Ruteng, Vox NTT – Di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tenaga kesehatan layak disebut sebagai pahlawan kemanusiaan.
Bagaimana tidak, imbauan social distancing dan physical distancing untuk mencegah penyebaran Covid-19 tampaknya tidak berlaku bagi mereka.
Sebagai manusia biasa, tentu tenaga kesehatan tetap ada rasa takut terhadap Covid-19. Namun rasa itu terpaksa dibalut dengan keberanian untuk tetap melayani pasien.
Apalagi, di Kabupaten Manggarai masih banyak puskesmas maupun pustu yang tidak memiliki Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19.
Akibatnya, tenaga medis yang bekerja dan mengunjungi orang yang datang dari daerah terpapar menggunakan perlengkapan seadanya. Kendati memang mereka sadar tidak sesuai protokol pemerintah dalam menangani pasien Covid-19.
Salah satu tenaga kesehatan di salah satu pustu di Manggarai, AM (27) mengeluhkan APD yang hingga kini belum tersedia.
“Selama ini kami terpaksa menggunakan APD seadanya untuk memantau dan periksa orang yang datang dari daerah terpapar. Kami belum dapat APD sesuai protokol yang ada,” ungkapnya saat ditemui VoxNtt.com, Sabtu (26/04/2020).
“Covid-19 ini sangat berbahaya, siapapun bisa terjangkit termasuk kami sebagai tenaga kesehatan. Sehingga kami sangat membutuhkan APD untuk melindungi diri. Semoga pemerintah secepatnya lakukan pengadaan APD,” tambahnya lagi.
Kerja Berat dan Risiko Tinggi, Namun Honor Sedikit
Di tengah wabah Covid-19, tenaga kesehatan yang selalu menjadi garda terdepan dalam upaya pencegahan dan penaganan virus itu.
Mereka pergi ke terminal, pelabuhan atau bandara. Para tenaga medis juga jalan dari rumah ke rumah memantau orang dalam pemantauan (ODP) yang baru datang dari daerah zona merah virus corona.
Namun kerja keras yang berisiko tinggi karena tidak memiliki APD yang lengkap, berbanding terbalik dengan honor yang mereka peroleh.
AM, Tenaga Pendukung Pelayanan Kesehatan (TPPK) mengaku hanya mendapatkan honor Rp 600.000 per bulan.
Selain honor itu, ia mengaku masih mendapatkan tambahan penghasilan (tamsil) sebesar Rp 250.000 per bulan.
“Uang honor memang kami sudah terima sampai bulan Maret ini, tapi uang tamsil belum dapat sejak Januari tahun 2020,” ungkapnya.
“Sampai sekarang kami belum dapat APD yang sesuai prosedur, begitu juga dengan masker. Tamsil kami belum dapat. Kecewa itu pasti, karena kami juga butuh makan,” tambahnya lagi.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang tenaga medis sukarela, HN (26). Dia menyatakan, jangankan tamsil, gaji pokok saja tidak ada sama sekali.
“Kami tidak ada gaji pak, kami ini tenaga sukarela. Kalaupun kadang kami iri ketika yang lainnya mendapatkan gaji, yah mau tidak mau kami diam saja,” ujarnya.
“Kalu soal kerja yah hampir sama dengan orang yang TPPK dan THL, mungkin karena unsur keberuntungan saja. Tapi kami tetap bekerja profesional,” tambahnya lagi.
Namun ia tetap berharap, di tengah wabah Covid-19 ada perhatian khusus juga untuk tenaga kesehatan sukarela.
“Bagimana pun juga kami butuh makan pak, kami memang menyadari status kami sebagai tenaga sukarela. Tapi berharap pemerintah juga tetap memikirkan kami. Semoga kami nanti bisa menjadi bagian dari masyarakat yang mendapatkan BLT, baik desa maupun Pemda,” ujarnya.
“Lebih lucu juga untuk tenaga kesehatan yang kerja di desa hanya mendapatkan Rp 500.000 per bulan, sementara aparat desa 2 Juta lebih. Coba kalau hitung beban kerja, siapa yang lebih susah?. Kami juga bingung, pemerintah sekarang memberikan gaji untuk orang pra kerja, tapi kami kok tidak diperhatikan,” ungkapnya.
Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai dr. Yulianus Weng mengaku kabupaten itu masih kekurangan APD.
APD yang didapatkan selama ini, kata dia, diprioritaskan untuk puskesmas yang melakukan pemeriksaan orang yang datang dari daerah terpapar.
Puskesmas tersebut yakni Puskesmas Reo, Ketang, Langke Majok, Dintor dan Narang.
Ia mengungkapkan Pemda Manggarai baru mendapatkan bantuan APD lagi. APD itu akan dibagikan kepada seluruh puskesmas yang ada ODP.
Namun karena keterbatasan, sehingga bantuan APD hanya sampai ke puskesmas. Tidak ada untuk pustu dan poskesdes.
“Hampir semua puskesmas nanti sudah dapat. karena persediaannya ada 100, sehingga kita bagi 5 atau 7 APD setiap puskesmas. Tapi sekarang sampai di puskesmas saja karena persediaan APD terbatas. Jadi psukesemas yang memantau ODP,” ujar Kadis Weng.
Selanjutnya ia menjelaskan, tenaga TPPK dibentuk sejak tahun 2014 atas persetujuan DPRD Manggarai.
Kala itu semua yang menjadi tenaga sukarela dimasukkan sebagai TPPK. Jumlahnya pun menurut Kadis Weng, cukup banyak yakni 852 orang.
Tapi sejak saat itu, karena keterbatasan keuangan daerah, sehingga tidak ada lagi penerimaan TPPK baru.
Dalam aturannya jelas dia , TPPK boleh diganti ketika ada yang mengundurkan diri, semisal lulus PNS atau pindah domisili ke luar daerah. Tetapi mereka boleh diganti oleh puskesmas, di mana dia bekerja awalnya.
“Kalau kita tambahakan lagi koutanya banyak uang yang habis, untuk sekarang saja Rp 6 Miliar lebih. Belum lagi ditambahkan dengan tamsil, kalau tahun lalu Rp 250.000 sekarang Rp 300.000,” beber Kadis Weng.
Tekait gaji yang belum cair, Kadis Weng mengatakan, THL dan TPPK ini harus bekerja terlebih dahulu baru diberi gaji. Ini tentu saja berbeda dengan ASN.
Sehingga gaji bulan April sebenarnya harus diterima awal bulan Mei.
“Tapi kita kasihan juga mereka ini, sehingga kami usulkan ke Pak Bupati, sehingga sekarang kalau ASN terima di awal bulan mereka terima minggu kedua atau ketiga paling lama. Itu yang berlaku sekarang. Tetapi sekarang kan agak terhambat karena di daerah ini masih sibuk rasionalisasi. Sehingga Badan Keuangan janjikan minggu depan baru SP2D dilayani,” kata Kadis Weng.
Sedangkan terkait tamsil yang belum cair, Kadis Weng mengungkapkan untuk semua tenaga kesehatan sampai saat ini belum dibayar.
“Harus minta petsetujuan Mendagri dulu. Dinkes sudah anggarkan untuk satu tahun. Jadi begitu ada persetujuan lansung dirapel tamsilnya,” katanya.
Lebih lanjut, Kadis Weng menegaskan tenaga sukarela memang tidak ada honornya. Sebab, tenaga sukarela adalah orang yang tidak diminta untuk bekerja.
Tetapi menurut dia, mereka sendiri datang untuk minta bekerja supaya ilmunya tidak hilang.
Dikatakan, selain tenaga sukarela yang ada, sampai saat ini yang sudah meminta kerja sukarela di dinas sekitar 1.200 orang. Tetapi tidak diterima karena puskesmas sudah penuh.
Bahkan Kadis Weng mengaku sebenarnya tenaga sukarela akan menjadi beban bagi puskesmas.
Sebab, di samping THL, TPPK, dan tenaga sukarela juga ada jasa medis. Kalau pembagian jasa medis, sebut dia, pihak puskesmas juga harus tetap memperhatikan tenaga sukarela. Tetapi jumlahnya tidak sebesar ASN, TPPK dan THL.
Ia mencontohkan, misalnya pergi posyandu, tenaga sukarela juga dikasih jatah untuk pergi. Itu juga mengurangi jatah untuk PNS, TPPK maupun THL.
“Tapi karena rasa kemanusiaan, “kepok” kiri kanan dan minta tolong supaya ilmunya tidak hilang, yah sudah kita terima dengan catatan mereka tidak menuntut macam-macam,” ujarnya.
“Kalau mau jujur mereka juga dapat uang, itu dari kegiatan posyandu di puskesmas, karena ada dana transportnya. Petugas puskesmas juga tetap perhatikan mereka, setidaknya uang untuk membeli sabun. Kalau saya dengar ada sukarela tuntut gaji sekarang, besok saya copot,” tegasnya.
Di tengah pandemi Covid-19, dr. Weng menegaskan tidak ada kebijakan khusus untuk tenaga kesehatan terkait penambahan honor.
“Tidak ada, mau ambil uang dari mana?” tukasnya.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba