusahaan semen. Meski demikian, ia bersikukuh untuk menolak upaya relokasi Kampung Lingko Lolok.
“Secara pribadi saya terima hadirnya perusahaan semen, tapi saya tolak relokasi kampung,” ujarnya saat berbincang-bincang dengan para awak media di Kampung Lingko Lolok, Kamis (16/04/2020) siang.
Kendati Vitalis bergeming pada sikap penolakan relokasi, namun dalam poin kesepakatan yang diduga dilakukan antara warga dengan pihak PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai justru berbanding terbalik.
Pada bagian kedua poin-poin kesepakatan huruf c menyebut, relokasi hunian pemukiman Lingko Lolok (dengan mekanisme ruislag) atas bangunan, rumah, sarana dan prasarana kemasyarakatan adat pada lokasi lain yang akan ditentukan.
Baca: Pengamat: Itu Wilayahmu Agas, Masa Tak Bernyali Lawan Gubernur
Vitalis menambahkan, pihaknya sudah menerima uang DP dari perusahaan semen sebesar Rp 10 Juta per KK. Meski begitu, menurut dia belum ada pembahasan soal kompensasi.
“Uang itu untuk DP tanah, belum ada omong kompensasi, perusahaan bilang kompensasi tetap ada. Kalau belum lunas mereka (perusahaan) belum mulai operasi,” kata Vitalis.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba